Mendorong Perwujudan Reforma Agraria dengan Penyelesaian Konflik
Tanah adalah sumber daya yang penting dalam pemenuhan hak hidup rakyat namun juga seringkali menjadi sumber konflik. Laporan Tahunan Agraria tahun 2023 yang diluncurkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bagaimana agenda Reforma Agraria yang masih belum berjalan dengan baik. Konflik agraria justru mengalami kenaikan, disertai dengan berbagai tindakan kekerasan dari aparat.
Potret Konflik Agraria sepanjang 2023
Laporan KPA menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2023, terjadi sedikitnya 241 konflik agraria di atas tanah seluas 638,2 hektare. Angka ini naik 12% dibanding tahun sebelumnya (212 konflik). Sebanyak 135,6 ribu kepala keluarga yang tersebar di 346 desa menjadi korban dalam seluruh konflik yang terjadi.
KPA juga menemukan bahwa letusan konflik mayoritas diakibatkan oleh perusahaan perkebunan, yaitu 108 dari total konflik yang terjadi. Sisanya berkaitan dengan sektor properti sebanyak 44 konflik, pertambangan sebanyak 32 konflik, infrastruktur 30 konflik, sektor kehutanan 17 konflik, dan pesisir-pulau–pulau kecil serta fasilitas militer yang masing-masing menyumbang 5 konflik.
Tidak hanya lonjakan jumlah konflik yang mengkhawatirkan, korban kekerasan dan kriminalisasi di wilayah konflik agraria juga mengalami kenaikan dibanding tahun 2022. KPA mencatat setidaknya 608 orang menjadi korban akibat dari tindakan represif baik oleh aparat keamanan maupun dari pihak perusahaan.
Capaian Timpang Reforma Agraria
Untuk menata ulang ketimpangan sekaligus menjamin hak dan akses masyarakat terhadap sumber daya, maka Reforma Agraria merupakan agenda penting yang harus dijalankan oleh pemerintah. Saat ini, Reforma Agraria diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Pasal 2 Perpres tersebut menyatakan bahwa percepatan pelaksanaan Reforma Agraria dilaksanakan melalui beberapa strategi, yaitu:
- Legalisasi aset.
- Redistribusi tanah.
- Pemberdayaan ekonomi Subjek Reforma Agraria.
- Kelembagaan Reforma Agraria.
- Partisipasi masyarakat.
Peraturan yang mencabut Perpres Nomor 86 tahun 2018 ini dimaksudkan untuk mendorong tercapainya target Reforma Agraria yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, yaitu legalisasi aset dan redistribusi tanah masing-masing seluas 4,5 juta hektare.
Meskipun demikian, realisasi dari target tersebut masih dinilai timpang. Pemerintah memang telah mewujudkan legalisasi aset yang mencapai 110,5 juta bidang tanah dari total target 126 juta, tetapi redistribusi tanah di kawasan hutan baru mencapai 9,2% dari target 4,1 juta hektare. Sementara itu, redistribusi tanah Hak Guna Usaha (HGU), tanah terlantar, dan tanah negara mencapai 1,43 juta ha atau 358% dari target 0,4 juta. Namun di saat yang sama, catatan KPA menyebutkan masih belum ada transparansi mengenai HGU mana yang diredistribusikan dan kepada siapa.
Selain itu, peningkatan jumlah konflik agraria juga menunjukkan betapa tidak komprehensifnya Reforma Agraria dijalankan. Karena pada dasarnya, Reforma Agraria tidak hanya berhenti di persoalan sertifikasi tanah dan aset, melainkan masih harus dilanjutkan dengan program pemberdayaan dan penyelesaian konflik. Apabila hal ini diabaikan, maka jurang ketimpangan atas pemanfaatan dan penguasaan sumber daya dapat semakin lebar. Pada akhirnya, kelompok-kelompok rentan seperti petani, nelayan, masyarakat adat, hingga perempuan dapat tercerabut dari ruang hidup mereka.
Reforma Agraria Sejati
Catatan KPA menekankan bahwa Reforma Agraria harus dipahami kembali pada nilai dan mekanisme kerja yang sejati, yaitu dalam kerangka genuine agrarian reform/reforma agraria sejati. Terdapat tiga agenda pokok Reforma Agraria Sejati, yaitu:
- Redistribusi tanah kepada kepada petani kecil, buruh tani, dan masyarakat miskin lainnya yang tidak bertanah untuk mengurangi ketimpangan;
- Penyelesaian konflik agraria;
- Pemberdayaan ekonomi pasca-redistribusi tanah.
Dari agenda tersebut, maka keberhasilan Reforma Agraria tidak hanya dilihat dari seberapa banyak bidang tanah yang tersertifikasi, tetapi juga soal berkurangnya ketimpangan, terselesaikannya konflik, terbebaskannya masyarakat dari kemiskinan, dan juga pulihnya keseimbangan ekologi. Dengan menggunakan kerangka Reforma Agraria Sejati ini, pemerintah Indonesia ke depannya dapat menentukan arah pembangunan yang lebih berkeadilan untuk kepentingan rakyat kecil dan kelompok marginal.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.