Pemberdayaan Perempuan di Papua Nugini dalam Penyediaan Akses Air Bersih
Akses air bersih dan sanitasi merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Namun, perempuan dan anak perempuan sering kali menjadi pihak yang paling menderita karena akses yang tidak memadai, sehingga menimbulkan risiko kesehatan dan kerentanan terhadap infeksi. Di Papua Nugini, Program WaterAid memberdayakan perempuan lokal dengan mengasah keterampilan mereka untuk membangun sumber air bersih berbasis masyarakat.
Kurangnya Akses Air Bersih di Papua Nugini
Papua Nugini termasuk negara dengan curah hujan yang tinggi. Namun, beberapa daerah di negara tersebut menghadapi kelangkaan air selama musim kemarau panjang. Infrastruktur pengolahan dan fasilitas distribusi air yang tidak memadai membuat banyak warga Papua Nugini kekurangan akses air bersih. Hal itu menjadikan Papua Nugini sebagai salah satu negara dengan tingkat akses air dan sanitasi terendah di kawasan Pasifik.
Menurut laporan Program Pemantauan Bersama PBB pada tahun 2023, hanya 44% masyarakat di Papua Nugini yang memiliki akses air bersih. Ini berarti hanya 1 dari setiap 3 penduduk Papua Nugini yang bisa mendapatkan air bersih. Akibatnya, banyak penduduk pedesaan di negara tersebut harus bergantung pada sumber daya seperti sumur dan sungai, yang mungkin terkontaminasi. Paparan terhadap air yang tidak aman menyebabkan sebagian besar penduduk berisiko terkena penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare dan infeksi saluran pernapasan akut.
Terbatasnya Akses Air dan Dampaknya terhadap Perempuan
Air merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi kesehatan perempuan, mulai dari menjaga kebersihan pribadi hingga melahirkan. Oleh sebab itu, dalam sebuah komunitas, perempuan dan anak perempuan menanggung dampak yang paling parah akibat kelangkaan air dan kondisi air yang tidak aman.
Di Bialla, sebuah pusat kesehatan setempat harus berjibaku dengan kurangnya ketersediaan air bersih dan sanitasi yang layak. Akibatnya, ibu hamil seringkali diminta membawa air sendiri untuk melahirkan karena kekurangan air.
Bagi remaja putri di sekolah, kurangnya akses air bersih dapat berdampak pada masa remaja mereka dalam hal kesehatan dan kebersihan. Dengan hanya separuh sekolah di Papua Nugini yang memiliki akses terhadap air dan hanya seperempat sekolah yang memiliki infrastruktur sanitasi yang memadai, fasilitas kebersihan seperti toilet pribadi, produk kebersihan, dan pembalut menjadi tidak terjamin.
Selain itu, banyak perempuan dan anak perempuan diberi tugas untuk mengumpulkan air dari sumber-sumber terdekat. Namun, mereka biasanya harus menempuh perjalanan yang jauh dan medan sulit yang bisa memakan waktu hingga lima jam sekali jalan untuk mendapatkan air. Mereka harus membawa kaleng air yang beratnya mencapai 30 kilogram. Dalam jangka panjang, mengangkat beban berat seperti itu dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan perempuan.
Perempuan, Komunitas, dan Air Bersih
Untuk mengatasi kesenjangan ini, Australian Water Partnership melalui program WaterAid membagikan keahlian dan dukungan logistik untuk mengatasi masalah akses air di Distrik Wewak, Papua Nugini, dengan memberdayakan perempuan lokal dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengelola sumber daya air berbasis masyarakat secara efektif.
Program WaterAid telah mengembangkan panduan pelibatan masyarakat untuk meningkatkan akses air melalui pengelolaan berbasis masyarakat. Mereka mengadakan pelatihan bagi para pemimpin perempuan lokal untuk memimpin inisiatif di daerah pedesaan, dengan fokus pada peningkatan ketahanan air, kesetaraan gender, dan ketahanan iklim. Kegiatan program ini di antaranya berupa pelatihan pemetaan titik air dan promosi sanitasi, hingga pemetaan dampak iklim dan jalan transek gender.
Program ini menyoroti pentingnya penyebaran pengetahuan di kalangan masyarakat untuk mendukung upaya mereka dalam mengakses air bersih. Pada akhirnya, upaya berkelanjutan dari berbagai pemangku kepentingan diperlukan untuk mengembangkan praktik dan menerapkan inisiatif baru yang berfokus pada pemberdayaan kelompok rentan. Praktik-praktik ini pada gilirannya dapat mengarah pada diskusi skala nasional yang inklusif dan pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk mempercepat perbaikan layanan air dan sanitasi di tengah perubahan iklim.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Dinda adalah Reporter di Green Network Asia. Dia belajar Ilmu Hubungan Internasional di President University. Dinda bersemangat menulis tentang isu keberagaman, konsumsi berkelanjutan, dan pemberdayaan.