Intervensi Sistemik untuk Atasi Kekurangan Tenaga Kesehatan Global
Sistem layanan kesehatan yang berkualitas harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat di semua tingkatan. Selain menempatkan kesehatan pasien sebagai prioritas, sistem layanan kesehatan juga tidak boleh mengabaikan kesehatan dan kesejahteraan tenaga kesehatan. Pandemi COVID-19 menunjukkan kesalahan besar dalam sistem layanan kesehatan global, sehingga mengakibatkan kekurangan tenaga kesehatan di seluruh dunia, jauh setelah masa terburuk berlalu. Oleh karena itu, mengatasi masalah ini merupakan langkah penting dalam menciptakan sistem layanan kesehatan yang fungsional untuk semua.
Kekurangan Tenaga Kesehatan
Pada Februari 2024, para dokter dan dokter magang di Korea Selatan mogok kerja sebagai bentuk protes atas rencana pemerintah yang meningkatkan kuota pendaftaran mahasiswa kedokteran. Rencana tersebut diumumkan dengan dalih kekurangan tenaga kesehatan, terutama di daerah pedesaan.
Sementara itu, banyak praktisi medis percaya bahwa meningkatkan penerimaan mahasiswa kedokteran hanya akan memberikan solusi jangka pendek terhadap masalah yang ada. Untuk menciptakan sistem layanan kesehatan yang lebih baik, pemerintah Korea Selatan harus mengatasi masalah upah rendah, kurangnya fasilitas, dan jam kerja yang panjang.
Aksi mogok yang terjadi di Korea Selatan merupakan gambaran sekilas memgenai masalah kekurangan tenaga kesehatan yang terjadi secara global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah tenaga kesehatan berkurang sebanyak 10 juta pada tahun 2023, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Hal ini mengkhawatirkan, mengingat populasi yang terus bertambah serta kemungkinan ancaman penyakit baru serta bencana terkait iklim.
Tanggung Jawab dan Risiko Tinggi, Tapi Insentif Rendah
Mereka yang bekerja di sektor kesehatan tidak hanya memikul tanggung jawab yang besar, namun juga risiko dan bahaya yang besar. Sebuah penelitian di India, misalnya, menemukan bahwa dari 394 tenaga kesehatan yang menjadi responden, 34,5% pernah mengalami kekerasan di tempat kerja antara tahun 2014 dan 2015. Mirisnya, hanya 23,5% kasus yang dilaporkan secara resmi.
Selain kekerasan di tempat kerja, tenaga kesehatan juga rentan mengalami stres dan kelelahan, terutama karena jam kerja yang panjang. Kondisi kerja yang sulit diperparah dengan upah yang tidak memadai serta kurangnya fasilitas pendukung, terutama di daerah terpencil. Tenaga kesehatan hanya menerima sedikit atau bahkan tidak menerima sama sekali insentif untuk tinggal di daerah pedesaan, sehingga berdampak pada tingkat retensi.
Di sisi lain, migrasi turut memperparah kondisi kekurangan tenaga kesehatan. Dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah sering kali keluar untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik.
“Negara-negara ‘tujuan’ berpendapatan tinggi – seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia – juga bertanggung jawab merekrut tenaga kesehatan untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan di negara mereka, sehingga mengurangi jumlah tenaga kesehatan di beberapa negara paling rentan di dunia,” tulis perawat dan pekerja kemanusiaan Amanda McClelland dalam artikel Opininya yang diterbitkan CNN.
Perlu Intervensi Sistemik
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB Target 3.8 adalah mewujudkan cakupan kesehatan semesta. Menurut perkiraan WHO, cakupan kesehatan semesta baru akan tercapai jika terdapat 4,45 tenaga kesehatan per 1.000 orang. Sementara itu, saat ini, ada 55 negara yang mengalami defisit tenaga kesehatan.
Pada tahun 2016, WHO merilis “Strategi Global Sumber Daya Manusia untuk Kesehatan: Tenaga Kerja 2030” sebagai panduan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta melalui ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil. WHO juga menerbitkan dokumen yang memandu perjanjian migrasi dan mobilitas pekerja kesehatan.
Di tingkat nasional, pemerintah harus memobilisasi sumber daya dan investasi untuk meningkatkan fasilitas kesehatan, terutama di daerah pedesaan, dan memberikan insentif kepada pekerja dengan upah yang memadai dan jam kerja yang wajar. Pada akhirnya, penanganan masalah ini harus diprioritaskan, dan diperlukan intervensi sistemik untuk menciptakan sistem layanan kesehatan yang fungsional dan berkualitas untuk semua.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.