Sustainability Scool: Pendidikan Keberlanjutan untuk Semua Melalui Peran Perempuan dan Makanan
“To sustain” dalam kata “sustainability” atau yang kita kenal sebagai “keberlanjutan” bisa dimaknai sebagai memberikan dukungan dan bertahan untuk waktu yang lama. Hidup yang berkelanjutan sangat penting bagi keberlangsungan, kedamaian, dan kesejahteraan kita semua di bumi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dimana sustainability belum begitu dikenal luas, mengedukasi masyarakat bukan hal yang mudah. Yang dilakukan Sustainability Scool tidak semata memantik kesadaran masyarakat; tetapi juga mengajari mereka untuk bangkit dan berbuat sesuatu.
Sustainability Scool sendiri awalnya dikenal sebagai SHINE, Sustainable Hyper-platform of Indonesian Network of Educators, yang pada 2013 berupaya untuk membawa topik-topik keberlanjutan ke sekolah-sekolah. Pada awalnya, SHINE berjalan tanpa dukungan pendanaan baik dari pemerintah maupun institusi lain. Kini, lembaga tersebut memberdayakan masyarakat melalui workshop dan proyek yang memfokuskan pada perempuan dan makanan.
Atas nama Green Network Asia, saya mewawancarai pendiri Sustainability Scool, Ines Puspita Setiawan, pada Minggu pagi (16/1) melalui Zoom. Kami berbincang mengenai Sustainability Scool dan bagaimana lembaga ini mengeksplorasi peran-peran perempuan dan makanan dalam isu keberlanjutan.
Saya pertama kali bertemu Ines bertahun lalu ketika ibu dan saya berpartisipasi dalam workshop pembuatan keju yang diadakan SHINE di kota kami. Sampai sekarang, saya masih membeli yoghurt untuk membuat kue dari peserta lain dalam workshop tersebut.
Bagaimana awalnya
Bagi Ines, pendidikan selalu menjadi passion-nya. Dia mengambil sekolah jurusan keuangan untuk memenuhi keinginan orang tuanya di kampung supaya ia bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Meskipun demikian, di tahun-tahun awalnya bekerja di bidang keuangan, dia masih tetap mengajar.
Ines merasakan dorongan untuk sepenuhnya menjadi guru ketika putrinya lahir 23 tahun lalu. Saat itu, ia mulai mengambil kelas-kelas pengajaran dan ilmu sains, khususnya untuk anak-anak kecil.
Lama-lama, ia magang di sebuah Sekolah Korea, kemudian menjadi guru paruh waktu, dan akhirnya menjadi guru penuh waktu. Sekarang ia mengajar penuh waktu di kelas dasar Sekolah Jerman Jakarta (Deutsche Schule Jakarta).
Sebelum mendirikan SHINE, Ines menyadari betapa isu keberlanjutan jarang terdengar. Sekolah-sekolah umumnya memfokuskan pada Ujian Nasional dan nilai, membuat para siswa dan orang tua stres serta tertekan.
Ia menyaksikan bagaimana siswa-siswa begitu cemerlang di sekolah dan lulus ujian. Namun, sungai-sungai menjadi semakin kotor, tanah dan udara menjadi semakin tercemar, masyarakat hidup dalam kondisi yang semakin memburuk, keresahan dan ketegangan sosial terus berlanjut. Ia sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
“Saya rasa, jika pendidikan berhasil, maka manusia harusnya bisa menghirup udara yang lebih bersih, memiliki akses untuk makanan yang lebih sehat dan lingkungan yang lebih baik. Tidak hanya untuk segelintir orang yang menguasai segalanya, tetapi juga untuk semua orang,” kata Ines.
Sustainability Scool membawa 10 konsep permasalahan global: air, energi, makanan, limbah, keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan pemanasan global, kemiskinan, keuangan, kesehatan, dan perdamaian. Ines merasa bahwa pekerjaannya sebagai pengajar anak-anak di sekolah dasar memberikan keuntungan dalam membongkar konsep-konsep yang susah supaya lebih mudah dipahami.
Fokus pada Makanan dan Perempuan
Perubahan resmi dari SHINE menjadi Sustainability Scool terjadi di Januari 2022 yang bertujuan untuk memfokuskan visi mereka untuk pendidikan bagi semua. Mereka ingin berbagi topik-topik keberlanjutan tidak hanya dengan para guru dan pendidik, tetapi juga dengan semua orang.
Ines mengatakan, “pendidikan merupakan proses tanpa henti yang melibatkan semua orang. Setiap orang memiliki hak dan akses terhadap pendidikan berkelanjutan setiap saat.”
Sustainability Scool pada intinya fokus pada persoalan perempuan dan makanan. Ines percaya bahwa di Indonesia dan mungkin juga tempat lain di dunia, pendidikan menjadi tanggung jawab para ibu di keluarga. Ia mengutip sebuah buku yang menginspirasinya, “ketika kita mengedukasi seorang perempuan, berarti kita mengedukasi satu generasi.”
Ines tahu, jika ia ingin mencapai dampak yang lebih besar, perempuan menjadi kuncinya. “Ketika para ibu berubah, dia berbelanja dengan berbeda dan mulai membuat perubahan-perubahan baru. Sedikit banyak, ayah dan anak-anak akan mengikuti.”
Sementara itu, alasannya dalam memilih isu makanan adalah karena makanan merupakan sumber energi dan sangat lekat dengan kultur masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, Ines melihat bahwa trend-nya kini sedang bergeser.
Ines menjelaskan, “satu, kita malu dengan warisan budaya kita. Dua, kita melupakannya baik secara sengaja maupun tidak. Tiga, trend menjadi segalanya. Empat, kemudahan akses dan kualitas makanan menurun, dan pada akhirnya semua itu berimbas pada para petani, air, dan semuanya. Hal-hal ini lah yang berkisar di tengah pilihan-pilihan makanan.”
Prinsip-prinsip, Tantangan, dan Aktivitas
Sustainability Scool mengadakan workshop-workshop tatap muka dan daring (meskipun hanya dilakukan secara daring selama pandemi COVID-19). Workshop tatap muka lebih memberikan interaksi riil antar manusia dan praktik langsung, sementara workshop daring lebih memperluas akses dan memberikan kesempatan-kesempatan bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil.
Workshop-workshopnya didesain sederhana dan terjangkau. Mereka mengajari sesuatu yang orang bisa lakukan dan jual setelah satu kali praktik sehingga mereka bisa mendukung keluarganya melalui pemasukan yang mereka dapat, dan kemudian mereka juga bisa meningkatkan keterampilannya.
Orang-orang yang telah mengikuti workshop-workshopnya mengaku bahwa mereka merasa lebih berdaya. Mereka merasa bahwa mereka lebih bisa menjadi sosok yang penuh kontrol terhadap hidup mereka, terhadap proses belajar mereka.
Ines percaya jika mengajar tentang keberlanjutan, maka harus ada konteksnya. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana hidup berkelanjutan dipandang hanya bisa diakses oleh orang kaya atau orang terpelajar saja. Sebab, banyak orang sudah terlalu disibukkan oleh hidup yang keras, yang bahkan tidak tahu besok harus makan apa.
Ines merasa tertantang untuk membongkar konsep keberlanjutan yang dianggap rumit itu kepada orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan–khususnya ilmu sains– dan di waktu yang sama berupaya untuk memperbaiki ekonomi mereka.
“Workshopnya harus dilakukan dengan singkat, mudah dipahami, sebab bagi banyak orang seminggu itu terlalu lama,” kata Ines.
Workshop-workshop yang mereka lakukan juga merayakan keanekaragaman hayati. Mereka mendorong masyarakat untuk menggunakan bahan-bahan yang mereka miliki secara berlimpah tapi sering diabaikan, seperti jamblang (Syzygium cumini), porang (Amorphophallus muelleri), dan beragam biji-bijian. Mereka mengajari masyarakat untuk mengubah bahan-bahan tersebut menjadi produk-produk makanan berkualitas tinggi seperti mie bebas gluten, roti bebas gluten, selai tanpa bahan pengawet dsb.
Beberapa workshop Sustainability Scool memfokuskan pada pengawetan yang bisa memperpanjang durasi umur simpan dan penambahan nilai untuk produk-produk segar. Produk-produk seperti tomat kering, keju, salami, dan beberapa produk lain bisa memberikan kesempatan lebih bagi para petani sehingga mereka tidak bergantung semata-mata pada penjualan hasil panen langsung.
Contoh lainnya adalah workshop terbaru mereka tentang pembuatan susu kental manis. Dalam workshop ini, mereka mengajari masyarakat bagaimana cara membuat susu kental manis di rumah dengan energi dan limbah minimal, nutrisi yang lebih baik, dan rasa yang lebih enak.
Pada intinya, seperti itulah fokus dari setiap workshop yang mereka lakukan: mudah diakses oleh semua orang di sebagian besar dapur, terjangkau, cepat, bisa menghasilkan, dan merefleksikan prinsip-prinsip yang lain.
Workshop-workshop ini lebih dari sekadar mengajari orang apa yang harus dilakukan. Mereka menjelaskan prosesnya, alasannya, dan bagaimana caranya. Karena inilah, para peserta workshop bisa terus berkembang dan berinovasi setelahnya.
Ines merayakan pertumbuhan ini. Sustainability Scool terus berupaya untuk mengintegrasikan lebih banyak orang, sehingga tidak semuanya bergantung pada Ines saja.
Sebagai konsekuensinya, Sustainability Scool mempromosikan setiap orang, tidak hanya mereka yang terbaik saja. Mereka percaya bahwa kolaborasi dalam ekosistem ini merupakan kunci; bahwa tidak ada satu orang yang terbaik atau komunitas terbaik.
Ines percaya, “setiap orang berevolusi setiap menit untuk menjadi versi terbaik diri mereka, kita bisa menjadi lebih baik bagi orang lain dan menciptakan dampak yang baik bersama.”
Apa yang mereka lakukan ini dianggap “mengacaukan” industri makanan di satu sisi. Eksklusivitas terbaik dari yang terbaik seolah disapu. Ines mencontohkan bagaimana Sustainability Scool mengadakan workshop gelato dengan biaya Rp. 35.000,00 saja. Padahal, biasanya satu sesi workshop gelato dihargai 1.5 juta rupiah, yang mengajari orang untuk menggunakan mesin dan membeli bahannya.
Selain workshop, SHINE/Sustainability Scool juga mengadakan kunjungan lapangan bulanan (sebelum-COVID 19) untuk setiap orang, mendorong terjadinya perbincangan dan saling memahami di kelompok yang beragam. Kunjungan-kunjungan ini menjunjung konsep wisata damai untuk memberikan dampak yang positif bagi para peserta, alam, dan orang-orang yang mereka kunjungi.
Sustainability Scool mengalokasikan keuntungannya untuk membuat buku-buku anak, sejauh ini dicetak dalam jumlah terbatas. Mereka berharap bisa memperluas produksi buku tersebut ke dalam beragam topik untuk berbagai kelompok usia, disertai lembar kerja, sehingga para ibu dan guru bisa menggunakannya secara gratis.
Tujuan Akhir
Ines meyakini bahwa pendidikan seharusnya membebaskan. Ia ingin Sustainability Scool ada bersama mereka untuk membebaskan diri mereka bersama ketika mereka merasa stagnan alias “mandeg” dalam hidupnya.
Di dunia dimana orang-orang begitu mudahnya dicerai-beraikan oleh banyak hal, Ines ingin mengingatkan kita betapa sebetulnya kita saling terhubung satu sama lain. Ia berujar, “ini bukan tentang menghapus perbedaan atau mengabaikannya. Kita hidup di satu bumi, satu ekosistem. Kita hanya bisa bertahan hidup bersama-sama, atau mati bersama-sama.”
Penerjemah: Iffah Hannah
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Pelajari lebih lanjut tentang workshop-workshop Sustainability Scool di sini.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.