Melindungi Anak dari Jerat Eksploitasi Seksual di Ruang Digital
Perkembangan teknologi semakin memudahkan siapa saja, termasuk anak-anak, dalam memperoleh informasi dan terkoneksi dengan mudah dengan banyak orang, bahkan orang-orang asing yang tidak dikenal latar belakangnya. Tanpa pengawasan dan literasi digital yang baik, konektivitas digital dapat menjerumuskan anak-anak pada konten-konten atau hal-hal yang membahayakan, termasuk eksploitasi seksual online. Demi keselamatan dan masa depan anak-anak, diperlukan tindakan komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan untuk melindungi anak dari jerat eksploitasi seksual di ruang digital yang semakin mengkhawatirkan
Eksploitasi Seksual Anak di Ruang Digital
Eksploitasi seksual anak online merujuk pada tindakan eksploitatif secara seksual yang dilakukan terhadap anak usia di bawah 18 tahun dengan menggunakan teknologi, internet, dan komunikasi digital. Hal ini dapat dilakukan oleh orang dewasa atau teman sebaya melalui tindakan yang memanfaatkan relasi kuasa, manipulasi atau penipuan, hingga ancaman. Eksploitasi seksual anak dapat berupa banyak hal, antara lain sebagai berikut namun tidak terbatas pada:
- Produksi, kepemilikan, atau berbagi materi pelecehan seksual anak (Child Sexual Abuse Material/CSAM) atau disebut juga sebagai pornografi anak. CSAM dapat berupa foto, video, audio, dan penggambaran visual lain dari pelecehan atau bagian seksual anak yang nyata ataupun yang dihasilkan komputer.
- Siaran langsung pelecehan seksual anak, yaitu pelecehan yang dilakukan dan dilihat secara bersamaan dan langsung melalui alat komunikasi, alat video konferensi, dan/atau aplikasi obrolan.
- Child grooming, yakni perilaku membangun hubungan emosional yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak di bawah umur untuk tujuan seksual.
Kerentanan anak terhadap eksploitasi seksual di ruang digital bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu peningkatan akses ke teknologi dan internet yang tidak diawasi, paparan konten pornografi, rendahnya bimbingan dari orang tua, kekerasan dalam keluarga, kemiskinan, hingga norma gender.
Kasus di Indonesia
Berdasarkan keterangan pers dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) pada April 2024, Indonesia sudah berada di level darurat kasus pornografi anak. Pasalnya, konten pornografi anak dalam kurun waktu 4 tahun (2019-2023) jumlahnya mencapai 5,5 juta, yang menjadikan Indonesia berada di peringkat ke-4 di dunia dan ke-2 di ASEAN.
Pada Februari 2024, misalnya, Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta menemukan 3.9780 video dan 1.245 foto yang melibatkan delapan anak Indonesia sebagai objek pelampiasan seksual jaringan internasional. Para korban adalah anak berumur 12-16 tahun yang didekati oleh pelaku lewat gim daring. Mereka diajak bermain bersama, diberi hadiah, hingga didatangi di rumahnya untuk membuat konten asusila yang kemudian diperjualbelikan lewat Telegram. Kasus ini hanya puncak dari gunung es karena pada kenyataannya, bisa jadi banyak kasus yang tidak terlaporkan.
Imbalan uang atau hadiah menjadi tren yang berkembang untuk menjebak anak mengirimkan gambar atau video seksualnya. Berdasarkan laporan Disrupting Harm yang disusun oleh ECPAT, UNICEF, dan Interpol, dari total pengguna internet usia 12-17 tahun yang disurvei, sembilan anak mengaku pernah ditawari uang atau hadiah sebagai imbalan atas gambar atau video seksual. Beberapa yang lain bahkan ditawari uang untuk bertemu langsung dengan pelaku dan melakukan tindakan seksual. Tidak hanya ditawari hadiah, anak-anak ini juga diperas dan diancam oleh pelaku yang bisa berupa pasangan, teman atau kenalan, hingga orang tidak dikenal.
Sayangnya, anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut seringkali tidak memiliki ruang aman untuk mengungkapkan apa yang menimpa mereka. Laporan yang sama menyatakan bahwa anak yang pernah mengalami pelecehan dan eksploitasi seksual tidak tahu harus mengadu ke mana dan takut untuk mengungkapkan hal yang mereka alami. Mereka juga enggan bercerita karena khawatir dapat timbul masalah bagi diri mereka sendiri atau keluarga mereka.
Lebih lanjut, laporan tersebut juga mengungkap bahwa tidak satupun korban yang membuat laporan resmi ke polisi atau saluran bantuan lain. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kurangnya kesadaran akan eksploitasi seksual di ruang digital, pengetahuan yang tidak memadai tentang mekanisme pelaporan, kepercayaan yang rendah terhadap proses peradilan, hingga stigma dan perasaan malu.
Melindungi Anak dari Eksploitasi Seksual
Dalam menangani maraknya konten pornografi anak, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memutus akses terhadap 1,9 juta konten per September 2023. Pemerintah juga berencana membentuk satuan tugas (satgas) dari kolaborasi antar kementerian/lembaga untuk menangani kasus konten pornografi anak mulai dari pencegahan hingga pasca kejadian.
Namun, melindungi anak dari jerat eksploitasi seksual tidak bisa hanya dengan memblokir atau memerangi konten pornografi anak. Perlu ada tindakan komprehensif dan berkelanjutan dari pemerintah, lembaga penegak hukum, industri teknologi, hingga masyarakat secara umum untuk memberikan dukungan lebih kepada korban. Laporan Disrupting Harm menyerukan beberapa poin rekomendasi berbasis bukti yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan terkait lainnya untuk melindungi anak dari eksploitasi seksual, yang dibagi dalam tiga poin besar:
- Bertindak
-
- Memastikan peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit dapat mengkriminalisasi siaran langsung pelecehan seksual anak, pemerasan seksual daring, grooming anak-anak untuk tujuan seksual, dan pornografi anak.
- Memperluas program yang mempromosikan dialog antara kaum muda dan mendorong teman sebaya untuk mencari bantuan atas pelecehan dan eksploitasi yang mereka alami.
- Mempermudah akses informasi terhadap saluran bantuan yang dapat dijangkau baik oleh anak-anak maupun orang dewasa.
- Memperkuat kapasitas penegak hukum dan mendorong proses penyidikan yang ramah anak.
- Bekerja sama dengan penyedia layanan internet, perusahaan teknologi, hingga pakar privasi dan penegak hukum untuk mengembangkan peraturan untuk memfilter, memblokir, menghapus CSAM, menangani grooming, dan siaran langsung pelecehan seksual.
- Meningkatkan pengumpulan data dan pemantauan kasus eksploitasi anak online.
- Mendidik
-
- Meningkatkan kesadaran publik tentang eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara online.
- Mendukung lingkungan yang membuat anak-anak merasa nyaman dalam mencari nasihat, bantuan, dan percakapan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.
- Menyediakan pelatihan literasi dan keamanan digital yang komprehensif bagi anak-anak, orang tua, dan pengasuh.
- Memberdayakan guru untuk mengintegrasikan literasi dan keamanan digital dalam pembelajaran di sekolah.
- Memastikan akses pendidikan yang inklusif dan menjangkau semua anak.
- Menyediakan tim Unit Forensik Digital dengan pengembangan kapasitas khusus pada identifikasi korban.
- Berinvestasi
-
- Alokasikan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia yang memadai ke semua lembaga dan unit terkait untuk tindakan dan upaya pendidikan yang diuraikan di atas.
- Investasi dalam sumber daya dan penggunaan teknologi terbaru untuk investigasi proaktif kasus eksploitasi seksual anak online.
- Meningkatkan akses dan ketersediaan layanan dukungan bagi korban seperti layanan rehabilitasi dan memastikan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dibentuk di tiap daerah dengan sumber daya manusia memadai.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.