Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Menurunnya Keanekaragaman Hayati dan Meningkatnya Penyakit Menular

Isu keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat seringkali dibahas secara terpisah, padahal keduanya saling berkaitan
Oleh Lalita Fitrianti
22 Mei 2024
kelelawar bergantungan di ranting pohon

Foto: Byrdyak di Freepik.

Isu keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat sering dibahas secara terpisah, padahal keduanya saling berkaitan. Misalnya, ketika penyakit COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, China, orang-orang tidak langsung mengaitkannya dengan penurunan keanekaragaman hayati. Belakangan, orang-orang menyadari bahwa penyakit tersebut merupakan zoonosis, yang menular dari hewan ke manusia. Zoonosis mencakup lebih dari 75% penyakit baru yang muncul.

COVID-19 bukan satu-satunya. HIV/AIDS, Ebola, dan sindrom pernapasan akut parah (SARS) juga berasal dari satwa liar. Faktanya, lebih dari 70% zoonosis berasal dari satwa liar. Lantas, bagaimana penyakit seperti itu bisa sampai ke manusia dan mematikan?

Meningkatnya Kontak Manusia dan Satwa Liar

Sebuah penelitian pada tahun 2010 menyatakan bahwa kemunculan patogen zoonosis berkorelasi positif dengan kekayaan spesies mamalia. Beberapa aktivitas manusia, seperti pertanian dan perburuan satwa liar, meningkatkan kontak antara hewan dan manusia yang menyebabkan efek “limpahan” patogen, sehingga mempercepat penyebaran patogen pada manusia. 

Hampir 50% zoonosis yang muncul sejak tahun 1940-an terjadi di wilayah dimana terdapat alih fungsi lahan, pertanian dan peternakan, serta konsumsi daging satwa liar yang merajalela.

Hal ini ditunjukkan dalam penelitian tahun 2024 di Ghana mengenai patogen virus corona (CoV). Penelitian tersebut menemukan bahwa prevalensi CoV dan tingkat infeksi lebih tinggi pada komunitas kelelawar yang kurang beragam. Spesies kelelawar yang dominan, menurut penelitian tersebut, merupakan “spesies inang yang kompeten” terhadap patogen CoV dan jumlahnya sangat banyak. Hal ini menjadi tempat yang mendukung bagi patogen untuk bereplikasi dan berkembang biak. 

Selain itu, gua kelelawar sering dikunjungi oleh penduduk setempat untuk tujuan religiusitas, pariwisata, dan sosial-ekonomi. Gua kelelawar yang awalnya merupakan tempat penularan dari kelelawar ke kelelawar, menjelma menjadi tempat penularan dari kelelawar ke manusia.

Dalam kasus COVID-19, penelitian telah mengaitkan patogen SARS-CoV-19 dengan perdagangan satwa liar di China. Para ilmuwan menduga dampak limpahan patogen terjadi di pasar basah, tempat kontak manusia dan satwa liar terjadi setiap harinya. Namun, belum ada penelitian yang dapat menentukan sumber pasti patogen SARS-CoV-19 hingga artikel ini ditulis.

Keanekaragaman Spesies dapat Melemahkan Infeksi dan Zoonosis

Pada prinsipnya, patogen zoonosis berevolusi sama seperti makhluk hidup lainnya. Perilaku dan karakteristik mereka dapat berubah seiring perkembangan mereka dalam jalur evolusi dan penularan. Patogen zoonosis menular dari hewan ke hewan dan mungkin mengalami perubahan evolusioner yang dapat mengurangi keparahan atau resistensinya sebelum ditularkan ke manusia. 

Dalam beberapa kasus, patogen mungkin tidak dapat bertahan hidup sama sekali jika inang berikutnya tidak cocok. Oleh karena itu, semakin tinggi keanekaragaman inang, semakin kecil kemungkinan terjadinya penularan zoonosis pada manusia. Para ilmuwan menjulukinya sebagai efek “pengenceran”.

Efek pengenceran ini ditunjukkan pada penyakit Lyme. Sebuah penelitian mengenai kutu ixodid vektor penyakit Lyme di Amerika Utara menunjukkan bahwa kasus penyakit Lyme dilaporkan lebih tinggi di negara-negara dimana inangnya yang kompeten, yakni tikus berkaki putih, sangat dominan. Sebaliknya, jumlah kasus secara signifikan lebih rendah di negara-negara dimana tikus berkaki putih kurang dominan. Tikus berkaki putih kurang dominan di negara bagian dimana terdapat hutan sebagai rumah bagi inang yang kurang kompeten seperti tupai.

Konservasi Keanekaragaman Hayati Penting untuk Kesehatan Masyarakat

ayam-ayam di peternakan
Foto: Tawatchai07 di Freepik.

Konservasi keanekaragaman hayati secara umum dapat menghambat penularan zoonosis. Namun, keberhasilan pengelolaan penyakit memerlukan berbagai pendekatan. Pola makan dan olahraga yang tepat, sanitasi, dan pengelolaan habitat penting untuk pencegahan penyakit. Selain itu, penemuan obat, prosedur medis, dan cakupan kesehatan semesta sangat penting saat terjadi infeksi penyakit.  

Dalam kasus seperti flu burung, daging unggas telah menjadi hal yang tak terpisahkan dari pola makan di banyak budaya saat ini sehingga peternakan dan pasar sulit dihapuskan. Yang bisa dilakukan adalah mencegah dan menghentikan penggundulan hutan dan perburuan satwa liar. Langkah-langkah seperti sanitasi peternakan, meminimalkan kontak antara unggas dan burung liar, serta penemuan obat merupakan hal penting untuk memastikan zoonosis dapat dikendalikan.

Para ilmuwan menemukan bahwa penurunan keanekaragaman hayati turut menyebabkan perubahan dinamika patogen inang. Karakteristik suatu patogen dapat berubah seiring dengan kondisi lingkungan dan inangnya. Sayangnya, penurunan keanekaragaman hayati sulit dicegah jika menyangkut pembangunan manusia. 

Perlu digarisbawahi, memberantas satu penyakit tidak akan mengurangi kemungkinan munculnya penyakit berikutnya. Oleh karena itu, kecil kemungkinan manusia mampu mengendalikan atau memberantas suatu spesies patogen sepenuhnya. Apa yang bisa kita lakukan adalah menerima bahwa kita hidup berdampingan dengan patogen dan mengelolanya dengan cara yang bermanfaat bagi kita serta makhluk hidup lain dan lingkungan.

Editor: Nazalea Kusuma 

Penerjemah: Abul Muamar

Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Lalita Fitrianti
Editor at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Lalita adalah Manajer Program & Kemitraan di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Ilmu Manajemen Lingkungan dari University of Queensland, Australia. Ia seorang environmental & biodiversity impact specialist, memperkuat program dan kemitraan Green Network Asia khususnya dalam lensa dan wawasan lingkungan.

  • Lalita Fitrianti
    https://greennetwork.id/author/lalitafitrianti/
    Melibatkan Pemangku Kepentingan dalam Konservasi Mangrove
  • Lalita Fitrianti
    https://greennetwork.id/author/lalitafitrianti/
    Mengevaluasi Teknologi CCS sebagai Opsi untuk Percepat Pencapaian Target Nol Emisi
  • Lalita Fitrianti
    https://greennetwork.id/author/lalitafitrianti/
    Menyelaraskan Praktik Bisnis dengan HAM
  • Lalita Fitrianti
    https://greennetwork.id/author/lalitafitrianti/
    Mengatasi Eksploitasi Anak di Asia: Wawancara dengan Bushra Zulfiqar dari Terre Des Hommes Netherlands

Continue Reading

Sebelumnya: Menjaga Keanekaragaman Ikan Air Tawar dengan Teknologi Fishway
Berikutnya: Intervensi Sistemik untuk Atasi Kekurangan Tenaga Kesehatan Global

Lihat Konten GNA Lainnya

Pemandangan pesisir Pantai Utara Jawa dengan garis pantai melengkung, air laut berwarna biru kehijauan, area persawahan di sisi kiri, dan permukiman di tepi pantai. Mengulik Isu Penurunan Muka Tanah Pesisir Jawa
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengulik Isu Penurunan Muka Tanah Pesisir Jawa

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
30 Oktober 2025
beberapa petani perempuan memanen daun teh di kebun Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India

Oleh Ponnila Sampath-Kumar
30 Oktober 2025
Fasilitas LNG di dekat laut. Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi

Oleh Andi Batara
29 Oktober 2025
Sebuah nampan berisi ikan yang di sekitarnya terdapat sikat, pisau, dan makanan laut lainnya. Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan

Oleh Attiatul Noor
29 Oktober 2025
Pembangkit listrik tenaga nuklir dengan dua menara pendingin besar yang mengeluarkan uap di malam hari, dikelilingi lampu-lampu dan struktur industri lainnya. Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
28 Oktober 2025
Seorang pria menjual dan mengipas jagung bakar di samping meja yang penuh dengan kelapa muda. Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia

Oleh Nazalea Kusuma dan Dina Oktaferia
28 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia