Iklimku: Bagaimana Fotografi dapat Menceritakan Dampak Perubahan Iklim Melebihi Kata-Kata
Perubahan iklim adalah hal yang nyata dan dampaknya ada di depan mata kita: muka air laut yang semakin naik, gletser yang mencair, degradasi lahan, penurunan kualitas air, kerusakan habitat, penurunan keanekaragaman hayati, dan banyak lagi. Namun, sebagian orang belum menaruh perhatian atau bahkan belum memahami dan menyadarinya.
Iklimku, sebuah inisiatif yang digerakkan oleh sejumlah pewarta foto profesional Indonesia, mencoba mengatasi persoalan tersebut melalui gerakan kampanye yang disampaikan melalui karya-karya visual berupa fotografi. Inisiatif Iklimku bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan pengambil kebijakan terkait perubahan iklim dan dampak yang menyertainya. Iklimku lahir dengan keyakinan bahwa fotografi mampu bercerita melebihi kata-kata.
Pada Senin, 6 Februari 2023, Green Network mewawancarai Ulet Ifansasti, penggagas Iklimku melalui sambungan telepon. Ulet merupakan pewarta foto yang memotret untuk beberapa media dan agen penyedia foto internasional, di antaranya New York Times dan Getty Images. Kami membahas seputar masalah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, serta bagaimana kita semua dapat berperan dalam menanggulanginya.
Sebagian masyarakat belum menyadari atau menaruh perhatian terhadap perubahan iklim. Menurut Anda, mengapa demikian?
Sebagai pewarta foto sejak 2009, saya tahu bahwa ada kerusakan lingkungan, hanya saja saat itu saya tidak tahu seberapa besar. Padahal saya sebagai jurnalis ya, apalagi orang-orang awam. Kita gak usah dulu ngomong perubahan iklim secara global, tapi dari lingkup Indonesia saja atau dari lingkup yang kecil saja.
Sebagian masyarakat yang paling terkena dampak–contoh petani, nelayan, dan masyarakat lainnya yang sangat bergantung pada cuaca–tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Masyarakat tidak paham karena perubahan iklim ini tricky–sulit diuraikan. Masyarakat butuh informasi yang utuh, jelas, dan komprehensif tentang, misalnya, kenapa sekarang musim panasnya lebih panjang, kenapa cuaca tidak menentu, dan sebagainya.
Jadi, mengapa orang belum paham atau sadar atau peduli dengan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, itu salah satunya karena informasi yang disampaikan belum optimal atau belum tersampaikan dengan baik.
Bagaimana awalnya Iklimku terbentuk?
Iklimku lahir dari keresahan saya selama beberapa tahun memotret, liputan ke lapangan, dan ikut beberapa NGO. Saya menyaksikan banjir, kebakaran, deforestasi, bencana alam berbagai macam. Akhirnya muncul di benak saya, saya pengin orang-orang lebih tahu banyak soal ini.
Sementara media mainstream hanya banyak memberitakan kejadian yang sedang ramai, tapi kemudian kejadian itu terlupakan begitu saja. Tidak ada fokus untuk terus memberitakan. Padahal bencana alam sebagai dampak dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim itu sangat penting diketahui masyarakat agar masyarakat tahu seberapa genting krisis iklim yang terjadi.
Dari situ saya kemudian berpikir, saya punya banyak stok foto dari banyak tempat. Di Sumatera, Kalimantan, Papua, saya menyaksikan bagaimana hutan hilang, bagaimana deforestasi membuat banyak manusia dan satwa liar menderita. Ada yang dibuka untuk perkebunan dan sebagainya. Menurut saya, visual bisa lebih mudah bercerita ke orang, sehingga mampu memberikan dampak dan mendorong terjadinya perubahan. Apalagi sekarang—saya gak tahu kenapa—orang-orang pada malas membaca.
Di media sosial, misalnya, kalau kita coba hitung, berapa detik orang mau membuka dan membaca suatu postingan. Orang punya kecenderungan untuk scroll-scroll terus. Dalam bayanganku, foto bisa berbicara dengan lebih riil dan konkret. Ketika kita mau menyampaikan bahwa 1 juta hektare hutan telah dibuka, apakah orang bisa membayangkan kalau tidak ada visualnya? Apakah orang punya imajinasi soal luas 1 juta hektare luas hutan yang dibuka itu?
Ketika itu digambarkan dengan gambar, misalnya dengan gambar udara, orang akan sadar dan bilang, “wow, luas juga ya!”. Begitu juga dengan banjir atau rob, rumah tenggelam, sawah yang gersang atau kering, orang bisa lebih merasakan dan menyimpannya ke dalam memori mereka kalau disajikan dengan gambar.
Lalu, saya dengan teman-teman yang juga pewarta foto berkumpul dan sepakat, dan akhirnya kami menamakannya dengan Iklimku. Kami ingin menceritakan apa yang terjadi pada lingkungan sekitar kita hari ini. Mulai dari cerita soal pangan, seperti perkebunan kopi yang mengalami penurunan kualitas akibat degradasi lahan, misalnya. Informasi-informasi yang lebih personal dan lebih dekat dengan keseharian kita.
Apa saja yang diupayakan oleh Iklimku?
Inti gerakan kami adalah kampanye untuk mengedukasi dan menyampaikan informasi. Kami mengadakan webinar tentang keadaan lingkungan. Kami juga mengadakan workshop atau pelatihan fotografi ke sekolah-sekolah. Seperti kemarin, kami ke di Cilincing, daerah yang terkena dampak kenaikan air laut. Kami bekerja sama dengan Komunitas Jurnalis Cilik, mengadakan pelatihan fotografi dengan kamera disposable. Selain fotografi, pelatihan itu sekaligus mengajarkan kesabaran kepada peserta dalam memotret.
Iklimku sebenarnya awalnya hanya bersifat pribadi. Kami tidak berpikiran menjadikan ini sebagai media. Kami hanya membagikan informasi dan wawasan yang kami tahu. Tapi kemudian, Iklimku terbentuk sebagai media.
Kami juga menampung cerita-cerita dari daerah-daerah tentang dampak perubahan iklim. Kami menerima kontribusi foto cerita, yang kalau menarik akan kami publikasikan. Ada honornya walaupun gak banyak. Tema fotonya berkisar tentang dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, ketahanan serta adaptasi manusia atau komunitas masyarakat yang terdampak, dan inovasi-inovasi yang dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut.
Adakah dampak atau perubahan yang terjadi di suatu tempat/daerah dari apa yang telah Iklimku lakukan?
Saya belum tahu. Sejauh ini sepertinya belum ada. Tapi setidaknya, beberapa respons positif datang dari sekolah dan kampus. Mereka mengajak kami untuk memberikan pemahaman ke anak-anak dan adik-adik. Karena sebenarnya edukasi yang lebih dibutuhkan, bukan dampak yang instan, temporer, dan parsial.
Dengan siapa saja Iklimku bekerja sama?
Kami kerja sama dengan banyak komunitas. Salah satunya tadi, Komunitas Jurnalis Cilik untuk bikin pelatihan. Lalu dengan beberapa komunitas yang lebih perorangan seperti seniman dan jurnalis. Kami masih dalam tahap penjajakan untuk bekerja sama dengan pihak-pihak yang lain. Dan kami juga sedang berusaha untuk mencari donor.
Harapannya, kami bisa bekerja sama dengan siapa pun. Kami sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan siapa pun.
Apa tantangan atau kesulitan yang dihadapi oleh Iklimku sejauh ini?
Memberi pemahaman kepada teman-teman di lapangan terkait isu lingkungan, itu tantangan buat kami. Isu lingkungan ini luas. Ada pembabatan hutan atau deforestasi, air rob, sampah plastik, banjir. Masalahnya, sejauh ini masih di seputar itu saja terus yang dipotret. Orang-orang juga sudah pada tahu tentang itu. Secara foto memang menarik, tapi orang perlu tahu lebih dari itu agar tercipta pemahaman dan kesadaran. Supaya jangan hari ini orang sadar, besok sudah lupa.
Ada banyak hal-hal di luar itu yang ingin kami sampaikan untuk penanganan perubahan iklim. Misalnya cerita tentang sampah makanan. Sebagian orang belum percaya, ‘Masa sampah makanan bisa jadi masalah’. Kemudian, selain itu, bagaimana caranya kita dapat mengubah pola hidup menjadi lebih ramah lingkungan. Bagaimana agama bisa berperan untuk menyampaikan dampak perubahan iklim.
Kesulitan lain yang kami hadapi adalah soal data. Ketika mau menyampaikan suatu masalah di suatu tempat, kita gak bisa cuma menyajikan visual begitu saja. Harus ada data yang bisa memperkuat dan memvalidasi visual itu. Jadi hal itu menjadi kendala kami ketika mau menyampaikan sebuah cerita. Kalau keliru informasinya kan jadi bumerang buat kita.
Apa tujuan/target yang ingin Iklimku capai?
Kami tidak punya target atau tujuan yang muluk-muluk. Kami cuma ingin menyampaikan informasi sebanyak mungkin kepada masyarakat tentang kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim. Selain itu, kami juga menyampaikan hal-hal positif atau inovasi-inovasi yang dilakukan oleh masyarakat atau siapa pun dalam menghadapinya.
Kebijakan seperti apa yang Anda harapkan dalam upaya penanganan perubahan iklim?
Yang pasti regulasi-regulasi dari pemerintah yang dapat mempercepat penanganan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Regulasi yang benar dan jelas, yang mana masyarakat semuanya tanpa terkecuali harus tunduk dan patuh. Regulasi yang komprehensif, yang tidak menyisakan celah.
Misalnya soal mobil listrik. Untuk mengisi daya mobil listriknya ada yang masih pakai sumber listrik dari batu bara. Ini kan jadi lucu. Baterai itu sendiri pun bukan energi terbarukan. Baterai itu juga dari tambang. Kemudian contoh lain soal larangan kantong plastik, lalu kita mesti pakai kantong kertas. Terus berapa banyak pohon yang harus ditebang?
Pada akhirnya masalah ini tidak bisa kita gantungkan sepenuhnya kepada pemerintah. Kita juga mesti punya kesadaran dan mengambil peran. Sekali lagi, kita perlu bekerja sama untuk menghadapi dampak perubahan iklim ini. Dan kami sangat terbuka untuk kerja sama dengan siapa pun.
Cerita tentang kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim di Indonesia dapat disimak melalui karya-karya fotografi di akun Instagram @iklimkuorg.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.