Upaya Sahabat Bumi Mengatasi Persoalan Sampah dengan Pertanian Organik
Sampah merupakan masalah kita bersama dan jalan untuk mengatasinya terasa masih panjang. Jumlah rata-rata sampah Indonesia setiap tahun mencapai 64 juta ton. Sampah rumah tangga menjadi penyumbang terbesar dari total keseluruhan sampah, yakni 58,8%.
Semua pihak dapat berpartisipasi dalam mengatasi persoalan sampah. Salah satunya adalah penggerak di komunitas akar rumput, yang kehadirannya dapat memberikan dampak yang berarti di tengah masyarakat.
Green Network mewawancarai Wulansary, penggagas komunitas Sahabat Bumi melalui telepon pada Rabu, 4 Januari 2023. Dosen perfilman di Universitas 45 Surabaya ini telah memulai gerakan pengelolaan sampah sejak tahun 2014. Dengan Sahabat Bumi, ia menginisiasi bank sampah secara mandiri untuk mengelola sampah rumah tangga di Cibubur Country, kompleks perumahan di daerah Cikeas, Bogor, tempatnya bermukim saat itu.
Tahun 2016, Wulan pindah ke Sidoarjo, tepatnya di Delta Sari, Kecamatan Waru. Apa yang telah ia lakukan di Cikeas juga ia terapkan di Delta Sari. Sejak 2022, ia pindah ke Jakarta dan bertekad untuk meneruskan gerakannya.
Hampir 9 tahun berjalan, Sahabat Bumi telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dan memiliki anggota yang tersebar di berbagai kota dengan latar belakang usia dan profesi yang beragam. Komunitas ini fokus pada pengelolaan sampah rumah tangga, pertanian organik, dan pemulihan lahan.
Sahabat Bumi mengolah sampah organik rumah tangga menjadi kompos yang kemudian digunakan sebagai media tanam untuk pertanian perkotaan (urban farming) organik. Proses pengolahan kompos dilakukan tanpa menimbulkan bau dan belatung.
Banyak yang telah dilakukan oleh Sahabat Bumi, antara lain menginisiasi Kebun Rumahan dan bank sampah. Kebun Rumahan mendampingi para petani perkotaan dalam mewujudkan kondisi mandiri pangan pada skala yang paling kecil, yakni keluarga dan pemukiman warga. Selain itu, komunitas ini juga sering diundang untuk memberikan edukasi terkait pengelolaan sampah dan pertanian organik.
Apa masalah utama terkait sampah di Indonesia secara umum?
Masalah utamanya adalah tidak adanya kesadaran untuk memilah sampah sejak dari rumah. Kesadaran itu tidak terbangun sejak kecil. Yang saya dimaksud di sini adalah kesadaran komunal, ya. Kalau kesadaran individual, tentu banyak orang yang sudah punya.
Pendidikan tentang pemilahan sampah mestinya disampaikan sejak dini. Sebab sebelum dikelola, sampah mesti dipilah dulu. Itulah yang menjadi pangkal masalahnya, sehingga ujungnya menjadi ruwet: sampah berlebihan, TPA penuh, TPA terbakar, polusi dari TPA, bahkan pembuangan liar ke sungai-sungai.
Kalau hanya mengimbau kepada anak-anak ‘Jangan buang sampah sembarangan!’ atau semacamnya, itu sudah kuno. Harusnya, setiap orang diajarkan untuk memilah sampah sejak dari rumah, sejak kanak-kanak.
Bagaimana agar kesadaran komunal itu dapat terbentuk?
Ini tantangan yang tidak mudah. Saya akui saya sendiri masih kesulitan untuk mewujudkan kesadaran itu meskipun sudah bergerak sejak 2014. Masyarakat butuh penggerak dan didukung dengan sebuah sistem atau ekosistem.
Terus terang saya belum berhasil membangun kesadaran itu. Pada akhirnya kesadaran itu hanya dilakukan secara perorangan, pada skala individu, atau paling banter ditularkan ke tetangga kanan-kiri dan saudara. Ketika ada satu keluarga yang telah memilah sampah di rumahnya, tapi oleh tukang pengutip sampah dicampur, ya sia-sia jadinya.
Untuk membangun kesadaran komunal itu, yang utama adalah adanya kebijakan. Mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya. Tanpa kebijakan, mustahil kesadaran itu akan terbentuk. Orang sudah bilang angel (susah) duluan kalau diajak mengelola sampah. Membangun kesadaran komunal ini masih PR sampai sekarang.
Komunitas penggerak seperti kami ini, sampai berbusa-busa berusaha menciptakan kesadaran komunal, tetap saja gagal. Tanpa adanya regulasi yang memaksa, itu akan sulit. Seperti halnya regulasi wajib pakai helm. Dulu zaman 80-an, orang tidak mau pakai helm. Tapi ketika ada kebijakan yang tegas dan orang tidak punya pilihan selain harus patuh, pada akhirnya orang pakai helm.
Apa yang Sahabat Bumi lakukan untuk mengatasi masalah tersebut?
Kami melakukan edukasi dan pendampingan. Kami mengelola sampah menjadi kompos untuk pertanian. Harus kita akui, orang sebetulnya tidak tertarik dengan sampah. Tetapi kalau sampah dapat dimanfaatkan, misal untuk membuat kebun yang sehat, yang bisa menghasilkan pangan yang sehat, orang lebih mungkin untuk tertarik.
Ketika kita mengajak ‘Ayo berkebun sehat’, syaratnya paling tidak sampahnya harus beres dulu, dalam hal ini dibuat jadi kompos. Itulah yang kami lakukan.
Saya melihat, persoalan sampah ini jatuhnya lebih banyak jadi proyek. Sampah lebih banyak diproyekkan dengan pengadaan barang, mesin-mesin, dan sebagainya. Boleh Anda cek sendiri ke lapangan. Pada akhirnya lebih banyak mesin yang mangkrak daripada yang terpakai. Tapi yang mengherankan, itu tetap diulang oleh pemerintah.
Pada akhirnya saya mendapat insight bahwa kesadaran komunal itu bisa dibangun lewat film.
Lewat film seperti apa?
Kebetulan saya baru membahas tentang kampanye lewat film bersama teman-teman. Kali ini bukan soal sampah, tapi kedaulatan pangan lewat pertanian dengan metode leluhur—metode yang selaras dengan alam. Ini jadi media saya untuk tetap bergerak di isu lingkungan, dan Sahabat Bumi akan menjadi kendaraan untuk melakukan kampanye ke lebih banyak komunitas lain.
Melalui film, saya ingin ada kebersatuan gerakan. Penggerak-penggerak bersatu sehingga punya kekuatan untuk konsisten eksistensinya, dengan harapan permasalahan sampah sudah selesai. Karena untuk menerapkan pertanian selaras alam, kita butuh sampah rumah tangga.
Filmnya ada tiga episode. Judulnya ‘Nusantara Code’, berupa film dokumenter. Syutingnya di Trawas, Jogja, dan Baduy. Kami sedang membahas soal penayangannya. Insya Allah tahun ini. Niat kami tayang di Indonesiana TV. Kami sedang mencari sponsor untuk penayangannya.
Kami akan melakukan road show pemutaran film ini sekaligus melakukan penguatan komunitas lokal tentang lingkungan. Jadi tidak hanya memutar film, tetapi berlanjut dengan diskusi dan workshop. Ada 3 hal yang akan kami sampaikan: bagaimana agar petani sejahtera, bagaimana lahan tercukupi dan dipulihkan dari racun sintetis, dan mengenalkan metode selaras alam.
Apa yang paling dibutuhkan terkait penanganan sampah?
Yang dibutuhkan adalah kebijakan. Kebijakan pilah sampah dari rumah. Peran pemerintah sangat dibutuhkan di sini, mulai dari tingkat paling bawah sampai nasional.
Misal kebijakannya begini: Bagi masyarakat yang tidak memilah sampahnya, maka sampahnya tidak akan diangkut. Sebaliknya bagi yang memilah, maka akan mendapat reward, misalnya berupa diskon biaya retribusinya.
Namun tetap perlu diingat bahwa pendekatan penanganan sampah tidak bisa disamaratakan ke semua masyarakat. Karakteristik masyarakat kita berbeda-beda. Untuk masyarakat menengah ke bawah, pendekatan ekonomi mungkin bisa lebih diterima. Bisa disampaikan “Daripada buang sampah dan dikenai retribusi, ayo kumpulkan sampah yang bisa dibank-sampahkan dan dapat uang.” Orang dengan ekonomi menengah ke bawah akan tertarik.
Sedangkan untuk masyarakat mampu, misalnya orang-orang ekonomi atas yang di tinggal perumahan elite, pendekatan semacam itu tidak efektif. Pendekatan sosial yang akan lebih diterima oleh mereka. Misalnya dengan memaparkan hasil penelitian mengenai dampak lingkungan.
Aktivitas Sahabat Bumi dapat diikuti melalui akun Instagram @komunitas_sahabatbumi.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.