Minyak Sawit dan Keberlanjutan di Indonesia: Larangan Ekspor dan Seruan untuk Perbaikan

Foto oleh Nanang Sujana/CIFOR on Flickr
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Selain digunakan sebagai minyak goreng, minyak sawit juga menjadi bahan berbagai produk makanan dan kosmetik, sehingga nyaris mustahil dihindari. Dari kelangkaan sampai kampanye keberlanjutan minyak sawit sampai ke larangan ekspor, begitu banyak hal telah terjadi di industri sawit Indonesia.
Kelangkaan Minyak Sawit dan Larangan Ekspor
Masyarakat Indonesia umumnya menggunakan minyak sawit sebagai minyak goreng. Selama berbulan-bulan, Indonesia tengah mengalami kelangkaan minyak goreng di pasar domestik dengan harga meroket kalaupun stok tersedia. Untuk mengatasi masalah ini, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan larangan ekspor minyak sawit mulai 28 April.
Berita terbaru dari Bloomberg menyatakan bahwa Indonesia akan tetap mengizinkan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil) dan bahan baku minyak goreng (RBD palm oil). Indonesia hanya akan menghentikan ekspor minyak goreng paket dan kemasan yang mencapai 30-40% dari total ekspor minyak sawit.
Kekhawatiran dan Dukungan
Secara internasional, pengumuman larangan ekspor ini memicu kekhawatiran akan memburuknya inflasi makanan global. Secara domestik, Mongabay melaporkan bahwa beberapa ahli ekonomi dan pemain industri mengkritisi langkah tersebut.
Salah satu di antaranya adalah Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI). Kekhawatirannya didasarkan oleh permintaan domestik untuk minyak sawit (16.9 juta metrik ton) yang jauh lebih sedikit dari perkiraan produksi (46.9 juta metrik ton). Ia menambahkan bahwa petani sawit di Riau dan Sumatera Utara telah menghadapi penurunan harga sampai 30-50% untuk hasil panennya.
Dukungan datang dari SPKS, Serikat Petani Kelapa Sawit. Sekjen SPKS Mansuetus Darto berharap bahwa hal ini bisa menjadi saat yang tepat bagi perubahan kekuasaan di industri minyak sawit dari empat konglomerat utama ke para petani kecil.
Terlepas dari kekhawatirannya mengenai larangan ekspor, Henry dari SPI setuju bahwa industri perkebunan seharusnya dikelola oleh rakyat. Ia mengungkapkan betapa korporasi minyak sawit cenderung berbahaya dan tidak berkelanjutan.
“Korporasi perkebunan minyak sawit telah mengubah hutan-hutan menjadi tanaman monokultur, menyingkirkan kekayaan hutan kita juga sumber-sumber air seperti rawa-rawa, sungai, dan lainnya. Perusahaan-perusahaan minyak sawit juga telah terbukti membuldozer tanah-tanah petani, masyarakat adat dan lokal, serta merusak infrastruktur lokal,” kata Henry.
Tur Virtual RSPO Untuk Perubahan Industri Minyak Sawit yang Lebih Berkelanjutan
Industri minyak sawit menjadi topik yang rumit ketika dibicarakan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Industri ini memiliki reputasi buruk terkait praktik-praktik berbahaya yang dilakukan oleh pemain-pemain besar industri ini sebagaimana dituturkan di atas. Industri minyak sawit Indonesia juga telah memberikan imbas negatif pada konservasi satwa liar dan keanekaragaman hayati. Meskipun demikian, beberapa dari mereka mulai menunjukkan komitmen untuk mengubah praktik-praktik yang mendukung prinsip-prinsip keberlanjutan dengan bergabung bersama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yaitu asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari berbagai sektor industri minyak sawit – produsen kelapa sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM pelestarian lingkungan atau konservasi alam, dan LSM sosial.
Di Hari Bumi, RSPO berkolaborasi dengan Bumitama Gunajaya Agro, Sawit Sumbermas Sarana, Borneo Orangutan Foundation, dan Youth in Sustainability mengadakan tur virtual dengan mengunjungi perkebunan mintak sawit dan area konservasi orang utan secara virtual yang dikelola oleh anggota-anggota RSPO members di Indonesia. Tur ini bertujuan untuk mempromosikan produksi minyak sawit yang lebih berkelanjutan.
Selama tur virtual ini, Djaka Riksanto, Senior Manager Assurance RSPO Indonesia mengungkapkan bahwa industri minyak sawit Indonesia memiliki 8.4 juta pekerja. Ia juga menyebutkan bahwa minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati yang paling produktif, dengan lahan paling sedikit untuk mendapatkan per ton produksinya.
Djaka mengemukakan, “Yang kita butuhkan sekarang adalah solusi atau jalan tengah untuk minyak sawit supaya bisa dikelola dengan penuh tanggung jawab untuk mengurangi imbas negatif, salah satunya adalah melalui minyak sawit berkelanjutan. Konsep inilah yang sedang diupayakan oleh RSPO untuk diimplementasikan oleh para pemain industri dalam pengelolaannya.”
Editor: Marlis Afridah
Penerjemah: Iffah Hannah
Versi asli artikel ini diterbitkan dalam bahasa Inggris di platform media digital Green Network Asia – Internasional.
Naz adalah Manajer Publikasi Digital Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.