GAWIREA: Mendorong Peran Perempuan Wujudkan Energi Berkelanjutan di Desa Melalui Pendidikan
Dalam beberapa tahun belakangan, istilah-istilah seperti “energi baru terbarukan”, “energi hijau”, “energi bersih”, “transisi energi”, dan sebagainya, semakin sering kita dengar. Istilah-istilah itu lahir sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi tantangan global berupa emisi karbon dan perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia sendiri mendorong transisi energi dengan mematok target Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional tahun 2025 dan berkomitmen mengurangi emisi karbon hingga 29% pada tahun 2030. Pada G20, Indonesia sebagai tuan rumah juga mengusung transisi energi sebagai salah satu isu utama melalui Forum Transisi Energi G20.
Lalu, bagaimana implementasi penggunaan energi terbarukan di wilayah pedesaan di Indonesia yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan akses energi? Jawabannya bisa beragam. Namun, para pembina di GAWIREA–akronim dari Girls And Women In Renewable Energy Academy–punya gambaran sendiri atas pertanyaan tersebut berdasarkan pengalaman tinggal bersama masyarakat di pelosok pedesaan.
Menurut mereka, peran perempuan sangat krusial untuk mewujudkan energi berkelanjutan di desa. Yang dibutuhkan adalah pendidikan energi terbarukan bagi masyarakat desa, terutama perempuan dan anak-anak, agar realisasi penggunaan energi yang ramah lingkungan semakin masif untuk mendukung transisi energi.
Atas nama Green Network ID, saya mewawancarai pendiri GAWIREA Andi Rosita Dewi pada Selasa, 23 Agustus 2022. Ita–sapaan akrabnya—saat ini membina masyarakat di Desa Tumbang Lapan, Kecamatan Miri Manasa, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Masalah Energi di Pedesaan
Ita memutuskan untuk meninggalkan Jakarta pada tahun 2021 dan memilih tinggal di Desa Tumbang Lapan yang belum teraliri listrik PLN. Ita melihat, masalah energi di wilayah pedesaan Indonesia hari ini masih cukup kompleks.
Kompleksitas itu lebih-lebih bukan terletak pada bagaimana menghadirkan energi rendah karbon di desa, melainkan efek domino yang ditimbulkan akibat keterbatasan energi di desa. Sebab, meskipun mampu menghasilkan energi bersih secara mandiri, ketersediaan energi di pedalaman desa tidak selalu ada 24 jam layaknya di wilayah pemukiman yang telah dialiri listrik PLN.
Efek domino yang pertama adalah soal ketahanan pangan. “Seperti di Papua—kami kebetulan juga ada di Papua—masyarakat jadi susah mengolah sagu jika tidak ada energi. Sedangkan harga bahan bakar minyak di sana sangat mahal. Per liternya bisa sampai Rp50 ribu,” kata Ita.
Efek domino yang kedua menyangkut pendidikan. Saat Pandemi COVID-19 melanda, di Desa Tumbang Lapan, misalnya, anak-anak tidak punya pilihan untuk menghindari risiko tertular wabah COVID-19 karena mereka terpaksa harus menjalani sekolah tatap muka karena di desa mereka ketersediaan listrik sangat terbatas. “Mereka tidak bisa sekolah dari rumah. Mereka terpaksa mempertaruhkan nyawa, tetap datang ke sekolah dengan segala keterbatasan yang ada.”
Efek domino berikutnya adalah ketimpangan gender. Menurut Ita, peran dan partisipasi perempuan di pelosok pedesaan dalam urusan energi masih minim. “Padahal energi dan perempuan itu sangat erat hubungannya. Perempuan butuh energi untuk memasak atau menggunakan alat-alat elektronik. Tapi justru peran dan partisipasi perempuan masih minim. Dalam mengambil keputusan terkait pengadaan energi, selama ini masih tetap diperankan laki-laki,” kata Ita.
Awal Mula Lahirnya GAWIREA
Efek domino berupa masalah ketahanan pangan, pendidikan, partisipasi perempuan, serta hitung-hitungan bisnis yang tidak bisa dihindarkan dalam penyaluran energi terbarukan, adalah sejumlah faktor yang mendorong Ita mendirikan GAWIREA. Di samping itu, faktor lainnya yang tak bisa dikesampingkan adalah fakta bahwa transisi energi yang selama ini digaung-gaungkan oleh pemerintah, belum menyasar kebutuhan riil masyarakat di pelosok pedesaan.
Ita berpendapat bahwa konsep energi terbarukan yang selama ini terdengar cenderung lebih banyak menyasar sektor-sektor industri, teknologi, dan transportasi di wilayah perkotaan, seperti dorongan untuk menggunakan mobil listrik, sepeda listrik, dan sebagainya.
“Kenyataan lain yang mestinya disadari dalam transisi energi ini adalah bagaimana kita bisa membangun manusia yang tahan dan siap untuk menghadapi transisi energi itu. Karena kalau cuma soal energi terbarukan dalam arti energi bersih, masyarakat di pedesaan sudah menerapkannya sejak lama. Saat orang-orang kota beralih ke panel surya di rumah mereka, misalnya, masyarakat desa justru sudah menggunakan itu dari dulu,” sambung Ita.
Dibentuk pada Desember 2021 di Desa Tumbang Lapan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, GAWIREA memiliki misi memberdayakan perempuan melalui pendidikan non-formal untuk menggunakan energi terbarukan sebagai sumber pendapatan. Komunitas ini punya prinsip bahwa pemberdayaan perempuan desa tidak boleh terhambat oleh infrastruktur yang tidak memadai atau kurangnya akses listrik.
Untuk membantu perempuan melakukan tugas dan peran mereka di masyarakat, GAWIREA percaya bahwa energi terbarukan adalah jawaban yang tepat. Perempuan yang terampil dalam bidang energi diyakini akan dapat berpartisipasi lebih aktif dalam agenda pembangunan berkelanjutan, yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi kesejahteraan semua orang. Selain perempuan, GAWIREA juga menyasar anak-anak, khususnya anak perempuan, dalam menyalurkan pendidikan energi terbarukan sebagai pembekalan untuk menyongsong transisi energi.
Saat ini, GAWIREA ada di lima daerah. Selain Ita yang berada di Kalimantan Tengah, lima temannya tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua. Dalam menyampaikan pendidikan energi terbarukan kepada masyarakat, GAWIREA melihat banyak potensi energi terbarukan yang ada di daerah tersebut. Sayangnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.
“Selama ini masyarakat desa tidak dipandang sebagai penggerak utama masalah energi terbarukan. Yang selalu digaungkan biasanya hanya data dan data. Padahal, kami melihat kenyataan bahwa masyarakat desa itu bisa survive dengan segala keterbatasan,” ujar Ita.
Potensi Energi Terbarukan di Desa
Bagi Ita, energi terbarukan adalah energi yang paling demokratis dan bisa menjadi solusi kebutuhan energi bagi masyarakat di pedesaan, bahkan ketika negara belum bisa menyediakannya karena keterbatasan infrastruktur. Di desa tempat Ita mengabdi, warga desa mengandalkan energi berbasis solar home system di rumah masing-masing untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
“Alatnya ada yang dibeli secara pribadi, ada yang dibeli melalui Dana Desa. Meski pengetahuan mereka tentang energi terbarukan terbatas, akses internet juga tidak ada kalau mereka mau belajar dari Google misalnya, mereka mampu menyerap pelajaran dengan cepat.”
Selain mudah dan sumbernya melimpah, biaya untuk membangun sumber energi ramah lingkungan di desa juga jauh lebih murah. Menurut Ita, biaya alat yang dibutuhkan untuk membangun satu solar home system, sebagai contoh, hanya membutuhkan sekitar Rp6 juta. “Sedangkan untuk pemasangan kabel listrik, hitung-hitungannya per rumah bisa butuh sekian puluh juta atau bahkan ratusan juta, apalagi jika sambungannya cukup tinggi karena aksesnya susah,” kata Ita.
Penggunaan energi terbarukan juga akan mendukung pemberdayaan perempuan karena konsep energi ini mudah untuk dipahami dan diterapkan oleh warga desa. Pada akhirnya, GAWIREA mendorong agar penggunaan energi terbarukan ini tidak hanya berhenti untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, tetapi dapat dikembangkan ke arah bisnis untuk kemandirian ekonomi warga desa.
“Contohnya, di Papua, kami sedang berjuang untuk membuat pengolahan sagu melalui integrated women center atau bahasa Papuanya ‘Rumah Sagu Wani Yinio’, di mana perempuan dilibatkan,” kata Ita.
Selain soal energi terbarukan dan pemberdayaan perempuan, GAWIREA juga fokus memperhatikan masalah ketahanan pangan di desa. Menurut Ita, perencanaan mengenai ketahanan pangan di desa harus diwujudkan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
“Di Papua, misalnya, ada ratusan ribu jiwa yang sangat tergantung kepada sagu. Sagu di Papua potensinya bagus karena kualitasnya sangat baik. Kami berharap sagu bisa menjadi jawaban untuk salah satu pilihan pangan global di masa depan.”
Hal berikutnya adalah menciptakan kredit karbon dengan pelestarian hutan di Kalimantan. Ada sekitar 2.500 hektare hutan yang dibina oleh GAWIREA di desa-desa di mana mereka berada. Harapannya, dengan hutan tersebut masyarakat desa suatu saat nanti dapat berkolaborasi dengan pihak bisnis atau industri dalam hal pemanfaatan potensi desa.
Di samping itu, GAWIREA juga berharap bahwa apa yang mereka perjuangkan saat ini dapat menjadi bekal bagi masyarakat desa, terutama anak-anak muda untuk menghadapi peluang green jobs di masa depan.
Prinsip dan Kegiatan GAWIREA
Prinsip utama GAWIREA adalah prinsip partisipatif. Dalam merencanakan ataupun melakukan sesuatu, termasuk dalam merancang modul aktivitas, GAWIREA akan melibatkan partisipasi masyarakat. Jadi, kata Ita, “kami harus tahu dulu masyarakat maunya apa, butuhnya apa, baru kemudian kami menyusun modul. Apa yang kami terapkan di Kalimantan, akan berbeda dengan yang akan kami terapkan di Papua, di Sumba, dan di tempat lain.”
Untuk model pendidikan, GAWIREA saat ini membuka tiga kelas. Yang pertama adalah kelas pemula yang pesertanya adalah anak-anak berusia 6 hingga 13 tahun. Modul ajar yang digunakan didukung dengan aplikasi yang bernama ‘GAWIREA Lab’, salah satunya berupa fun game. Dengan game tersebut, peserta diajarkan mengenai hal-hal dasar mengenai keberlanjutan, seperti prinsip-prinsip hidup yang berkelanjutan, pengenalan energi terbarukan dan jenis-jenisnya, serta membangun mental untuk tidak mengotori lingkungan dan merusak alam. Kelas diadakan empat hari dalam seminggu yakni pada hari Senin, Kamis, Sabtu dan Minggu.
“Mereka juga belajar mengenal keanekaragaman hayati dan potensi sungai di desa mereka,” jelas Ita.
Kedua, kelas pemimpin, dengan modul bernama GAWIREA Bersinergi. Kelas ini dibuka untuk anak-anak muda usia remaja hingga dewasa yang mulai tertarik pada isu energi terbarukan ke arah yang lebih profesional. Para peserta dibekali dengan ilmu dan skil kewirausahaan, khususnya untuk perempuan, serta bagaimana memanfaatkan peluang green jobs.
Dan yang ketiga, kelas berdaya, yang mencoba mengajarkan kepada peserta untuk mengelola potensi yang ada di desa, misalnya memanfaatkan kayu rotan untuk membuat kerajinan. Peserta kelas ini umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga.
Yang dilakukan GAWIREA pada dasarnya sederhana, yakni membekali masyarakat dengan pendidikan energi terbarukan, khususnya untuk perempuan dan anak-anak. Meskipun masyarakat di pedalaman sudah menggunakan energi rendah karbon sejak lama, namun GAWIREA menemukan fakta bahwa mereka tidak memahami dasar-dasar tentang alat penghasil energi tersebut. Misalnya di Desa Tembang Lapan, masyarakat masih menyebut pembangkit listrik tenaga air atau tenaga mikrohidro dengan istilah ‘turbin’.
“Padahal turbin itu hanya salah satu komponen mesin yang ada di rumah pembangkit yang memutar air yang masuk menjadi menjadi listrik yang akan dialiri nantinya. Nah, di sini kami meluruskan pemahaman mereka,” kata Ita.
Ita menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan langsung berdampak signifikan dalam waktu dekat. Karena itu, GAWIREA menyasar perempuan dan anak-anak karena mereka akan menjadi penentu bagi masa depan.
“Hasil kerja kami mungkin tidak terlihat saat ini, tapi pada generasi yang akan lahir dari para perempuan tersebut. Ini pekerjaan yang panjang. Tapi kami percaya bahwa ruang dan pendidikan yang tepat untuk mereka akan melahirkan kesetaraan gender di masa depan,” lanjut Ita.
Tantangan dan Harapan
Sebagai sebuah komunitas kecil yang baru seumuran jagung, tantangan terberat yang dihadapi oleh Ita dan teman-temannya adalah pendanaan dari sumber yang tepat. Ita dan teman-temannya telah mencoba melobi beberapa pihak serta ikut kompetisi untuk mencari dana, namun sejauh ini masih gagal.
“Kemarin kami sudah coba ikut kompetisi yang diadakan ESDM dan Nexus Energy, ETIC, kami sempat masuk 10 besar, tapi ternyata delivery-nya dianggap belum terlalu kompetitif, jadi lumayan sulit untuk mendapatkan pendanaan. Untuk membuat investor mau berinvestasi buat masyarakat desa, itu sangat sulit. Di satu sisi, hasil yang apa yang kami lakukan bersifat jangka panjang, bukan bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan dalam waktu cepat,” kata Ita.
Karenanya, Ita berharap peran pemerintah dalam mendukung gerakan transisi energi di desa dapat ditingkatkan. “Saya melihat bahwa permasalahan energi itu tidak sesimpel regulasi yang dirumuskan. Negara seharusnya menyediakan hak kepada warganya untuk menikmati energi, tapi yang ada justru sekadar bisnis. Ketika ada kebijakan tentang bagaimana akses listrik bisa sampai desa, itu masih dihitung sebatas dari segi bisnis, seberapa menguntungkan. Misal seberapa jauh, berapa rumah yang akan dilistriki. Pada akhirnya beberapa desa yang kecil atau dianggap tidak bakal menguntungkan untuk dilistriki, itu jadi berada di urutan paling bawah, tidak jadi prioritas untuk pembangunan.”
Jika kelak berkembang, Ita berharap GAWIREA dapat hadir di lebih banyak desa di Indonesia, memberikan pendidikan energi terbarukan seluas-luasnya. “Kami juga berharap suatu hari nanti bisa berkolaborasi dengan sekolah-sekolah, karena pendidikan energi ini adalah kebutuhan dasar. Mungkin tidak harus sebagai materi ajar di kelas. Mungkin bisa sebagai ekstrakurikuler untuk memahamkan anak-anak tentang pentingnya energi terbarukan.”
Ita pun sadar bahwa ia dan teman-temannya di GAWIREA tidak akan bisa menyelesaikan seluruh persoalan yang ada di desa. Namun, ia yakin bahwa pendidikan mengenai energi terbarukan sangat penting bagi masyarakat akar rumput. Kata kuncinya adalah pendidikan.
“Pendidikan di sini tidak hanya dalam koridor mempelajari ilmu secara profesional, ya, tetapi lebih implementatif. Jika Indonesia memang ingin mencapai transisi energi sebagaimana Perjanjian Paris dan COP26 di Glasgow, pendidikan adalah pilar utamanya. Bagaimana transisi energi ini disampaikan lewat pendidikan di akar rumput, itu yang terpenting. Contoh simpelnya dari apa yang sudah kami lakukan, ibu-ibu di desa jadi paham mengenai sistem kerja solar panel yang terpasang di rumah mereka. Dan anak-anak perempuannya juga mendapatkan partisipasi yang layak dalam sektor energi,” katanya.
“Kita tidak perlu muluk-muluk bicara keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan transisi energi, tapi setidaknya adik-adik kita mulai percaya diri saat bicara soal energi. Begitu pun, kami tidak ingin pendidikan energi terbarukan ini terhenti hanya dikonsumsi oleh perempuan sebagai pekerja rumah tangga, tapi kami ingin membangun kepercayaan diri perempuan-perempuan di desa dan membuat mereka paham hal-hal yang selama ini tendensinya lebih ke laki-laki,” Ita menambahkan.
Aktivitas GAWIREA bisa diikuti melalui akun Instagram mereka di sini.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.