The Global Risk Report Nyalakan Alarm Perihal Dunia yang Terpecah

Foto oleh Nick van den berg di Unsplash
Di awal Pandemi COVID-19, kata-kata persatuan seperti “kita semua bersama dalam masalah ini” bergema di mana-mana. Kata-kata rupanya itu tak berumur panjang. Distribusi vaksin yang tidak merata dan ketimpangan ekonomi global hari-hari ini menyebabkan dunia semakin terpecah, demikian menurut laporan World Economic Forum (WEF) dalam The Global Risk Report 2022.
Laporan tersebut memaparkan hasil Survei Persepsi Risiko Global (Global Risks Perception Survey/GRPS) dengan masukan dari hampir 1.000 pakar dan pemimpin global. Selain itu, laporan tahun ini juga mencakup perspektif lebih dari 12.000 pemimpin tingkat negara tentang upaya mitigasi risiko jangka pendek kritis di 124 negara.
Secara keseluruhan, laporan ini mengingatkan tentang risiko perpecahan ketika integrasi global justru sedang sangat dibutuhkan. Sebagian besar responden memperkirakan bahwa tiga tahun ke depan akan selalu ada kondisi tidak stabil di mana terdapat banyak kejutan atau keretakan yang memunculkan pemenang dan pecundang.
Laporan tersebut memproyeksikan bahwa pada tahun 2024, negara-negara berkembang (tidak termasuk China) akan turun 5,5% di bawah perkiraan pertumbuhan PDB pra-pandemi, sementara negara-negara maju akan melampauinya sebesar 0,9%.
“Pemulihan ekonomi yang berbeda dari krisis yang diciptakan oleh pandemi berisiko memperdalam perpecahan global,” kata Saadia Zahidi, Managing Director The Global Risk Report 2022.
Laporan tersebut menjabarkan pandangan para responden tentang risiko global dalam sepuluh tahun ke depan di sektor ekonomi, lingkungan, geopolitik, sosial, dan teknologi yang telah mereka identifikasi. Laporan tersebut juga menyuguhkan analisis dan proyeksi tentang Transisi Iklim yang Tidak Beraturan, Ketergantungan Digital dan Kerentanan Siber, Hambatan terhadap Migrasi, Kerumunan dan Persaingan di Luar Angkasa, dan Ketahanan.
Para responden GRPS memandang “erosi kohesi sosial” dan “krisis mata pencaharian” sebagai risiko yang paling parah akibat pandemi COVID-19. Dalam dua tahun, risiko yang mereka anggap paling kritis adalah “cuaca ekstrem” dengan “krisis mata pencaharian” mengekor di belakang. Selama lima tahun ke depan, risiko sosial dan lingkungan masih menjadi perhatian utama dengan “kegagalan tindakan iklim” di urutan teratas dan “krisis utang” di urutan kelima.
Untuk perkiraan 10 tahun ke depan, risiko lingkungan mengambil alih. Para responden prihatin dengan kondisi planet akibat “kegagalan aksi iklim”, “cuaca ekstrim”, “hilangnya keanekaragaman hayati”, “krisis sumber daya alam”, dan “kerusakan lingkungan manusia”.
Di akhir laporan, WEF menawarkan lima pelajaran praktis untuk meningkatkan aktivitas dan ketahanan organisasi:
- Analisis dasar dalam persyaratan pengiriman dengan bekerja kembali dari hasil yang tidak diinginkan, seperti kegagalan, kerusakan, dan gesekan.
- Pahami sungguh-sungguh kerentanan dalam ekosistem yang lebih luas dengan memeriksa ketahanannya terhadap masalah yang disebabkan oleh aset dan layanan pihak ketiga serta toleransi dari pihak-pihak yang bergantung pada mereka.
- Rangkul keragaman strategi ketahanan karena banyak variabel krisis yang berbeda memerlukan solusi dan strategi yang berbeda.
- Hubungkan upaya ketahanan dengan tujuan lain karena tujuan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) saling berkaitan.
- Anggap ketahanan itu sebagai sebuah perjalanan, bukan akhir, karena akan selalu ada perubahan dalam risiko dan keadaan.
Penerjemah: Abul Muamar
Editor: Marlis Afridah
Versi asli artikel ini diterbitkan dalam bahasa Inggris di platform media digital Green Network Asia – Internasional.
Naz adalah Manajer Publikasi Digital Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.