Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan dengan Kami
  • GNA Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Beranda
  • Terbaru
  • Topik
  • Wilayah
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Wawancara
  • Opini
  • Figur
  • Infografik
  • Video
  • Komunitas
  • Siaran Pers
  • ESG
  • Muda
  • Dunia
  • Kabar
  • Unggulan

Potensi Pengabaian dan Perampasan Hak Masyarakat Adat dalam UU KSDAHE

UU KSDAHE yang telah disahkan pada Agustus 2024 menuai sejumlah kritik dari organisasi masyarakat sipil karena berpotensi menimbulkan pengabaian dan perampasan hak masyarakat adat.
Oleh Seftyana Khairunisa
27 September 2024
tujuh orang berdiri bersisian di hutan dengan beberapa memanggul kayu

Foto: Hendrojkson di Wikimedia Commons.

Sumber daya alam hayati dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia sehingga penting untuk dijaga kelestariannya. Sayangnya, masih banyak tindakan eksploitatif yang tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan menyebabkan kerusakan lingkungan serta mengancam keanekaragaman hayati. Terkait hal hal ini, Presiden telah menandatangani Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) pada 7 Agustus 2024. Namun, undang-undang ini menuai sejumlah kritik dari organisasi masyarakat sipil karena berpotensi mengabaikan dan merampas hak-hak masyarakat adat. 

UU KSDAHE

UU KSDAHE merupakan perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990. Revisi dilakukan terhadap 21 pasal dari total 45 pasal yang ada dan memuat beberapa hal baru, antara lain:

  • Perluasan tanggung jawab pelaksanaan konservasi ke Pemerintah Daerah.
  • Pengaturan kegiatan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan juga ekosistem penting yang berada di luar kawasan konservasi. 
  • Penguatan penegakan hukum dengan memberikan otoritas yang lebih besar kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk menangani tindak pidana konservasi sumber daya alam. 
  • Penegasan sanksi pidana termasuk pemberatan sanksi untuk korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan
  • Pendanaan yang memadai dan berkelanjutan untuk kegiatan KSDAHE.
  • Penegasan posisi dan peran masyarakat, terutama masyarakat hukum adat, dalam penyelenggaraan KSDAHE.

“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 ini mempunyai posisi yang sangat penting dalam upaya tetap menjaga relevansi prinsip-prinsip konservasi, yang diperkuat implementasinya dengan kondisi saat ini,” ujar Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Potensi Pengabaian Hak dan Celah Perampasan

Meski terdapat penambahan sejumlah pasal yang akan memperkuat regulasi, UU KSDAHE juga meninggalkan beberapa celah yang menimbulkan penolakan dari masyarakat. Pada 19 September 2024, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan sejumlah perwakilan masyarakat adat menggugat UU KSDAHE ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK agar membatalkan seluruh keputusan UU tersebut karena dalam perumusannya tidak memperhatikan asas kejelasan tujuan, kehasilgunaan, dan keterbukaan. 

“UU KSDAHE ini secara khusus telah melanggar konstitusi terkait hak-hak Masyarakat Adat. Hak konstitusional Masyarakat Adat yang telah dikukuhkan dengan MK 35 untuk hak atas tanah wilayah sumberdaya, termasuk hutan adat, kembali akan dirampas tanpa melalui hak Masyarakat Adat atas Free, Prior, Informed Consent (FPIC),” terang Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN.

MK 35 yang disebut Rukka mengacu pada Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang menegaskan Masyarakat Adat sebagai subyek hukum atau penyandang hak atas wilayah adatnya. Sementara itu, UU KSDAHE justru tidak memuat pasal yang menyebutkan Masyarakat Adat sebagai subyek hukum atau pelaku konservasi, melainkan hanya sekadar “pelibatan” yang diatur dalam Pasal 37 Ayat 3. Diksi “pelibatan” dalam pasal tersebut mengisyaratkan bahwa Masyarakat Adat hanya sebagai subjek pasif, bukan aktor utama. 

UU KSHDAE juga dinilai akan memperkuat sentralisasi penetapan kawasan konservasi secara sepihak oleh negara. Hal ini berpotensi membuat Masyarakat Adat tidak memiliki  ruang untuk berpartisipasi secara penuh dalam penentuan kawasan konservasi sesuai dengan hukum adat ataupun pengetahuan tradisional yang telah mereka praktikkan selama ini. 

Selain itu, UU KSDAHE juga tidak mengatur hak Masyarakat Adat atas Free Prior Informed Consent (FPIC) yang  merupakan hal penting untuk dapat menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah mereka tanpa paksaan. Tanpa adanya FPIC, potensi perampasan tanah atau pemukiman kembali (re-settlement) akan semakin meluas sehingga Masyarakat Adat menjadi semakin rentan terhadap kekerasan dan kriminalisasi yang “berkedok” konservasi. 

Hal ini dipertegas oleh Pasal 26 ayat 2 yang menyebut bahwa panas bumi dan karbon juga dimasukkan sebagai jasa lingkungan yang bisa dimanfaatkan. Menurut catatan AMAN, pasal ini dapat membuat kebijakan konservasi menjadi ambigu dan berpotensi menimbulkan penguasaan perusahaan terhadap tanah atau hutan adat melalui izin konsesi bisnis energi dan perdagangan karbon. 

Mendorong Keterlibatan Publik

Dalam prosesnya, penyusunan UU KSDAHE juga tidak memenuhi asas keterbukaan karena kurangnya partisipasi publik yang bermakna. Pemerintah dan DPR tidak mengakomodasi masukan dari organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat sebagai pihak yang terdampak langsung atas adanya peraturan tersebut. Padahal, setiap warga termasuk masyarakat adat berhak untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan publik, mulai dari tahap perancangan, penerapan, hingga evaluasi untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan berkeadilan. Oleh karena itu, pasal-pasal yang bermasalah dalam UU KSDAHE perlu ditinjau kembali dan implementasinya perlu ditunda agar prinsip-prinsip keadilan tetap dapat ditegakkan.


Editor: Abul Muamar

Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan GNA Indonesia.

Langganan Anda akan memberikan akses ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia, memperkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda sekaligus mendukung kapasitas finansial Green Network Asia untuk terus menerbitkan konten yang didedikasikan untuk pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder.

Pilih Paket Langganan

Seftyana Khairunisa
Reporter at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.

  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Memutus Jerat Korupsi di Sektor Pendidikan
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Bayang-Bayang Deforestasi di Tengah Ambisi Hilirisasi Kemenyan
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Pelanggaran HAM dan Dampak Lingkungan Tambang Nikel di Pulau Kabaena
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Indonesia Tandatangani Komitmen Tingkat Tinggi untuk Pelindungan Terumbu Karang

Continue Reading

Sebelumnya: Afrika Selatan Sahkan Amandemen UU Pendidikan Dasar
Berikutnya: Solusi Berbasis Alam Terbukti Efektif dalam Mitigasi Bencana terkait Iklim

Baca Kabar dan Cerita Lainnya

Sekelompok laki-laki muda berfoto bersama seorang ibu di depan sebuah rumah. Perempuan Penjaga Hutan di Negeri Patriarki: Kisah Mpu Uteun dan Ekofeminisme di Aceh
  • Konten Komunitas
  • Unggulan

Perempuan Penjaga Hutan di Negeri Patriarki: Kisah Mpu Uteun dan Ekofeminisme di Aceh

Oleh Naufal Akram
25 Agustus 2025
buku terbuka Menyampaikan Pengetahuan yang Dapat Diterapkan melalui Pelatihan Keberlanjutan
  • Kolom IS2P
  • Opini
  • Partner
  • Unggulan

Menyampaikan Pengetahuan yang Dapat Diterapkan melalui Pelatihan Keberlanjutan

Oleh Yanto Pratiknyo
25 Agustus 2025
kubus kayu warna-warni di atas jungkat-jungkit kayu Menciptakan Keadilan Pajak untuk Kesejahteraan Bersama
  • Eksklusif
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Menciptakan Keadilan Pajak untuk Kesejahteraan Bersama

Oleh Abul Muamar
22 Agustus 2025
penggiling daging di peternakan Menghentikan Pendanaan Peternakan Industri di Vietnam: Jalan Menuju Pendanaan Sistem Pangan yang Adil dan Berkelanjutan
  • Opini
  • Unggulan

Menghentikan Pendanaan Peternakan Industri di Vietnam: Jalan Menuju Pendanaan Sistem Pangan yang Adil dan Berkelanjutan

Oleh Brian Cook
22 Agustus 2025
dua orang sedang menandatangani dokumen di atas meja Pembaruan Kemitraan Indonesia-PBB dalam Agenda SGDs 2030
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Pembaruan Kemitraan Indonesia-PBB dalam Agenda SGDs 2030

Oleh Abul Muamar
21 Agustus 2025
sekelompok perempuan dan dua laki-laki berfoto bersama. Bagaimana Para Perempuan di Kampung Sempur Bogor menjadi Aktor dalam Mitigasi Bencana Longsor
  • Konten Komunitas
  • Unggulan

Bagaimana Para Perempuan di Kampung Sempur Bogor menjadi Aktor dalam Mitigasi Bencana Longsor

Oleh Sahal Mahfudz
21 Agustus 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia