Bhutan: Negara Pencinta Alam dengan Kementerian Kebahagiaan
                Sebuah lanskap di Bhutan | Foto: Creative Common Wikipedia
Di jantung pegunungan Himalaya, berdiri sebuah negara kerajaan kecil yang kerap dijuluki sebagai negeri paling bahagia di dunia: Bhutan. Negara ini mungkin tidak sebesar tetangganya seperti India atau China, tetapi perhatian dunia kerap tertuju padanya karena pendekatan pembangunan yang berbeda. Alih-alih mengukur kemajuan lewat Produk Domestik Bruto (PDB), Bhutan memilih menitikberatkan pada kebahagiaan rakyatnya.
Membentuk Kementerian Kebahagiaan
Sejak tahun 2008, Bhutan memiliki Kementerian Kebahagiaan yang mengukur kebahagiaan perkapita warganya. Di dalam blangko sensus penduduk ada kolom untuk mengisi taraf kepuasan warga atas kehidupannya. Kualitas kebahagiaan hidup ini diukur dengan Gross National Happiness Index, alias Indeks Kebahagiaan Domestik Bruto, sebuah pendekatan holistik untuk mengukur kebahagiaan dan kesejahteraan warga, sekaligus panduan desain kebijakan berbasis bukti.
Nyaris tidak ada gelandangan di Bhutan. Jika ada warga yang tak punya rumah, pemerintah akan menyediakan sebidang tanah untuk dibangun rumah dan bercocok tanam. Setiap warga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis dari negara. Bhutan bahkan dipuji oleh Unicef sebagai kisah sukses program vaksinasi COVID-19.
Bhutan pernah tidak menerima turis sama sekali hingga tahun 1974. Televisi dan internet sempat dilarang sampai kemudian kebijakan ini dicabut pada tahun 1999 karena tuntutan kebutuhan akan keterbukaan akses informasi di tengah perkembangan zaman. Sampai saat ini, Bhutan masih melakukan larangan impor atau menggunakan produk kimia sintetis dari luar. Semua produk yang digunakan merupakan hasil produksi dalam negeri.
Fokus pada Kelestarian Lingkungan
Pemerintah Bhutan juga sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Pada tahun 2015 seratus relawan di Bhutan memecahkan rekor dunia dengan menanam 49.672 pohon dalam waktu satu jam. Acara penanaman pohon ini sebagai bentuk hadiah ulang tahun ke-60 mantan penguasa, Raja Jigme Singye Wangchuck, yang memang terkenal sebagai pencinta lingkungan. Bahkan pada 2016, sebanyak 108.000 pohon ditanam dalam rangka kelahiran putra pertama Raja Jigme Khesar Namgyel Wangchuck dan Ratu Jetsun Pema.
Bhutan termasuk salah satu dari 10 negara teratas dalam hal sebaran hutan dan alam liar. Melalui undang-undang, pemerintah Bhutan secara resmi menetapkan kebijakan untuk menyelimuti 60% dataran Bhutan dengan hutan. Hingga saat ini, 51% dataran negara ini sudah terselimuti hutan dengan segala keanekaragaman hayatinya, ini tentu prosentase terbesar di Asia, kira-kira seluas 2 juta hektar.
Dengan hutan seluas ini, Bhutan menjadi penyumbang air tanah bagi seperlima penduduk bumi, serta membantu mengurangi pemanasan global dan menyerap karbondioksida. Bhutan bahkan mengklaim dirinya sebagai negara tanpa emisi karbon. Tantangan Bhutan saat ini adalah bagaimana cara memastikan pemerataan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan, terutama agar menjangkau masyarakat di desa-desa.
“Bisa dibilang, negara ini bukan hanya berkadar karbon netral, justru berkadar karbon negatif!” ungkap Tshering Tobgay, mantan perdana menteri Bhutan dalam ceramahnya di TEDx.
Pemerintah Bhutan serius menjaga kelestarian lingkungan sebagai aset negara untuk pembangunan berkelanjutan. Melalui Kementerian Kebahagiaan, mereka juga berusaha mengukur, mendesain, lalu menerapkan kebijakan yang tepat untuk memungkinkan terwujudnya kebahagiaan warganya, karena Bhutan percaya bahwa kebahagiaan adalah indikator pembangunan yang progresif untuk masyarakat.
Editor: Abul Muamar & Marlis Afridah
  Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member SekarangZia adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan program sarjana Pendidikan Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini Ia aktif menjadi Pendamping Belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).

                        
                                    Suara Generasi Z Tentang Krisis Iklim dan Pekerjaan Hijau di Indonesia                                
                                    Bagaimana Produktivitas Pertanian Bahrain Meningkat di Tengah Kemerosotan Ekonomi Global                                
                                    Meninjau Second NDC Indonesia dan Tantangan dalam Penerapannya                                
                                    Membina Kerjasama Internasional untuk Mengatasi Kejahatan Siber                                
                                    Menjadi Jembatan Keberlanjutan: Strategi Manajer Madya di Tengah Kelembaman dan Desakan Perubahan                                
                                    Bagaimana Mineral Kritis Dapat Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Global South