Laporan Deloitte 2022 Tunjukkan Bagaimana Eksekutif Menyikapi Perubahan Iklim

Foto oleh Medienstürmer on Unsplash
Keberlanjutan adalah tanggung jawab bersama, meskipun porsinya jauh dari kata setara. Mulai dari kebijakan pemerintah, inisiatif bisnis, hingga tanggung jawab perorangan, tidak ada upaya yang dilakukan demi keberlanjutan yang sia-sia. Para pemimpin bisnis, secara khusus, memiliki kuasa untuk mengarahkan perusahaan mereka agar mengadopsi praktik keberlanjutan. Pertanyaannya, bagaimana sikap mereka terhadap keberlanjutan?
Laporan Keberlanjutan Deloitte CxO 2022 mengkaji kepedulian dan tindakan nyata para pemimpin bisnis dan perusahaan berkaitan dengan perubahan iklim dan kelestarian lingkungan. Laporan tersebut menunjukkan adanya peningkatan kepedulian terhadap perubahan iklim di kalangan para eksekutif bisnis.
Meningkatnya kepedulian pada perubahan iklim
Laporan tersebut didasarkan pada survei terhadap 2,083 eksekutif C-suite di 21 negara. KS&R Inc. dan Deloitte menyelenggarakan survei tersebut pada September-Oktober 2021 setelah Laporan IPCC keluar.
Secara umum, laporan tersebut mengungkap adanya peningkatan kesadaran dan kepedulian terhadap perubahan iklim di kalangan para eksekutif. Sebanyak 79% dari mereka setuju bahwa bumi berada di ujung tanduk dalam menghadapi perubahan iklim, naik 20% dibandingkan survei sebelumnya. Demikian pula dengan peningkatan dari 63% menjadi 88% pada tingkat optimisme untuk bertindak menghadapi perubahan iklim.
Meningkatnya kepedulian terhadap perubahan iklim sejalan dengan dampak yang dirasakan perusahaan. Laporan itu menunjukkan 97% perusahaan telah terdampak perubahan iklim, dengan dampak operasional dari bencana iklim sebagai persoalan utama. Perusahaan juga merasakan meningkatnya tekanan untuk menerapkan tindakan yang berhubungan dengan perubahan iklim dari berbagai pemangku kepentingan — mulai dari pengambil kebijakan hingga konsumen dan pekerja.
Kesenjangan antara kesadaran dengan tindakan
Kendati kepedulian itu meningkat, mayoritas perusahaan belum melakukan lebih dari satu tindakan keberlanjutan yang nyata. Hanya 19% dari mereka yang telah mewujudkan setidaknya empat dari lima tindakan yang dianggap sebagai “jarum penggerak perubahan” oleh Deloitte:
- Mengembangkan produk atau jasa baru yang ramah iklim;
- Mewajibkan pemasok dan mitra bisnis untuk memenuhi kriteria keberlanjutan tertentu;
- Memperbarui atau memindahkan fasilitas agar lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim; ·
- Memasukkan pertimbangan iklim dalam lobi dan dana politik; dan
- Mengikat kompensasi pemimpin senior dengan kinerja berkelanjutan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa saat ini, tidak mungkin bagi perusahaan untuk menerapkan tindakan nyata dengan pertimbangan terhadap perubahan iklim.
Misalnya, menggunakan bahan baku yang lebih berkelanjutan dianggap sebagai tindakan utama perusahaan alih-alih mengembangkan produk dan jasa baru yang ramah iklim. Laporan tersebut juga mengungkapkan perusahaan mengalami kesulitan dalam menghitung biaya peralihan ke perusahaan rendah-karbon.
Terakhir, laporan tersebut juga memberi usulan untuk menjembatani kesenjangan antara tingkat kepedulian dengan tindakan yang telah diambil:
- Mengikuti kerangka kerja yang telah diakui untuk membantu menetapkan tujuan yang tepat dan untuk menilai kemajuan;
- Mengembangkan rencana yang konkret untuk memastikan tujuan jangka panjang memiliki akuntabilitas jangka pendek;
- Mendidik para pemimpin senior dan direksi;
- Melakukan pendekatan metrik iklim dengan sikap sama seperti metrik operasi lainnya;
- Menggalakkan kolaborasi; dan
- Melekatkan pertimbangan iklim ke dalam setiap bagian bisnis.
Kewajiban bersama
Bisnis mempunyai kewajiban untuk mengurangi dampak perubahan iklim dengan tindakan keberlanjutan yang nyata. Dengan suhu bumi hampir mencapai ambang batas Perjanjian Paris, dunia memerlukan langkah nyata untuk mencegah lebih banyak bencana terjadi. Eksekutif bisnis perlu bergerak lebih dari sekedar kesadaran dengan mempengaruhi perusahaan mereka agar mengambil bagian dalam terwujudnya keberlanjutan demi masa depan yang lebih baik.
Editor: Abul Muamar
Penerjemah: Gayatri W.M
Versi asli artikel ini diterbitkan dalam bahasa Inggris di platform media digital Green Network Asia – Internasional.
Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.