Agus Yusuf, Guru Lukis Difabel yang Mengajar dengan Bahagia dalam Keterbatasan
Agus Yusuf masih ingat ketika suatu siang pada tahun 2003 dirinya dihubungi oleh seorang perempuan yang menanyakan kesanggupannya untuk menjadi guru lukis bagi tiga anak perempuan tersebut. Ia sempat heran dengan permintaan itu, dan bertanya-tanya dalam hati, apa motivasi yang mendorong tiga anak itu ingin belajar melukis dengannya.
Keheranan Agus terjawab sesaat kemudian. “Anak saya yang sulung sudah tiga kali mondar-mandir ke bilik bapak, dan penasaran dengan bagaimana cara Pak Agus melukis meski dengan keterbatasan fisik. Dia bilang ke saya untuk minta kursus melukis dengan Pak Agus,” kata Agus menirukan ucapan perempuan itu.
Agus sempat terdiam selama beberapa saat. Ia terenyuh mendapat apresiasi berupa kepercayaan dari orang lain untuk menjadi guru melukis, atas apa yang ia tekuni. Hatinya semringah, karena di tengah keterbatasannya, ia ternyata masih dapat memberikan dampak positif bagi sesama.
Agus akhirnya menyanggupi permintaan perempuan itu. Beberapa hari kemudian, Agus pun mulai membuka kelas melukis pertamanya di Galeri Seni Ridho, tempat di mana ia mendedikasikan hampir seluruh hidup, semangat, dan idenya. Pasang surut dan masalah terus hadir dalam karier kepelukisan Agus, namun ia tetap membuka dirinya bagi siapa saja yang ingin belajar melukis.
Cerita Awal Melukis
Suatu hari, Agus berjalan kaki sejauh tiga kilometer tanpa menggunakan alat bantu apapun. Tujuannya hanya satu: ia ingin berusaha hidup normal selayaknya orang-orang yang memiliki kedua tangan dan kaki. Tak pernah menyerah dengan keterbatasan fisiknya, lelaki kelahiran Madiun, Jawa Timur tahun 1963 itu tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan percaya diri. Menyetrika, menggembala kambing, hingga melukis ia lakoni selayaknya orang dengan fisik sempurna.
Dalam hal melukis, Agus belajar secara otodidak dengan menggunakan mulut dan kakinya saat duduk di bangku Sekolah Dasar selama enam bulan. Meski kesulitan serta ditambah rasa pegal yang luar biasa, ia terus mencoba dan berusaha setiap hari. Sampai akhirnya, ia mampu menghasilkan satu lukisan perdananya, berupa lukisan bunga.
“Sejak kelas dua SD sampai sekarang, saya suka melukis dengan gaya naturalis dan realis, seperti melukis bunga, gunung, dan pemandangan. Alasannya agar lukisan saya mudah untuk diterima banyak orang,” kata Agus.
Lukisan pertamanya itu membuat guru-guru di sekolahnya menyadari bahwa ia memiliki bakat istimewa dalam melukis. Saat duduk di bangku kelas lima SD, ia dipercaya oleh guru-gurunya untuk mewakili sekolah dalam kompetisi melukis antar sekolah sekaligus menjadi pengalaman pertamanya berkompetisi.
Bakat Agus terbukti istimewa. Ia keluar sebagai juara satu dalam kompetisi tersebut. Sejak saat itu, ia rutin mengikuti berbagai kompetisi, mulai dari tingkat desa hingga kabupaten/kota, dan ia selalu menjadi juara satu. Lamban laun, ia merasa menemukan kepercayaan diri di balik keterbatasan fisiknya dan mendapatkan jati diri dalam melukis.
Bergabung dengan AMFPA
Tahun 1989, Agus memantapkan langkah menjadi seorang pelukis profesional. Keputusan ini ia ambil setelah dirinya diterima oleh asosiasi pelukis difabel internasional asal Swiss, AMFPA (Association of Mouth and Foot Painting Artists), yang menaungi difabel yang melukis dengan mulut dan kaki dari seluruh dunia.
Dari situ, Agus terus mengasah bakatnya untuk dapat membuktikan bahwa lukisannya dapat diterima oleh masyarakat luar. Selain bereksperimen dan membaca buku, ia juga dibantu oleh dua teman karibnya yang merupakan dosen seni lukis di Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
Dari dua temannya itu, Agus memperoleh berbagai ilmu, seperti bagaimana cara mengkomposisikan warna, mengakali datangnya cahaya, dan khususnya teknik menggores tanpa putus, yang menjadi karakter khasnya dalam melukis.
“Teknik menggores tanpa putus itu paling susah. Tapi hasilnya sangat memuaskan, karena semuanya dapat dikerjakan dalam sekali gores,” katanya.
Karena keunikannya itu, Agus sering mendapat tawaran dari AMFPA dan para kolektor seni untuk terlibat dalam berbagai pameran. Total, sudah 160 pameran yang Agus jalani selama 33 tahun menjadi pelukis, dan sekitar 410 karyanya telah dilelang dan dibeli oleh para kolektor seni, terutama dari Swiss.
Membuka Kelas Melukis
Agus tidak hanya kedatangan murid yang ingin belajar secara rutin. Ia juga sering diundang oleh para guru seni dari berbagai sekolah di Madiun untuk menjadi guru spesialis dalam mengampu dan membina murid yang akan mengikuti kompetisi melukis.
Meski sudah cukup lama mengajar, Agus tetap rendah hati. Ia merasa dirinya adalah selamanya seorang murid dan semua orang adalah guru baginya. Pengalaman tidak lantas membuatnya mendapuk diri sebagai orang yang ahli mengajari orang.
Sikap itu pula yang menuntunnya untuk menerima tawaran mengajar untuk keperluan kompetisi. Sebab baginya, tawaran itu akan memberinya kesempatan untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Dalam mengajar, ia sangat menekankan satu prinsip, yakni berorientasi pada proses.
Prinsip itu membuat murid-muridnya merasa nyaman untuk mengekspresikan perasaan seni mereka secara utuh ke atas kanvas. Di satu sisi, prinsip ini juga membantunya menemukan keunikan murid-muridnya dalam melukis, seperti bagaimana cara mereka menggores dan cara mereka mewarnai.
“Di situ saya mulai pelan-pelan memasukkan materi, seperti teknik mencampurkan warna, pencahayaan sederhana, dan pastinya teknik menggores tanpa putus. Jadi mereka tidak hanya tambah kreatif, tapi juga punya lukisan yang terukur karena teknik-teknik itu,” katanya.
Didikan Agus membuahkan hasil. Murid-muridnya sering menjuarai berbagai kompetisi, dan banyak dari mereka akhirnya menjadi lebih mencintai seni lukis.
Cita-Cita
Selama 19 tahun mengajar, total hanya ada sekitar 30 murid yang pernah belajar bersama Agus. Namun, ia tidak lantas berkecil hati. Apalagi, diakuinya bahwa memang belum banyak masyarakat, utamanya di Madiun, yang tertarik pada dunia seni lukis.
Setelah 33 tahun berkarya, Agus bercita-cita membuka sekolah seni dan ingin memberdayakan teman-teman seniman difabelnya untuk menjadi pengajar. Bagi Agus, kesuksesan hanyalah titipan. Karenanya, ia ingin lebih banyak beramal melalui apa yang ia mampu.
“Saya merasa sangat bahagia karena saya bisa hidup dari keterbatasan saya. Mungkin, saya akan lebih bahagia lagi kalau saya bisa membantu banyak orang dari sekolah seni,” kata Agus memungkasi.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Panji adalah Reporter & Penulis Konten In-House untuk Green Network ID. Dia meliput Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.