Meningkatkan Implementasi Pendidikan Kebencanaan
Sebagai negara kepulauan yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia rawan terhadap berbagai bencana alam. Kondisi ini diperparah oleh krisis iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan tidak dapat diprediksi, sehingga frekuensi bencana terus meningkat setiap tahunnya dengan dampak yang semakin luas ke berbagai sektor, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kapasitas kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko bencana, salah satunya melalui penyelenggaraan pendidikan kebencanaan.
Satuan Pendidikan yang Rawan Bencana
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 5.400 kejadian bencana yang mengakibatkan ratusan orang meninggal, ribuan mengalami luka-luka, dan lebih dari 8 juta orang menderita dan mengungsi. Kejadian bencana alam juga berdampak pada rusaknya ribuan fasilitas, termasuk fasilitas pendidikan.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019, ada sekitar 126.681 satuan pendidikan dasar dan menengah yang berdiri di wilayah dengan ancaman bencana sedang hingga tinggi, mulai dari rawan banjir (54 ribu sekolah), rawan gempa (52 ribu sekolah), rawan longsor (15 ribu sekolah), rawan tsunami (2,4 ribu sekolah), dan letusan gunung api (1,6 ribu sekolah). Dalam kurun waktu 2009 – 2018, berbagai kejadian bencana alam telah berdampak pada lebih dari 62 ribu satuan pendidikan dan 12 juta siswa.
Besarnya dampak bencana terhadap fasilitas pendidikan membutuhkan perhatian khusus mengenai upaya pengurangan risiko bencana. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui penyelenggaraan pendidikan kebencanaan.
Pendidikan Kebencanaan
Pendidikan kebencanaan merupakan konsep yang mengintegrasikan kebencanaan dalam kurikulum sehingga siswa dapat berperan dalam membangun pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk mempersiapkan dan mengatasi bencana serta membantu mereka kembali pada kehidupan normal setelah terjadinya bencana. Dengan kata lain, siswa dapat mempelajari strategi-strategi untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan (resilience) terhadap dampak fisik dan psikososial dari bencana.
Pendidikan kebencanaan menjadi hal yang penting mengingat anak-anak merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap bencana. Selain itu, siswa atau anak-anak juga dapat menjadi penerus informasi untuk menyebarkan pengetahuan kebencanaan yang diterimanya kepada keluarga dan masyarakat yang lebih luas.
Akan tetapi, sebuah studi menunjukkan bahwa implementasi pendidikan kebencanaan atau yang berkaitan dengan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, termasuk soal ketiadaan skema yang jelas apakah pendidikan kebencanaan akan diintegrasikan dalam pembelajaran di kelas atau melalui kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, implementasinya sering diserahkan kepada masing-masing sekolah, sehingga pendidikan kebencanaan yang digulirkan hanya bersifat insidental. Misalnya, seminar risiko bencana atau simulasi evakuasi seringkali hanya dilakukan satu atau dua kali dalam setahun alih-alih secara rutin atau berkala.
Selain itu, kurikulum Indonesia yang kerap berubah seiring dengan pergantian pemimpin membuat implementasi pendidikan kebencanaan menjadi tidak konsisten. Penyediaan pelatihan PRB bagi guru juga masih sangat terbatas sehingga masih banyak sekolah yang belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menyampaikan pendidikan kebencanaan.
Adapun program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang diusung oleh pemerintah masih berjalan sendiri dan tidak terintegrasi dengan kurikulum pendidikan nasional. Implementasinya pun masih belum masif, karena per tahun 2020, baru 5% dari seluruh satuan pendidikan yang mendapatkan intervensi program ini.
Kendala dalam implementasi SPAB ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya masih adalah masih banyak sekolah yang belum menjadikan SPAB sebagai target prioritas karena keterbatasan dana, serta kurangnya kepedulian karena tidak mengenal lingkungan sekolah mereka yang berada di dalam zona bahaya bencana.
Regulasi SPAB yang ada saat ini juga tidak bersifat mengikat sehingga banyak satuan pendidikan yang menganggap program ini tidak begitu penting. Sementara yang sudah menyelenggarakan SPAB, banyak yang hanya bertahan 1-3 tahun tanpa ada keberlanjutan.
Memperluas Cakupan
Pendidikan kebencanaan merupakan hal penting untuk meningkatkan kapasitas warga sekolah untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana. Namun, perlu dipastikan bahwa setiap satuan pendidikan memiliki sarana dan prasarana yang memadai, seperti keberadaan sistem peringatan dini dan titik kumpul dan jalur evakuasi dengan penanda yang jelas. Selain itu, perlu juga menyediakan pedoman atau petunjuk teknis yang jelas, membentuk rantai koordinasi yang efektif dengan setiap pemangku kepentingan terkait, hingga mengadakan pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk tenaga kependidikan.
Lebih dari itu semua, pendidikan kebencanaan tidak hanya penting diadakan di satuan pendidikan formal, melainkan juga mesti diperluas cakupannya di lingkungan pendidikan informal dan di masyarakat luas. Selain itu, pelaksanaannya perlu melibatkan kearifan lokal karena setiap daerah memiliki karakteristik kebencanaan yang berbeda. Terakhir, pendidikan kebencanaan harus dirancang sebaik mungkin dengan mengintegrasikan aspek GEDSI (kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi) agar tidak ada seorang pun yang tertinggal di belakang dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Editor: Abul Muamar
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Seftyana adalah Freelance Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.