Kepemimpinan Keberlanjutan di Tengah Kelelahan Global: Refleksi dari Survei Pemimpin Keberlanjutan 2025
Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Ada paradoks yang menggelisahkan saya dalam laporan Sustainability Leaders 2025 dari GlobeScan dan ERM Sustainability Institute. Di satu sisi, perubahan iklim tetap menjadi krisis paling mendesak menurut hampir seluruh pakar dan praktisi keberlanjutan, di mana 94% responden menilainya sangat urgen; di sisi lain, urgensi terhadap hampir semua isu keberlanjutan lainnya justru menurun. Dari 18 tantangan yang dipantau, secara mengagetkan sembilan di antaranya mengalami penurunan tingkat kepentingan, termasuk keanekaragaman hayati, deforestasi, kelangkaan air, ketahanan pangan, bahkan kondisi buruh di rantai pasokan.
Bagi saya, yang sudah menjadi responden survei ini selama bertahun-tahun, ini bukan sekadar fluktuasi statistik. Saya membaca sinyal kelelahan kolektif. Dan saya sungguh merasa khawatir atas kelelahan itu lantaran kita berada di tengah krisis yang semakin menumpuk.
Ketika Urgensi Berubah Menjadi Kelelahan
Penurunan persepsi urgensi ini bukan karena masalahnya menghilang. Keanekaragaman hayati jelas terus terancam, hutan tetap menggundul walau kecepatannya menurun, dan air semakin langka. Yang berubah mungkin adalah kapasitas kita untuk tetap waspada terhadap banyak krisis sekaligus. Fenomena ini mengingatkan saya pada apa yang disebut dalam disiplin ilmu psikologi sebagai “compassion fatigue”—kelelahan emosional yang muncul ketika kita terus-menerus dihadapkan pada informasi tentang penderitaan dan krisis.
Dalam konteks keberlanjutan perusahaan, kelelahan ini sungguh berbahaya. Ketika isu-isu seperti keanekaragaman hayati dan kondisi buruh kehilangan momentum perhatian, perusahaan yang komitmennya rendah mendapat tambahan dalih untuk memperlambat upaya dan/atau mengecilkan sumber daya. Ironisnya, penurunan urgensi ini terjadi justru ketika bukti ilmiah menunjukkan kita semakin mendekati titik kritis alias tipping points yang tidak bisa lagi dibalikkan ketika kita sudah melampauinya.
Laporan tersebut juga mengungkap fenomena menarik lainnya: peraturan yang dibuat pemerintah negara masih dianggap sebagai pendorong kemajuan keberlanjutan paling signifikan, di saat persepsi atas pentingnya regulasi melemah sejak 2024. Sementara itu, standar pengungkapan keberlanjutan—yang sangat dihargai pada tahun-tahun sebelumnya—mengalami penurunan relevansi yang tajam. Ini agaknya menunjukkan skeptisisme yang tumbuh, yaitu bahwa regulasi dan pengungkapan saja sebenarnya tidaklah cukup tanpa implementasi dengan bukti yang bermakna.
Geografi Kepedulian: Prioritas yang Terfragmentasi
Yang juga menarik bagi saya adalah bagaimana geografi membentuk prioritas keberlanjutan yang berbeda-beda. Afrika dan Timur Tengah menekankan ketahanan pangan dan akses pendidikan—isu-isu mendasar yang memang mencerminkan realitas pembangunan mereka. Amerika Latin dan Karibia fokus pada kemiskinan dan deforestasi, yang sangat relevan dengan konteks sosial-ekonomi dan ekologi kawasan hutan hujan mereka. Eropa memprioritaskan kerangka legislatif, mencerminkan pendekatan regulatori mereka yang khas sejak dulu. Sementara, Asia-Pasifik menekankan solusi berbasis alam dan iklim, dan Amerika Utara menonjolkan energi terbarukan dan dekarbonisasi.
Fragmentasi prioritas ini sebenarnya wajar lantaran setiap wilayah menghadapi tantangan yang unik. Namun, ini juga menunjukkan risiko bahwa tanpa dialog dan kolaborasi lintas-regional yang kuat, agenda keberlanjutan global bisa kehilangan koherensi. Perubahan iklim, yang disebut sebagai isu terpenting, adalah masalah yang tak mengenal batas, namun respons yang ditunjukkan tetap sangat terikat pada konteks lokal.
Bagi Indonesia, posisi kita di kawasan Asia-Pasifik membawa implikasi tertentu. Penekanan pada solusi berbasis alam dan iklim seharusnya menjadi momentum mengingat Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia dan keanekaragaman hayati yang luar biasa kaya. Namun, apakah perusahaan-perusahaan Indonesia sudah memanfaatkan keunggulan komparatif ini dalam strategi keberlanjutan mereka? Ataukah, perusahaan-perusahaan bakal membuta-tuli, dan malahan terus merusak apa yang menjadi keunggulan kita itu? Sebagai orang yang memerhatikan keberlanjutan perusahaan di Indonesia secara lekat, saya bisa menyaksikan kedua sisi itu, tapi tak bisa bilang mana yang sesungguhnya lebih kuat.
Patagonia dan Paradoks Kepemimpinan Berkelanjutan
Untuk tahun ketiga berturut-turut, perusahaan dan merk favorit saya, Patagonia, memimpin peringkat perusahaan paling diakui dalam mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam strategi bisnis. Mereka dipilih oleh 36% responden, diikuti IKEA (12%) dan Unilever (11%). Unilever di bawah kepemimpinan Paul Polman dahulu pernah mendominasi daftar ini selama lebih dari satu dekade, mencapai puncak nilainya pada 2018, sebelum akhirnya digantikan Patagonia.
Apa yang membuat Patagonia begitu diakui? Menurut para pakar, dua faktor utama: menjadikan keberlanjutan sebagai pendorong bisnis yang utama (26% responden) dan memberikan bukti nyata dari dampak dan tindakan mereka (21%). Jadi, keunggulan Patagonia itu utamanya bukan target mereka yang ambisius atau komunikasi yang menarik—meski keduanya sangat penting—melainkan tentang bukti konkret bahwa keberlanjutan benar-benar menjadi DNA perusahaan alih-alih sekadar sesuatu yang berada di pinggiran bisnis mereka.
Namun, saya juga memikirkan paradoks di sini. Patagonia adalah perusahaan yang relatif kecil dibandingkan dengan konglomerat seperti Unilever atau Microsoft. Jelas lebih mudah bagi perusahaan dengan rantai nilai yang lebih sederhana, dan kendali penuh pendirinya yang aktivis, untuk mengintegrasikan keberlanjutan secara menyeluruh. Pertanyaannya: bisakah model Patagonia ditiru oleh perusahaan besar dan kompleks? Atau, apakah perlu paradigma kepemimpinan keberlanjutan yang berbeda untuk perusahaan dengan skala dan kompleksitas yang berbeda pula? Buku terbaru dan mungkin terbagus soal pendiri Patagonia Yvon Chouinard, The Man Who Gave It All Away: Dirtbag Billionaire, yang ditulis David Gelles, agaknya tak cukup berminat untuk menjawabnya dengan tuntas.
Munculnya nama-nama seperti Schneider Electric, Microsoft, Interface, dan Ørsted dalam daftar teratas menunjukkan bahwa model keberlanjutan memang tidak harus seragam. Ørsted, misalnya, dipuji karena transformasinya dari perusahaan energi berbasis fosil menjadi pemimpin global energi terbarukan. Ini membuktikan bahwa transisi besar-besaran bukan saja mungkin, tetapi luar biasa menguntungkan jika dilakukan dengan komitmen sejati.
Standar Pengungkapan yang Seperti Kehilangan Kilau
Penurunan signifikan dalam persepsi pentingnya standar pengungkapan keberlanjutan patut mendapat perhatian khusus. Beberapa tahun terakhir, dunia bisnis dibanjiri oleh kerangka pelaporan: GRI, SASB, TCFD, TNFD dan sekarang IFRS S1 dan S2. Awalnya, ini disambut sebagai kemajuan, lantaran transparansi adalah langkah pertama menuju akuntabilitas. Namun, kini tampaknya terjadi kelelahan terhadap pelaporan tanpa tindakan, perubahan, dan dampak yang benar-benar nyata. Para pakar mulai mempertanyakan: apakah pengungkapan yang semakin detail benar-benar menghasilkan perubahan yang signifikan? Ataukah ini sekadar menjadi pertunjukan kepatuhan, bahkan ajang pameran, yang menyita sumber daya tanpa dampak yang proporsional?
Bagaimanapun, ini adalah kritik yang adil. Pelaporan keberlanjutan memang harus menjadi alat untuk perubahan, bukan tujuan itu sendiri. Perusahaan yang terjebak dalam siklus ‘mengungkapkan demi mengungkapkan’ akan dengan cepat kehilangan legitimasi, apalagi kalau perusahaan malah terbukti melakukan greenwashing dan social-washing lewat beragam dokumen pelaporan. Yang menurut saya sangat kita butuhkan adalah peralihan dari disclosure culture menuju impact culture—di mana metrik yang dilaporkan perusahaan benar-benar mencerminkan transformasi dampak operasional dan model bisnis menuju ekonomi regeneratif.
Rekomendasi untuk Perusahaan Indonesia
Bagaimana membaca hasil itu semua dari negeri kita? Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan potensi menjadi pemain global yang lebih signifikan, perusahaan-perusahaan Indonesia tidak bisa lagi menunda agenda keberlanjutan. Dari temuan survei ini, lima rekomendasi berikut ingin saya sampaikan kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia:
Pertama, integrasikan keberlanjutan sebagai strategi inti bisnis. Survei menunjukkan bahwa perusahaan yang diakui sebagai pemimpin adalah mereka yang menjadikan keberlanjutan sebagai core business driver. Bagi perusahaan Indonesia, ini berarti keberlanjutan harus menjadi model bisnis, masuk dalam diskusi antara dewan komisaris dan direksi, terintegrasi dalam KPI eksekutif, dan menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan investasi besar. Keberlanjutan bukan fungsi humas atau compliance, melainkan strategi bersaing.
Kedua, fokus pada bukti dampak, bukan sekadar target. Target seperti net-zero emissions atau nol deforestasi memang penting, namun pemangku kepentingan kini semakin menuntut bukti tindakan konkret. Perusahaan Indonesia perlu lebih transparan tentang progres aktual, kegagalan, dan pembelajaran sepanjang perjalanan menuju target-target itu. Komunikasi yang jujur tentang tantangan lebih membangun kepercayaan daripada greenwashing dengan klaim-klaim bombastis.
Ketiga, manfaatkan secara optimal keunggulan Indonesia dalam Solusi Berbasis Alam (Nature-based Solutions/NbS). Sebagai negara megabiodiversitas dengan ekosistem tropis yang kaya, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam NbS. Perusahaan perkebunan, kehutanan, hingga properti bisa menjadi jawara dalam restorasi ekosistem, sekuestrasi karbon, dan konservasi keanekaragaman hayati. Demikian juga perusahaan-perusahaan energi fosil dan ketenagalistrikan perlu membayar sebagian dosa karbon mereka dengan NbS, mengiringi kesungguhan dalam dekarbonisasi. Ini bukan “hanya” kontribusi bagi kelestarian lingkungan, tetapi juga perlu dimanfaatkan menjadi diferensiasi pasar yang kuat.
Keempat, kolaborasi lintas-sektor dan multi-pemangku kepentingan. Survei menunjukkan bahwa kolaborasi global dan multi-pemangku kepentingan semakin dihargai sebagai penggerak kemajuan. Perusahaan Indonesia perlu keluar dari silo dan membangun kemitraan dengan organisasi sosial, pemerintah, akademisi, dan bahkan kompetitor untuk mengatasi beragam tantangan sistemik yang sedang kita hadapi seperti pengelolaan air, ketahanan pangan, dan transisi energi. Tidak ada perusahaan yang bisa menyelesaikan krisis keberlanjutan sendirian, sehingga perusahaan yang hendak tampil sebagai pahlawan sendirian malah menunjukkan ketidakpahaman atas besaran dan kompleksitas tantangan. Mereka yang berjejaring dan berkolaborasi bakal diapresiasi seluruh pemangku kepentingan.
Terakhir, bangun kapasitas kepemimpinan keberlanjutan internal. Kepemimpinan yang disebutkan oleh 9% responden sebagai faktor penting menunjukkan bahwa individu—CEO, Chief Sustainability Officer (CSO), seluruh anggota dewan komisaris dan direksi—memainkan peran krusial. Perusahaan Indonesia perlu berinvestasi dalam pengembangan talenta keberlanjutan, mulai dari pelatihan hingga rekrutmen profesional berpengalaman. Kepemimpinan mereka yang ada di tingkat manajemen madya juga sangat penting sebagai jembatan antara realitas lapangan dengan pengambilan keputusan yang memihak keberlanjutan. Kepemimpinan yang visioner dalam keberlanjutan adalah salah satu aset strategis perusahaan, kalau bukan malah yang paling strategis.
Menutup Jurang antara Kesadaran dan Tindakan
Ketika selesai membaca survei ini, saya tersadar akan jurang yang mengkhawatirkan: antara kesadaran akan krisis dan tindakan yang memadai. Kesadaran tentang perubahan iklim tetap tinggi, namun urgensi terhadap isu-isu terkaitnya menurun. Legislasi masih dianggap penting, namun kepercayaan terhadapnya melemah. Standar pelaporan berlimpah, namun dampak nyata masih dipertanyakan.
Bagi perusahaan yang beroperasi Indonesia, saya kira pesan yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa kita jangan terjebak dalam permainan simbolik. Keberlanjutan bukanlah tentang sertifikasi terbanyak, logo hijau terbesar, atau laporan terbagus. Keberlanjutan adalah tentang transformasi fundamental dalam cara perusahaan beroperasi, menciptakan nilai, dan berhubungan dengan ekosistem di sekitarnya—baik manusia maupun alam.
Survei ini menunjukkan bahwa dunia lelah dengan janji. Dan dunia benar-benar menunggu bukti. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan-perusahaan yang akan memimpin adalah mereka yang tidak hanya berbicara tentang keberlanjutan, tetapi benar-benar hidup, bernapas, dan bergerak dengannya setiap hari.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Di tengah tantangan global yang semakin kompleks saat ini, membekali diri, tim, dan komunitas dengan wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bukan lagi pilihan — melainkan kebutuhan strategis untuk tetap terdepan dan relevan.
Jalal is a Senior Advisor at Green Network Asia. He is a sustainability consultant, advisor, and provocateur with over 25 years of professional experience. He has worked for several multilateral organizations and national and multinational companies as a subject matter expert, advisor, and board committee member in CSR, sustainability, and ESG. He has founded and become a principal consultant in several sustainability consultancies as well as served as a board committee member and volunteer at various social organizations that promote sustainability.

Merenungkan Pemahaman Kita tentang Bencana
Menilik Aturan Baru tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Melihat Kembali Pangan Lokal untuk Pola Makan Sehat yang Terjangkau
Hilangnya Gletser di Seluruh Dunia dengan Laju yang Kian Mengkhawatirkan
Ekspansi Pertambangan di Kawasan Hutan dan Menakar Efektivitas Pemberlakuan Denda
Memahami Dampak Kenaikan Suhu terhadap Perkembangan Anak Usia Dini