Mengarusutamakan Konstruksi Rendah Karbon dengan Praktik Kuno
Tempat tinggal merupakan hal yang sangat penting bagi manusia sejak zaman dahulu kala. Seiring berjalannya waktu, teknologi bangunan pun semakin maju. Sayangnya, kemajuan ini disertai dengan eksploitasi sumber daya alam dan jejak karbon yang besar. Terkait hal ini, perusahaan arsitektur dan desain bangunan asal India, Mason Ink, memanfaatkan warisan dan praktik kuno untuk meminimalkan dampak lingkungan dan mendorong konstruksi rendah karbon di negara tersebut.
Biaya Bangunan
Konstruksi bangunan secara konvensional memiliki konsekuensi berbahaya bagi Bumi. Konstruksi membutuhkan material seperti beton, semen, baja, aluminium, dan lain sebagainya. Pembuatan material bangunan ini melibatkan proses yang memerlukan energi dan ekstraksi sumber daya alam.
Energi yang digunakan untuk sebuah bangunan sangat besar, mulai dari penggunaan bahan bakar fosil pada mesin konstruksi hingga penggunaan energi sehari-hari di dalam bangunan tersebut. Sebuah bangunan—entah itu rumah, kantor, dan lain sebagainya—membutuhkan energi untuk berbagai peralatan seperti pemanas, pendingin, dan alat-alat elektronik. Terkadang desain bangunan kurang mempertimbangkan efisiensi energi, dan sering kali karena terbatasnya kesadaran dan perbedaan prioritas.
Menurut Badan Energi Internasional, operasional bangunan menyumbang 30% penggunaan energi final global dan 26% emisi terkait energi di seluruh dunia. Hal ini mencakup 8% dari emisi langsung di dalam bangunan dan 18% dari produksi listrik dan panas yang digunakan di dalam bangunan.
Praktik konstruksi bangunan “modern” namun konvensional ini, yang menghasilkan polusi dan emisi karbon yang signifikan, dapat menimbulkan dampak lingkungan yang luas. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif untuk mengurangi jejak karbon suatu bangunan, salah satunya dengan menerapkan praktik kuno dalam konstruksi bangunan.
Praktik Kuno Konstruksi Rendah Karbon dengan Lumpur
Praktik kuno pemanfaatan lumpur yang banyak ditemukan di seluruh dunia, menawarkan alternatif yang layak untuk menggantikan bahan-bahan tertentu. Sepanjang sejarah, lumpur telah menjadi pilihan umum untuk membangun tempat berlindung dan bahkan untuk membangun keajaiban arsitektur abadi yang telah berdiri kokoh selama berabad-abad.
Di India, para arsitek perempuan menghidupkan kembali praktik bangunan lumpur kuno dalam karya mereka. Di pedesaan, Rosie Paul dan Sridevi Changali memperjuangkan penggunaan lumpur sebagai bahan konstruksi bangunan. Melalui perusahaan mereka, Mason Ink, penduduk setempat mengolah lumpur yang tersedia menjadi batu bata untuk konstruksi di desa, sehingga menguntungkan penduduk setempat dibandingkan produsen besar.
Menggabungkan berbagai teknik dalam pengerjaannya, para pembuat batu bata lokal ini kerap memadukan lumpur dengan kotoran sapi, limbah pasir, dan kapur. Campuran ini menghasilkan bahan yang tahan lama dan tahan cuaca yang cocok untuk konstruksi. Lumpur mencegah pertumbuhan jamur dengan memungkinkan aliran udara dan melepaskan panas siang hari yang diserap di malam hari, sehingga mengurangi kebutuhan akan pendingin ruangan.
Rumah lumpur adalah tradisi lama di India yang sudah mendarah daging dalam tradisi negara tersebut. Dengan pengetahuan dan pemahaman yang tepat, praktik ini dapat dihidupkan kembali dalam skala besar untuk meminimalkan dampak lingkungan dari bangunan dan secara perlahan menggantikan metode konvensional yang ada saat ini.
Perlu Inisiatif Bersama
Memperkenalkan kembali praktik-praktik kuno dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan memerlukan pengetahuan teknis dan keahlian multidisiplin. Penting untuk menyadari bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga praktik konstruksi rendah karbon harus disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk soal sumber daya yang tersedia di wilayah tersebut. Pada akhirnya, kesadaran bersama di antara para pemangku kepentingan merupakan hal yang penting dalam mencapai kelestarian lingkungan. Arsitek, insinyur, produsen, dan pengambil kebijakan publik harus berkolaborasi dan memprioritaskan opsi rendah karbon dalam praktik bisnis konstruksi. Dengan mengintegrasikan warisan budaya dan teknik modern, bangunan berkelanjutan dapat diarusutamakan secara efektif untuk mengurangi dampak lingkungan dari lingkungan binaan kita.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Dinda adalah Reporter di Green Network Asia. Dia belajar Ilmu Hubungan Internasional di President University. Dinda bersemangat menulis tentang isu keberagaman, konsumsi berkelanjutan, dan pemberdayaan.