Langkah Thailand Hapus Keadaan Tanpa Kewarganegaraan
Setiap orang memiliki hak atas kewarganegaraan sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Namun, jutaan orang di berbagai belahan dunia masih belum mendapatkan hak ini, sehingga mereka berstatus tanpa kewarganegaraan. Di Thailand, berbagai upaya dilakukan untuk mengakhiri keadaan tanpa kewarganegaraan, mulai dari resolusi pemerintah hingga inisiatif akar rumput.
Orang-orang Tanpa Kewarganegaraan
Badan Pengungsi PBB mendefinisikan orang tanpa kewarganegaraan sebagai “orang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara mana pun berdasarkan hukum yang berlaku.” Penyebab keadaan tanpa kewarganegaraan bermacam-macam, dan banyak di antaranya disebabkan oleh diskriminasi berdasarkan ras, etnis, agama, bahasa, atau gender.
Kewarganegaraan bukan sekadar identitas. Dengan kewarganegaraan, seseorang akan diakui sebagai bagian dari suatu bangsa dan diberikan perlindungan serta dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Oleh karena itu, keadaan tanpa kewarganegaraan dapat membuat orang-orang menjadi rentan dan mengorbankan keselamatan dan kebebasan mereka. Hak-hak dasar mereka seringkali tidak diberikan, seperti hak untuk bersekolah, berobat ke dokter, membuka rekening bank, atau bahkan bepergian dengan bebas.
Keadaan Tanpa Kewarganegaraan di Thailand
Pada September 2023, hampir 600.000 orang terdaftar sebagai orang tanpa kewarganegaraan di Thailand, menjadikannya salah satu populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia. Kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas disebut-sebut sebagai salah satu alasan utama meluasnya masalah ini. Pada saat yang sama, jumlah migran dan pengungsi di negara tersebut juga bertambah.
Lalu, pada Oktober 2024, pemerintah Thailand menyetujui jalur percepatan untuk memberikan izin tinggal permanen dan kewarganegaraan. Melalui jalur ini, lebih dari 300.000 anggota etnis minoritas yang diakui secara resmi di Thailand akan memenuhi syarat untuk mendapatkan izin tinggal permanen dan dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan Thailand setelah lima tahun.
Selain itu, lebih dari 142.000 anak mereka yang lahir di Thailand akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Thailand. Hal ini menandai langkah nyata pemerintah Thailand dalam mewujudkan janji untuk menghapus keadaan tanpa kewarganegaraan pada tahun 2024.
Di tingkat akar rumput, berbagai organisasi juga melakukan upaya untuk mendukung masyarakat dalam menjalani proses permohonan kewarganegaraan. Meefah Ahsong, seorang relawan komunitas dari Legal Community Network (LCN) dan Legal Advocacy Walk (LAW), berbagi pengalamannya membantu masyarakat di desa-desa etnis di seluruh Chiang Mai untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan.
“Saya senang mereka memiliki kehidupan baru, mereka punya pekerjaan yang lebih baik dan akses terhadap jaminan kesehatan,” katanya. “Saya ingin penduduk desa yang tidak memiliki kewarganegaraan lebih sadar akan hak-hak mereka.” Sebelumnya, Meefah sendiri pernah menjadi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Melindungi Hak Setiap Orang
Upaya untuk mengakhiri keadaan tanpa kewarganegaraan di Thailand menunjukkan peran penting pemerintah nasional dan organisasi internasional dalam menjamin hak asasi manusia bagi semua orang, termasuk hak seseorang atas kewarganegaraan. Pada saat yang sama, kerja-kerja komunitas dan individu di tingkat akar rumput juga penting dalam mendukung dan menghilangkan stigma terhadap migran dan pengungsi di sekitar kita.
Secara keseluruhan, upaya untuk mengakhiri keadaan tanpa kewarganegaraan harus dilakukan sesuai dengan pengakuan hak asasi manusia dan tidak meninggalkan seorang pun di dunia yang terus berubah.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul MuamarBaca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.