William Kamkwamba, Pemuda Afrika yang Menjaring Angin
Saat William Kamkwamba berusia 13 tahun, Malawi (Afrika Timur) mengalami kelaparan parah. Orang tuanya tak sanggup membayar biaya sekolah, ladang mereka kekeringan. Maka dia pun harus hengkang dari bangku sekolah, drop out.
Meskipun berhenti sekolah, William tak berhenti belajar. Ia pun memperkaya pengetahuan melalui perpustakaan daerah. Pada usia 14 tahun ia banyak menghabiskan waktu di sana. Ia banyak membaca, terutama buku-buku sains. Saat itu ia masih belum kenal komputer, juga belum tahu ada mesin pencari semacam Google untuk menggali informasi.
Saat membaca itulah William melihat satu buku berbahasa Inggris berjudul “Using Energy”. Karena tak begitu menguasai bahasa Inggris maka ia hanya melihat gambar-gambarnya saja. Sampul buku itu bergambar kincir angin, yang mengilustrasikan bahwa tenaga angin bisa menghasilkan listrik.
William juga menyadari bahwa daerahnya sangat membutuhkan air dan listrik. Pertanian di sana sangat kritis sebab kurangnya pengairan. Tidak ada alat untuk memompa air. Bahkan listrik pun sangat langka, saat itu hanya 2% masyarakat pedesaan yang bisa menikmati listrik.
Dari bacaan-bacaan yang ia pelajari itulah William mendapatkan ide sederhana untuk membuat pembangkit listrik tenaga angin. Kemudian ia mulai membuat kincir angin sebagai generator listrik dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Mulai dari kayu-kayu bekas bangunan, kincir bekas traktor, hingga roda bekas sepeda.
“Orang-orang bilang saya gila. Mereka kira saya ganja. Mereka mengerumuni saya, mereka penasaran apa yang sedang saya buat,” kata William. “Tapi ketika kincir mulai berputar, anak-anak bersorak-sorai. Ketika lampu sudah mulai menyala, warga terheran-heran bagaimana bisa listrik lahir dari angin?” katanya berkisah di TED-Talk.
Kincir angin buatan William itu berhasil menyalakan empat bohlam dan mengisi daya ponsel tetangganya. Ia pun membuat tiga kincir lagi. Berkat inovasinya itu, desa tempat tinggal William bisa merasakan manfaat listrik untuk kehidupan sehari-hari.
Rumah-rumah di desanya mendapat pasokan listrik untuk penerangan sekadarnya tiap malam. Ia pun membuat kincir yang lebih besar, juga pompa bertenaga surya, untuk dijadikan penyedia daya bagi irigasi pertanian warga.
Kincir angin sebagai generator listrik memang bukan penemuan baru. Namun kebergunaannya sebagai solusi kehidupan warga membuat inisiatif William ini menjadi prestasi yang patut diapresiasi. Ia pun mendapat beasiswa penuh dari Dartmouth College, Hanover, AS, jurusan studi lingkungan hingga lulus pada 2014.
Setelah lulus dari kampus, William mulai bekerja dan tetap berkiprah untuk masyarakat di kampung halamannya. Ia memprakarsai proyek Moving Windmills Innovation Center di Kasungu (Malawi), berupa inisiatif-inisiatif berbasis teknologi terapan untuk mengatasi masalah-masalah kemasyarakatan.
“Tantangan ada bukan untuk membuat saya berhenti mengejar cita-cita. Tapi ia ada sebagai penguat agar saya terus berjuang mewujudkan cita-cita itu,” ujar William.
Editor: Inez Kriya
Kisah inspiratif William ini didokumentasikan dalam buku otobiografi terbitan New York Times, berjudul “The Boy Who Harnessed the Wind”, yang kemudian diadaptasi menjadi film berjudul sama di Netflix. Buku dan film ini sukses menjadi inspirasi bagi anak-anak muda di seluruh dunia, untuk terus belajar walau bagaimanapun.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Zia adalah penulis kontributor untuk Green Network ID. Saat ini aktif menjadi Pendamping Belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).