Mengatasi Academic Burnout di Lingkungan Pendidikan Tinggi
Pendidikan merupakan modal penting bagi setiap orang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Namun, alih-alih menyenangkan, pendidikan terkadang menghadirkan beban bagi banyak orang yang menjalaninya–baik bagi pelajar maupun bagi pengajar. Apabila tidak dapat dikelola dengan baik, beban tersebut dapat membuat seseorang mengalami burnout (kejenuhan akut) yang dapat berdampak pada kesehatan mental dan performa akademik mereka. Oleh karena itu, academic burnout perlu menjadi perhatian serius seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan, termasuk di lingkungan pendidikan tinggi.
Memahami Academic Burnout
Academic burnout atau burnout akademik dapat diartikan sebagai perasaan lelah karena tuntutan akademik dan perasaan tidak kompeten. Dengan kata lain, academic burnout merupakan kondisi ketika seseorang merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional, yang disebabkan oleh tekanan aktivitas akademik yang intensif dan menyulitkan.
Lalu, mengapa seseorang rentan untuk mengalami academic burnout? Menurut sebuah penelitian, secara garis besar faktor-faktor penyebab academic burnout dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
- Faktor eksternal
- Beban tugas, tekanan, dan ekspektasi dalam belajar yang berat dan menyebabkan mengalami stres.
- Lingkungan belajar yang tidak kondusif.
- Hubungan interpersonal dengan teman-teman yang kurang baik atau cenderung berkonflik.
- Kurangnya dukungan dari guru atau pengajar, terutama dukungan emosional.
- Pola pengasuhan keluarga yang over-protective dengan didikan yang keras.
- Faktor sosio-ekonomi, terutama keluarga dari kelompok ekonomi menengah ke bawah yang kesulitan dalam memenuhi biaya pendidikan.
- Faktor internal
Faktor internal yang dapat menyebabkan academic burnout adalah kepribadian dan self-esteem–yaitu apa yang dirasakan, dipikirkan, dan diyakini tentang diri sendiri. Penelitian tersebut menemukan bahwa orang dengan sindrom burnout yang tinggi memiliki kepribadian yang introvert, sensitif, dan empatik. Penelitian lain menyebutkan bahwa faktor internal ini juga dapat disebabkan karena faktor kecemasan, ekspektasi pribadi terhadap lingkungan belajar yang tidak terpenuhi, hingga gender.
Sementara itu, faktor yang menyebabkan burnout di kalangan dosen dan tenaga pendidik dapat berbeda lagi. Sebuah penelitian menemukan bahwa tingkat burnout tinggi yang dialami dosen disebabkan karena tekanan dari pihak pimpinan, lingkungan bekerja tidak nyaman, perasaan diperlakukan tidak adil, kesejahteraan yang tidak diperhatikan, serta beban pekerjaan yang berat dan berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuan dosen. Di beberapa kampus, terutama yang berstatus PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), banyak dosen yang dibebani dengan tugas-tugas administratif dan birokratis di luar Tri Dharma perguruan tinggi (pendidikan & pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) seperti membuat proposal kegiatan, menyusun laporan pertanggungjawaban, dan mengisi borang akreditasi, yang dapat mengganggu fokus mereka dalam menjalankan pekerjaan sehingga memicu burnout. Selain itu, adanya aturan yang membuat dosen memiliki batasan dalam berinovasi atau ketidakpuasan terhadap birokrasi kampus juga mampu memicu burnout pada dosen dan tenaga pendidik.
Academic Burnout adalah Persoalan Serius
Sebuah survei oleh Kompas mengungkap bahwa mayoritas mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia mengalami stres akibat banyaknya tugas kuliah, ujian, hingga masalah yang berhubungan dengan dosen. Salah satu mahasiswa yang menjadi responden menceritakan bahwa dirinya mengalami stres akut akibat harus mengatur waktu dan tenaga antara tugas, kewajiban kuliah tambahan, dan juga magang.
Hal yang sama terlihat dalam survei lain oleh Project Multatuli tentang #GenerasiBurnout, yang memperlihatkan bahwa mayoritas mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir dan menjalani kewajiban magang merasa keletihan secara fisik maupun mental. Berbagai tuntutan, kewajiban, dan beban akademik yang ditanggung oleh mahasiswa menjadi penyebab utamanya. Persoalan akademik yang berat dan tidak terselesaikan tersebut pun dapat menjadi faktor mahasiswa berhenti kuliah (drop out), seperti yang terungkap dalam penelitian di Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
Dalam beberapa kasus, academic burnout bahkan berujung pada tindakan bunuh diri. Misalnya, pada awal tahun 2024, seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Malang mengakhiri hidupnya yang diduga mengalami stres akibat skripsinya tidak kunjung selesai. Mundur ke belakang, pada tahun 2020, seorang mahasiswa di Samarinda melakukan tindakan yang sama, juga diduga akibat depresi karena skripsinya yang selalu ditolak.
Tidak hanya di Indonesia, academic burnout merupakan masalah global yang dapat terjadi pada setiap individu di seluruh tingkatan pendidikan. Namun, mahasiswa terutama yang berasal dari negara-negara Asia merupakan kelompok yang lebih rentan mengalaminya. Misalnya, lebih dari separuh pelajar di Korea Selatan mengalami stres tinggi akibat permasalahan akademik mereka. Sementara itu, sebuah penelitian di Iran menunjukkan bahwa mayoritas pelajar yang mengalami mengalami academic burnout berasal dari rumpun ilmu sains dan kesehatan. Penelitian terhadap mahasiswa di China juga mengungkap hal yang kurang lebih sama.
Tidak hanya mahasiswa, academic burnout juga banyak dialami oleh dosen dan tenaga kependidikan di perguruan tinggi. Penelitian di Universitas Sebelas Maret pada masa pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa lebih dari 50% dosen dan tenaga kependidikan mengalami burnout. Academic burnout turut berdampak pada kualitas tidur seorang dosen, sebagaimana terungkap dalam penelitian di Universitas Negeri Padang. Penelitian lain menemukan bahwa tingkat burnout yang cukup tinggi juga dialami oleh staf perpustakaan di sepuluh fakultas di Universitas Diponegoro.
Meski mungkin bukan faktor satu-satunya, beberapa contoh kasus dan penelitian di atas menunjukkan bahwa academic burnout jelas merupakan masalah serius yang dapat memicu gangguan kesehatan mental yang tidak boleh diabaikan.
Mengatasi Academic Burnout
Academic burnout dapat menjadi penghambat dalam proses belajar dan pencapaian akademik seseorang, seperti ketidakmampuan dalam mengerjakan tugas, kerap menunda tugas, hilangnya motivasi dan inspirasi dalam mengikuti kegiatan belajar, dan berkurangnya konsentrasi. Selain itu, academic burnout juga berdampak pada kesehatan mental dan bisa berujung pada depresi.
Usaha untuk mengatasi academic burnout dapat dimulai dari diri sendiri, seperti mengupayakan tidur dan makan yang cukup dan teratur, mengatur prioritas dan mengusahakan waktu untuk beristirahat, atau memiliki manajemen waktu dan sistem self-reward sebagai penyemangat diri. Selain itu, penting untuk segera mencari bantuan profesional psikolog atau psikiatri jika dibutuhkan untuk membantu masalah burnout yang menyebabkan aktivitas sehari-hari menjadi terganggu.
Namun, academic burnout bukanlah isu individu, melainkan isu sosial yang memerlukan perhatian dari seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan institusi pendidikan, sebagai bagian dari upaya bersama untuk menjaga kesehatan mental setiap orang dalam dunia pendidikan. Menurut laporan UNICEF, terdapat lima pilar penting yang bisa dilakukan oleh pemerintah di level nasional untuk mempromosikan dan melindungi kesehatan mental di lingkungan pendidikan, yaitu:
- Mengimplementasikan kebijakan yang dapat mendukung kesehatan mental di dunia pendidikan dengan menanamkan literasi kesehatan mental dan pembelajaran sosial-emosional dalam kurikulum.
- Menjamin akses terhadap layanan kesehatan mental.
- Meningkatkan kesejahteraan guru dan pengajar.
- Meningkatkan kapasitas tenaga kependidikan dan tenaga profesional seperti psikolog dan konselor di lembaga pendidikan dalam memberikan dukungan untuk mempromosikan kesejahteraan psikososial, mencegah, hingga mengobati gangguan mental.
- Menjamin kolaborasi antara lembaga pendidikan, keluarga, dan komunitas dalam membangun lingkungan akademik yang aman.
Secara khusus, universitas juga harus memberikan dukungan penuh dalam menangani academic burnout dan menjaga kesehatan mental mahasiswa dan tenaga pengajar. Sebuah kemitraan beberapa universitas di Uni Eropa bernama BENDiT-EU yang berfokus untuk mengatasi academic burnout di tingkat pendidikan tinggi memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan yang bisa dilakukan oleh universitas, yaitu:
- Governance (tata kelola)
- Memformulasikan strategi untuk mendukung kesehatan mental yang secara spesifik untuk mencegah burnout.
- Membentuk kebijakan resmi yang memuat aksi dan tanggung jawab yang dapat diambil universitas dalam menangani burnout.
- Membangun struktur untuk mengawasi implementasi kebijakan atau strategi yang ada.
- Recognize (mewaspadai tanda-tanda burnout)
- Menyediakan sarana atau fasilitas yang bisa dijangkau oleh semua orang di lingkungan pendidikan tinggi untuk melakukan self-assessment atau screening permasalahan burnout dan kesehatan mental.
- Menjamin kerahasiaan dan privasi untuk mengurangi stigma dan mendorong mahasiswa dan tenaga pengajar untuk mencari bantuan profesional jika dibutuhkan.
- Menyediakan dukungan dan sumber daya yang sesuai, seperti layanan konseling dan workshop mengelola stres.
- Reverse (mengakui dampak burnout dan mengelolanya)
- Menjamin akses konselor kesehatan mental di dalam kampus yang memadai dan dapat dijangkau kapan saja dengan mudah.
- Menyediakan dukungan-dukungan lain yang dapat mengurangi burnout, seperti mentor, pusat karier, dan bantuan akademik.
- Menyusun pembagian waktu antara kegiatan akademik dan kegiatan ekstrakurikuler untuk memungkinkan adanya waktu istirahat di hari-hari biasa.
- Resilience (membangun ketahanan terhadap stres)
- Menyediakan sumber-sumber untuk memahami tentang academic burnout dan mengatasinya, seperti kurikulum, pelatihan, kursus, dan bahan bacaan.
- Memfasilitasi kesempatan bagi mahasiswa untuk terhubung dengan mahasiswa lain, seperti kelompok pengembangan diri atau dukungan sebaya (peer-support).
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.