CATAHU 2023 dan Seruan Komnas Perempuan untuk Akhiri Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan berbasis gender (KBG) masih menjadi momok menakutkan bagi perempuan di Indonesia. KBG merupakan salah satu hambatan serius bagi perempuan di Indonesia untuk berkembang dan berdikari.
Komnas Perempuan baru saja merilis Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 yang mencatat laporan dan data kekerasan terhadap perempuan yang diterima dari berbagai lembaga masyarakat dan institusi pemerintah. Bersamaan dengan momen peluncuran CATAHU 2023, Komnas Perempuan terus mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam berbagai bentuk melalui sinergi multi stakeholder di Indonesia.
Memahami Kekerasan Berbasis Gender (KBG)
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) mengacu pada tindakan berbahaya yang diarahkan pada individu berdasarkan jenis kelamin. KGB berakar dari ketidaksetaraan gender dan penyalahgunaan kekuasaan yang sebagian besar kasusnya menimpa perempuan. KBG termasuk ke dalam pelanggaran serius hak asasi manusia.
Menurut ruang lingkup kejadian, KBG dibedakan ke dalam kategori kekerasan di ranah personal, kekerasan di ranah publik, dan kekerasan di ranah negara. Kekerasan di ranah personal lebih sering dikenal sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku merupakan orang dekat korban. Misalnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu, dan sebagainya.
Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap dan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.
Kekerasan di ranah publik terdiri atas kekerasan di ranah siber, kekerasan di wilayah tempat tinggal, kekerasan di tempat kerja, kekerasan di tempat umum, kekerasan di lingkungan pendidikan, perdagangan manusia, dan kekerasan terhadap buruh migran.
Sedangkan kekerasan di ranah negara dapat berupa kekerasan terhadap perempuan berhadapan dengan hukum, konflik sumber daya alam (SDA), kekerasan oleh pejabat negara, penggusuran, konflik agraria, dan peraturan hukum yang mendiskriminasi perempuan.
Kekerasan Perempuan Berdasarkan CATAHU 2023
Dalam CATAHU 2023, terjadi peningkatan pengaduan kepada Komnas Perempuan terkait kekerasan berbasis gender, dari 4.322 kasus pada 2021 menjadi 4.371 kasus pada 2022. Rinciannya, ada 2.098 kasus kekerasan di ranah personal, 1.276 kasus di ranah publik, dan 68 kasus di ranah negara.
Dari jumlah tersebut, Komnas Perempuan menerima 713 aduan kasus kekerasan di ranah personal yang dilakukan oleh mantan pacar dan 622 aduan yang dilakukan oleh suami, dengan mayoritas berupa kekerasan psikis.
Di ranah publik, kasus tertinggi adalah kasus siber sebanyak 869 kasus, diikuti kekerasan di tempat tinggal sebanyak 136 kasus dan di tempat kerja sebanyak 115 kasus, yang didominasi oleh kekerasan seksual. Di ranah negara, angka tertinggi adalah kasus perempuan berhadapan dengan hukum.
Seruan Komnas Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat menyebabkan berbagai dampak, antara lain gangguan kesehatan fisik dan mental, gangguan kesehatan reproduksi, infeksi HIV/AIDS, dorongan bunuh diri, hingga kematian. Untuk itu, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan sangat penting untuk mendukung, peran perempuan dalam pembangunan.
Komnas Perempuan menyerukan beberapa hal berikut:
- Pentingnya peran aktif berbagai stakeholder terkait, terutama pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memastikan implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Agar aturan ini berdampak, perlu perumusan aturan turunan dan sosialisasi secara meluas, memperhatikan keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual, dan mempercepat peningkatan kapasitas aparat dalam mengimplementasikan UU TPKS.
- Perlunya dukungan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan sektor privat untuk bersama-sama secara aktif melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan di lingkungan masing-masing, termasuk dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
- Perlunya dukungan media massa dengan menyebarluaskan gagasan anti kekerasan terhadap perempuan.
- Perlunya meningkatkan literasi terkait kekerasan berbasis gender untuk memperluas pemahaman dan mendorong korban untuk berani bersikap.
“Penting untuk terus mengkampanyekan gerakan “Dare to Speak Up” untuk berani melapor dan mengakhiri tindak kekerasan perempuan. Perempuan yang berani bersuara akan menjadi dorongan bagi penyintas kekerasan lainnya untuk turut berani melapor, sehingga bisa mendapatkan keadilan dan layanan yang dibutuhkannya, serta memberikan efek jera terhadap pelaku. Saya juga mengajak seluruh masyarakat untuk turut melaporkan kekerasan yang dialami ataupun dilihat,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Maulina adalah Reporter & Peneliti untuk Green Network Asia - Indonesia. Dia meliput Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.