Perampasan Wilayah Adat dan Urgensi Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Foto: Surya Prakosa di Unsplash.
Masyarakat adat mempunyai hak dan kebebasan yang setara dengan semua orang. Mereka berhak untuk menempati dan memanfaatkan ruang hidup yang telah mereka tinggali dan jaga secara turun-temurun. Namun sayangnya, negara telah gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia. Catatan akhir tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan hal itu.
Catatan Akhir 2023: Perampasan Wilayah Adat
Sepanjang tahun 2023, AMAN mencatat adanya unsur-unsur penyangkalan yang kuat terhadap keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya, terutama karena birokrasi pengakuan hukum yang masih rumit. Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), setidaknya ada 26,9 juta hektare wilayah adat yang teregistrasi, namun hanya 14% yang telah mendapat status pengakuan hukum. Status tersebut pun masih sebatas pengakuan keberadaan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, belum mencapai penetapan hak oleh Pemerintah Pusat.
Saat ini, penetapan hak Masyarakat Adat dijalankan oleh kementerian sektoral, sehingga wilayah adat diakui secara parsial berdasar sektor masing-masing kementerian. Misalnya, hutan adat ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang baru mengakui 221.648 hektare hutan di 123 komunitas adat. Kondisi ini semakin rumit karena RUU Masyarakat Adat belum disahkan hingga kini, dan itu membuat wilayah-wilayah adat dapat dengan mudah dirampas.
AMAN mencatat bahwa 2,6 juta hektare wilayah adat dirampas oleh negara dan korporasi atas nama investasi sepanjang tahun 2023. Mayoritas perampasan tersebut disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi terhadap setidaknya 247 orang, dengan 204 di antaranya luka-luka dan 1 orang meninggal dunia. Tidak hanya itu, lebih dari 100 rumah warga juga dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara.
Kasus perampasan wilayah adat tidak hanya untuk kepentingan industri seperti tambang dan kehutanan, tapi juga sektor energi dan karbon. Salah satunya terjadi di Pulau Flores yang ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi. AMAN juga mencatat bahwa proyek ini mengakibatkan perampasan wilayah 14 komunitas adat di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT, dan berdampak pada 4.506 jiwa. Ironisnya lagi, meski proyek ini diklaim atas nama mitigasi iklim, Masyarakat Adat justru tidak pernah dipandang sebagai aktor kunci oleh pemerintah, padahal mereka termasuk kelompok yang paling terdampak.
Memenuhi Hak Masyarakat Adat
Komitmen untuk memperkuat perlindungan Masyarakat Adat, termasuk pengakuan sumber daya untuk kesejahteraan mereka, merupakan hal yang penting. Namun, menurut AMAN, kebutuhan prioritas bagi Masyarakat Adat saat ini adalah meluruskan terlebih dahulu kebijakan dan praktik terkait Pengakuan, Perlindungan, serta Pemenuhan Hak Masyarakat Adat yang dalam satu dekade ke belakang tidak mengalami kemajuan. Oleh karena itu, hal-hal yang mestinya dilakukan adalah:
- Mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat.
- Mencabut pasal-pasal yang berpotensi mematikan hukum adat dalam KUHP, termasuk mencabut UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara, hingga UU IKN dan revisinya.
- Meninjau ulang dan mencabut perizinan yang diperoleh dengan merampas wilayah adat.
- Membentuk kelembagaan khusus Masyarakat Adat yang independen dan permanen.
- Mengembalikan kewenangan Pemerintah Daerah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah.
- Menata ulang kelembagaan yang berwenang dalam mengatur prosedur pengakuan Masyarakat Adat.
- Membebaskan dan memulihkan hak pejuang Masyarakat Adat yang mengalami kriminalisasi.
Perlindungan dan pengakuan hak Masyarakat Adat harus diwujudkan secara nyata oleh pembuat kebijakan, bukan sebatas janji di atas ingkar. Masyarakat Adat harus dilibatkan dalam proses pembangunan sehingga dalam prosesnya tidak merusak wilayah dan kehidupan spiritual dan budaya mereka. Regulasi yang mengakui dan memajukan hak-hak Masyarakat Adat merupakan hal penting yang menjadi kewajiban negara.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional Anda.
Jadi Member SekarangNisa adalah Reporter & Asisten Riset di Green Network Asia. Ia meraih gelar sarjana dalam Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat khusus pada penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.

Mengatasi Deprivasi Hak Anak Multidimensi untuk Dukung Kesejahteraan Anak
Langkah Singapura dalam Melindungi Korban Kekerasan Siber
Melihat Kemajuan Proyek Great Green Wall dengan Merangkul Pengelolaan Lahan Adat
Superkapasitor dari Limbah Sawit sebagai Potensi Energi Baru
Pentingnya Pengembangan AI yang Sadar Karbon
Tubuh yang Sakit di Bumi yang Sekarat: Sebuah Refleksi atas Antropologi Kesehatan Planet