Urgensi untuk Mengatasi Dampak Perubahan Iklim di Afrika

Foto: Maria Krasnova di Unsplash.
Dampak perubahan iklim sangat luas dan serius, terutama di negara-negara yang minim upaya mitigasi. Di Afrika, cuaca ekstrem dan perubahan iklim mengancam hampir seluruh aspek pembangunan, yang menandakan perlunya mekanisme respons yang lebih kuat dan menyeluruh.
Dampak Perubahan Iklim di Afrika
Tahun 2023 dan 2024 secara berturut-turut tercatat sebagai tahun terpanas. Kenaikan suhu berkaitan erat dengan tingginya emisi karbon, meskipun seruan dan upaya global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca terus dilakukan. Hal ini membuat target Perjanjian Paris untuk membatasi peningkatan suhu tetap di bawah 1,5°C menjadi sulit tercapai.
Afrika merasakan dampak perubahan iklim yang lebih parah meskipun emisi gas rumah kaca kawasan tersebut relatif lebih kecil dibanding kawasan lain. Pada 2024, suhu rata-rata Afrika tercatat sebagai yang terpanas sejak 1900. Menurut laporan Kondisi Iklim Afrika 2024 dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu di Afrika mencapai 0,86°C di atas rata-rata tahun 1991–2020. Kenaikan ini menyebabkan suhu permukaan laut mencapai rekor tertinggi dan kenaikan permukaan laut melebihi rata-rata global.
Anomali Cuaca Ekstrem
Laporan WMO lebih jauh menyoroti anomali cuaca di Afrika sebagai salah satu dampak paling nyata dari perubahan iklim. Pola cuaca ekstrem secara signifikan dipengaruhi oleh siklus El Niño 2023 dan Dipol Samudra Hindia (perbedaan suhu bagian barat dan timur Samudra Hindia yang memengaruhi pola cuaca) yang berlangsung hingga awal 2024.
Contohnya, di Afrika Barat dan Tengah, jutaan orang terdampak hujan lebat yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan pengungsian massal. Selain itu, pada September 2024, Chad mengalami hujan deras selama berminggu-minggu dan berdampak pada lebih dari 1,5 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Bahkan Gurun Sahara mengalami banjir, peristiwa pertama dalam beberapa dekade terakhir.
Selain itu, kawasan Afrika juga dilanda kekeringan berkepanjangan, terutama di Afrika Selatan, yang mengakibatkan gagal panen, krisis pangan, serta krisis kemanusiaan dan lingkungan. Di Namibia, pemerintah bahkan memusnahkan satwa liar pada Mei 2024 untuk mengatasi krisis pangan kronis akibat minimnya curah hujan.
Laporan WMO juga mengungkapkan bahwa kurangnya pasokan air menyebabkan krisis listrik di Zambia dan Zimbabwe. Kurangnya pasokan air di Danau Kariba menghambat kinerja pembangkit listrik tenaga air di kedua negara tersebut.
Respons dan Mitigasi yang Lebih Kuat
Pada KTT Iklim Afrika 2023, para pemimpin negara berkomitmen untuk mendorong pembangunan ekonomi Afrika sekaligus berkontribusi pada upaya dekarbonisasi global. Namun, untuk mencapai kemajuan yang substansial, masih banyak yang perlu dilakukan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Laporan WMO menekankan pentingnya teknologi digital dalam mendukung sistem peringatan dini negara, seperti kecerdasan buatan (AI), alat komunikasi seluler, dan model prediksi cuaca canggih. Namun, untuk mengoptimalkan teknologi ini diperlukan peningkatan investasi infrastruktur, penguatan kerangka pembagian data, dan penyediaan layanan inklusif. Semua ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil. Selain itu, Afrika juga perlu memperkuat infrastruktur, kerangka kerja, dan kebijakan untuk merespons dampak perubahan iklim, guna memastikan ketahanan serta masa depan yang lebih baik bagi manusia dan Bumi.
Penerjemah: Kesya Arla
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.