Menilik Ancaman Krisis Iklim terhadap Kesehatan Manusia Bersama Dokter Fithriyyah
Perubahan iklim dan degradasi lingkungan berdampak luas pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di Bumi. Krisis iklim tidak hanya menyebabkan temperatur Bumi semakin panas, tetapi juga berpengaruh terhadap banyak aspek kehidupan, salah satunya kesehatan. WHO memperkirakan bahwa terdapat 13 juta lebih kematian setiap tahun akibat masalah lingkungan. Pada akhirnya, krisis iklim juga berarti krisis kesehatan.
Menyadari kenyataan itu, dr. Fithriyyah, seorang dokter muda asal Pontianak, bergerak melakukan sesuatu di luar kesehariannya sebagai dokter. Di sela-sela kesibukannya sejak menempuh pendidikan profesi dokter di Universitas Tanjungpura (UNTAN), perempuan kelahiran Mempawah, 25 tahun silam itu juga aktif sebagai aktivis lingkungan.
Ia gencar mengadvokasi isu-isu lingkungan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Misi ini sesuai dengan konsep Seven Stars Doctor yang digagas oleh WHO, bahwa seorang dokter mesti bertindak sebagai care provider, decision maker, communicator, community leader, manager, researcher, dan faithful piety.
Fithriyyah mulai menapaki jalan aktivisme lingkungan sejak 2014. Ia masih duduk di bangku kelas 3 SMA ketika menjadi sukarelawan Earth Hour, sebuah program yang diadakan oleh World Wide Fund for Nature (WWF). Pengalaman itu menyuburkan ketertarikannya pada isu lingkungan. Tahun 2015, ia terpilih sebagai finalis 10 besar Duta Lingkungan Hidup Pontianak. Pada tahun yang sama, ia bergabung di Hilo Green Community Pontianak–sebuah pijakan yang kemudian mengantarkannya ke berbagai kesempatan.
Tahun 2021, Fithriyyah menjadi External Affair Health Working Group YOUNGO, sebuah konstituensi anak muda di bawah naungan UNFCC. Kini, ia sedang melakukan internship sebagai Corporate Accountability & Climate Justice Assistant di Manushya Foundation serta aktif sebagai Project Leader di Asia-Pacific Climate Project yang ia gagas sejak 2020. Terakhir, mewakili ASEAN Youth Forum (AYF), ia menjadi satu-satunya anak muda Indonesia dalam Forum UN Montevideo Programme V yang digelar oleh United Nation Environment Programme (UNEP) di Global Headquarter of UNEP, Nairobi, Kenya.
Green Network mewawancarai Fithriyyah pada Rabu, 24 Agustus 2022. Kami mengobrol tentang aktivismenya dalam bidang lingkungan dan isu kesehatan masyarakat.
Sebagai seorang dokter muda, isu sosial apa yang Anda lihat di tengah masyarakat Indonesia hari ini, khususnya menyangkut kesehatan masyarakat?
Ada beberapa isu besar yang saya tangkap. Pertama, saat ini penyakit-penyakit tidak menular (PTM) menjadi momok bagi pemerintah akibat ancaman penurunan kualitas hidup. Diabetes mellitus, penyakit koroner jantung, dan stroke sering dijumpai.
Di sisi lain, penyakit-penyakit infeksi juga menjadi ancaman serius. Kita sama-sama tahu bagaimana dampak Pandemi COVID-19 dalam tiga tahun belakangan, lalu sekarang kita mendapat kabar bahwa cacar monyet sudah terdeteksi di Indonesia.
Kemunculan penyakit-penyakit zoonosis seperti COVID-19 tidak terlepas dari kerusakan lingkungan dan penurunan biodiversitas. Kita lihat semakin ke sini manusia semakin dekat dan sering berinteraksi dengan hewan-hewan liar akibat pengrusakan hutan, entah itu untuk urbanisasi, kebun sawit, dan lainnya.
Kedua, perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia saat ini juga menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat. Di Kota Pontianak tempat saya tinggal saat ini, sudah “wajar” setiap tahun masyarakatnya menghirup kabut asap hasil kebakaran atau “pembakaran” hutan. Dampaknya, penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) meningkat drastis pada musim kemarau.
Sekarang sudah jadi rahasia umum bahwa aktivitas penambangan maupun persawitan banyak memberikan dampak buruk pada kesehatan masyarakat, seperti pencemaran air dan pencemaran udara, hilangnya hutan masyarakat sebagai tempat menemukan makanan, ataupun penahan banjir.
Kondisi iklim yang semakin tidak menentu akan memperparah kondisi kesakitan (morbiditas) pada masyarakat. Ditambah lagi fasilitas kesehatan yang belum merdeka sepenuhnya, terutama di pelosok-pelosok negeri, semakin menambah PR untuk tenaga kesehatan saat hendak memberikan pelayanan terbaik.
Soal PTM dan penyakit zoonosis, apa saja rintangan yang terjadi di Indonesia?
PTM pada dasarnya merupakan penyakit degeneratif, kondisi di mana terjadi penurunan fungsi atau kerusakan struktur tubuh secara bertahap. Kerusakan lingkungan berkontribusi dalam hal ini.
Saat ini PTM menjadi ancaman global akibat empat faktor risiko utama: merokok, aktivitas fisik yang kurang, konsumsi alkohol, dan diet yang tidak sehat. Semua itu mengacu pada gaya hidup. Era 5.0 saat ini membuat orang semakin malas bergerak karena semua hal dapat dilakukan melalui genggaman tangan–smartphone. Perubahan zaman ditambah dengan faktor-faktor lain semakin menambah peluang terjadinya PTM pada masyarakat.
Di sisi lain, kurangnya awareness juga menjadi tantangan. PTM bukan penyakit yang muncul dalam satu malam, namun butuh waktu yang lama, kita sebut kronis. Oleh karena itu, kadang orang masih acuh tak acuh, bilang “ah nanti saja” ketika diedukasi.
Bagaimana mengatasinya? Semua prinsip dalam penanganan kesehatan: lebih baik mencegah daripada mengobati. Masyarakat perlu dipaparkan terus dengan materi edukasi. Edukasi PTM juga mesti menyasar generasi muda, mengingat saat ini sudah terjadi tren munculnya PTM pada anak-anak usia muda akibat gaya hidup yang tidak sehat.
Untuk zoonosis, memperkecil interaksi manusia terhadap hewan dengan tidak memakan hewan-hewan liar yang bukan ternak. Pada hewan ternak, pemantauan penyakit serta vaksinasi akan sangat membantu pencegahan penyakit pada hewan. Lingkungan ternak harus dijaga agar tetap bersih. Tidak memakan makanan yang bersumber dari hewan setengah matang, dan mencuci tangan setelah memegang binatang.
Apa tantangan terkait peran Anda dalam menghadapi krisis iklim?
Tantangan terbesar mungkin terletak pada sangat kurangnya wahana untuk saya terlibat langsung dalam proses penanggulangan krisis iklim di Indonesia. Menurut saya, pemerintah Indonesia masih belum sepenuhnya melibatkan peran anak muda dalam proses pembentukan kebijakan, implementasi, maupun pemberdayaan secara luas, inklusif, serta jangka panjang.
Hal ini saya rasakan karena selama ini saya aktif terlibat dalam proses edukasi, advokasi, rekomendasi kebijakan, tapi itu semua justru dinaungi oleh pihak internasional seperti PBB dan ASEAN. Di Indonesia, saya melihat semua proses masih tersentralisasi di Jakarta dan sekitarnya.
Kemudian terkait komitmen pemerintah dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dalam Nationally Determined Contribution (NDC), menurut saya masih kurang gencar, karena berfokus pada sektor hutan dan energi sebagai yang paling utama, sedangkan untuk mengejar net zero emission pada lintas sektor khususnya di sektor kesehatan, masih belum terlihat implementasi yang jelas, entah itu dalam segi kebijakan maupun reformasi sistem. Akibatnya, sampai sekarang upaya mencapai climate resilient health system masih menjadi PR besar semua orang.
Anda sering terlibat dalam diskusi forum internasional, menurut Anda, praktik baik apa saja yang ada di negara lain yang memungkinkan diterapkan di Indonesia?
Inggris melalui program National Health Service (NHS) yang sudah hadir sejak tahun 1948 menjadi contoh terbaik bagaimana penyediaan Cakupan Kesehatan Universal (Universal Health Coverage/UHC) oleh sebuah negara. Mirip dengan implementasi BPJS Kesehatan di Indonesia.
Bedanya, NHS berasal dari pajak masyarakat, sedangkan BPJS Kesehatan melalui iuran serta operasional melalui Dana Jaminan Sosial Kesehatan. Menurut saya untuk implementasi jaminan kesehatan, saat ini Indonesia sudah cukup baik, hanya saja permasalahan defisit serta penunggakan pembayaran di fasilitas kesehatan menjadi PR penting bagi pemerintah.
Permasalahan yang paling utama dalam mencapai UHC di Indonesia adalah pemerataan fasilitas kesehatan, terutama di daerah pedalaman dan perbatasan. Di Pontianak, sudah umum jika orang-orang yang kurang puas berobat di rumah sakit lokal, mereka akan memilih untuk berobat di Kuching dengan biaya sendiri karena fasilitasnya dianggap lebih lengkap dan lebih baik.
Saya pernah mendapati pasien yang kondisinya sangat tidak stabil dikarenakan harus menempuh jalur sungai selama berjam-jam untuk mencapai rumah sakit terdekat dari puskesmas. Ini contoh ketimpangan nyata dalam hal akses ke fasilitas kesehatan.
Berkaca dari NHS, Inggris mengambil komitmen untuk dekarbonisasi dalam sektor kesehatan. Sedangkan Indonesia yang berkomitmen untuk mencapai net zero di 2060, masih berfokus pada pemberdayaan energi terbarukan. Jadi, kebijakan dekarbonisasi melalui NHS akan menjadi contoh baik yang dapat diimplementasikan di Indonesia.
Anda menggagas Asia-Pacific Climate Project, bisa diceritakan?
Asia-Pacific Climate Project (APCP) merupakan platform virtual, yang menyediakan informasi-informasi kegiatan berbasis lingkungan di tingkat Asia-Pacific seperti forum, konferensi, pertukaran pemuda, riset, fellowship, dan lainnya.
Saya mendirikan APCP ini karena saya berpikir belum ada platform online yang khusus untuk menaungi anak muda di Asia-Pacific, sehingga saya menginisiasi APCP bersama teman saya dari Bangladesh. Kemudian untuk membentuk tim inti, saya mengajak teman dari Myanmar. Dan agar ada perwakilan dari regional Pasifik, saya mengajak teman saya dari Kepulauan Fiji untuk ikut bergabung. Hingga akhirnya terbangunlah APCP hingga saat ini.
Melalui APCP, saya berharap dapat membantu anak muda di Asia-Pacific agar teberdayakan secara internasional dan regional, agar mereka mampu membangun kapasitas personal untuk menjadi aktivis lingkungan. Intinya adalah memperluas inklusivitas informasi agar dapat diakses oleh semua anak muda; menyediakan kesempatan yang setara bagi mereka untuk ikut mengembangkan diri dalam isu lingkungan.
Apa harapan dan komitmen Anda dalam isu kesehatan dan lingkungan?
Sebagai seorang aktivis lingkungan sejak menempuh kuliah kedokteran, saya sadar bahwa isu lingkungan tidak bisa dipisahkan dari isu kesehatan. Sejak saya menempuh studi kedokteran, saya sudah berkomitmen pada diri saya untuk menyembuhkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui aktivisme saya.
Saya sudah terlibat di komunitas lingkungan lokal Pontianak sejak 2014, tergabung dalam beberapa gerakan anak muda peduli lingkungan hingga 2019. Saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan karier aktivisme saya di tingkat internasional hingga saat ini. Terkadang saya juga mengambil peran dalam kegiatan-kegiatan spesifik kesehatan untuk edukasi PTM maupun bakti sosial.
Ke depan, saya ingin terlibat lebih dalam mengatasi isu kesehatan dan lingkungan dengan menjadi praktisi kesehatan masyarakat berbasis lingkungan di Indonesia dan tingkat internasional. Saya berharap saya mampu menjangkau kelompok masyarakat yang lebih luas dan tidak terbatas oleh wilayah negara.
Kebijakan seperti apa yang Anda harapkan dari pemerintah Indonesia menyangkut isu kesehatan masyarakat dan lingkungan?
Secara umum, upaya penanggulangan dampak kesehatan akibat krisis iklim yang paling utama adalah dengan menerapkan sistem kesehatan tahan iklim (climate resilient health system) serta mengurangi emisi karbon melalui kebijakan net zero emission. Berkaca pada kasus NHS di Inggris serta komitmen pemerintah, saya selaku praktisi kesehatan dan aktivis lingkungan dapat melihat dari kacamata seperti ini.
Kerangka pendekatan sistem kesehatan tahan iklim memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas sistem kesehatan agar dapat melindungi dan meningkatkan kesehatan penduduk dalam kondisi iklim yang tidak stabil dan berubah-ubah. Sistem kesehatan harus semakin diperkuat, dibuat efisien dan responsif, mengurangi ketidaksetaraan dan kerentanan dalam masyarakat, dan memberikan perlindungan sosial serta perlindungan finansial yang memadai.
Sistem kesehatan tahan iklim membangun kapasitas untuk secara efektif memantau, mengantisipasi, mengelola, dan beradaptasi dengan risiko kesehatan yang terkait dengan variabilitas dan perubahan iklim. Dalam proses reformasi seluruh sistem kesehatan menjadi lebih tahan iklim, komponen independen pembangun sistem tersebut–yaitu kepemimpinan dan tata kelola, tenaga kerja kesehatan, sistem informasi kesehatan, produk dan teknologi medis esensial, pemberian layanan dan pembiayaan–juga harus menjadi tahan iklim.
Lalu soal net zero emission. Pelayanan kesehatan turut berpartisipasi sebagai salah satu penyumbang jejak karbon terbesar dari semua sektor jasa, dan bertanggung jawab atas sekitar 4-5% emisi karbon global, melebihi angka gabungan jejak karbon sektor penerbangan dan pelayaran.
Kontributor utama dari jejak karbon ini berasal dari obat-obatan (termasuk inhaler), gas anestesi, transportasi pasien dan staf, fasilitas pemanas dan pendingin, penggunaan listrik, pengelolaan limbah, serta makanan dan katering. Layanan kesehatan seringkali merupakan bagian terbesar dari emisi yang berasal dari sektor publik, dimana sebagian besar kontrol berada di bawah kendali otoritas negara maupun daerah, sehingga dalam penanggulangannya memerlukan komitmen besar dari pemerintah.
Jejak karbon dari sektor kesehatan dapat dikurangi melalui kebijakan struktural nasional dan regional (misalnya dekarbonisasi suplai energi), pembuatan peraturan (misalnya standar efisiensi bangunan), dan pendekatan berbasis inovasi (misalnya transportasi elektrik) yang secara tidak langsung melibatkan sektor kesehatan. Melalui implementasi net zero emission, sektor kesehatan dapat ikut berperan dalam pengurangan emisi regional hingga global.
Di samping itu, pemerintah juga mesti memastikan bahwa kebijakan yang diambil bersifat inklusif, sensitif gender, berorientasi pada masyarakat akar rumput, serta konsisten dalam implementasinya. Poin inklusivitas sangat penting, karena kebijakan yang dibuat tanpa proses konsultasi dengan masyarakat yang terdampak, tidak akan tepat sasaran. Semoga pemerintah (nasional hingga desa) lebih melibatkan anak muda dalam proses pembangunan berkelanjutan.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.