Mengulik Tren Gaya Hidup Minimalis di TikTok

Foto: Freepik.
Internet telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari banyak orang. Maka tak mengherankan jika konten di media sosial dan platform online berperan besar dalam membentuk gaya hidup seseorang. Salah satu platform yang kerap memunculkan berbagai tren adalah TikTok, dengan konten yang dikenal dengan sebutan “-cores”. Di antara tren tersebut, muncul “tren gaya hidup minimalis” (underconsumption core) yang mendorong seseorang untuk hidup lebih sederhana dan minim konsumsi. Lantas, apakah tren ini mendorong gaya hidup berkelanjutan?
Apa itu Tren Gaya Hidup Minimalis?
Tren gaya hidup minimalis yang tengah populer di TikTok mendorong gaya hidup sederhana dan menolak konsumerisme berlebihan. Tren ini menekankan pentingnya membeli barang sesuai kebutuhan, memanfaatkan kembali barang yang masih layak pakai, dan menggunakan barang dengan maksimal sebelum diganti, alih-alih mengejar barang terbaru.
Pada pertengahan 2024, tren ini telah menginspirasi lebih dari 44,9 juta unggahan di TikTok. Para kreator menampilkan kebiasaan minimalis, seperti menghabiskan produk perawatan kulit hingga tetes terakhir, memakai sepatu yang sama selama bertahun-tahun, dan mendaur ulang barang sehari-hari seperti toples kaca untuk fungsi yang berbeda.
Meskipun mirip dengan deinfluencing, tren gaya hidup minimalis menyampaikan pesan yang berbeda. Populer mulai akhir 2023, deinfluencing melibatkan para influencer yang menyarankan untuk tidak membeli produk tertentu sekaligus memberikan rekomendasi alternatif. Sebaliknya, underconsumption menolak untuk membeli apapun. Tren underconsumption tidak mengatakan, “beli yang ini saja”, melainkan “kamu tidak membutuhkannya sama sekali.”
Respons terhadap Krisis Lingkungan dan Tantangan Ekonomi
Meningkatnya tren gaya hidup minimalis secara langsung mematahkan budaya konsumsi berlebihan, yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat pengurasan sumber daya dan penumpukan sampah.
Menurut Global Footprint Network, manusia mengonsumsi sumber daya 1,7 kali lebih cepat dari kemampuan Bumi untuk beregenerasi. Artinya, manusia membutuhkan hampir dua Bumi untuk mempertahankan tingkat konsumsi saat ini. Selain itu, tumpukan sampah masih menjadi masalah serius. Industri fesyen, misalnya, menyumbang ribuan ton limbah pakaian setiap tahunnya, termasuk ke Gurun Atacama, Chili. Seiring meningkatnya kesadaran dan kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan iklim, kemauan untuk berubah merupakan langkah awal yang baik.
Tantangan ekonomi juga turut mendorong tren gaya hidup minimalis, terutama di kalangan Gen Z dan milenial. Di Singapura, lebih dari 90% warganya merasakan dampak dari kenaikan biaya hidup, dan banyak dari mereka yang menghemat dan menunda pembelian yang tidak mendesak hingga harganya lebih terjangkau.
Alhasil, kesadaran untuk hidup minimalis semakin meningkat, terutama di kalangan generasi muda. Laporan ThredUp mencatat bahwa 65% konsumen Gen Z ingin berbelanja dengan cara yang lebih berkelanjutan, yang menunjukkan adanya penolakan terhadap fast fashion dan budaya konsumsi yang berlebihan.
Mewujudkan Gaya Hidup yang Lebih Berkelanjutan
Meski masih terlalu dini untuk mengukur dampak jangka panjang, tren gaya hidup minimalis mencerminkan pergeseran budaya yang signifikan menuju gaya hidup berkelanjutan. Banyak pengguna TikTok mulai mengadopsi kebiasaan sederhana namun berdampak, seperti menghindari pembelian impulsif dan memilih pakaian bekas daripada fast fashion. Di tingkat individu, perubahan ini mungkin terlihat kecil; namun secara kolektif, perubahan ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran untuk hidup lebih bertanggung jawab. Menurut Ellen MacArthur Foundation, memperpanjang usia pakai pakaian selama sembilan bulan dapat mengurangi jejak karbon, konsumsi air, dan limbah hingga 20–30% per item, membuktikan bahwa pilihan konsumen yang bijak dapat membawa dampak yang besar.
Selain itu, tren gaya hidup minimalis menunjukkan perubahan positif dalam pola pikir konsumen menuju pilihan yang lebih ramah lingkungan dan mendukung peningkatan kesejahteraan. Tren ini dapat menjadi langkah efektif untuk mempromosikan gaya hidup berkelanjutan dengan cara yang mudah dipahami dan diikuti. Namun, perlu diingat bahwa tanggung jawab terhadap krisis iklim bukan hanya tanggung jawab individu. Jika tren ini bertahan dan diadopsi secara luas, bisnis juga harus bertransformasi, dari eksploitasi dan produksi berlebihan menuju praktik dan pengadaan produk dan layanan yang lebih berkelanjutan. Pada akhirnya, pemerintah di seluruh dunia, perusahaan besar, dan kelompok ekonomi atas memegang tanggung jawab terbesar dalam mengatasi krisis iklim. Mereka memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan demi keberlangsungan hidup manusia dan Bumi.
Penerjemah: Kesya Arla
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua konten yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.