Meningkatnya Tren Perbaikan Barang Rusak di Dunia
Seiring berjalannya waktu, ada semakin banyak barang di dunia dan banyak di antaranya yang berakhir menjadi tumpukan sampah. Pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan merupakan akar persoalan ini, yang akhirnya menjadi beban bagi Bumi. Dengan ancaman polusi dan krisis iklim yang semakin nyata, transisi menuju ekonomi sirkular dapat menjadi langkah yang tepat. Dalam hal ini, meningkatnya tren untuk memperbaiki barang-barang rusak merupakan pertanda baik untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih baik.
Sampah yang Kian Menumpuk
Di dunia yang serba cepat, orang-orang lebih cenderung membuang barang-barang yang sedikit rusak dan lantas membeli yang baru. Perilaku ini memang dirancang agar produsen dapat menjual lebih banyak.
Di Uni Eropa saja, 35 juta ton sampah merupakan barang-barang konsumsi yang dibuang dini setiap tahunnya. Secara global, limbah elektronik (e-waste) adalah salah satu limbah yang tumbuh paling cepat, bahkan mencapai 62 juta ton pada tahun 2022. Celakanya, dari jumlah sebanyak itu, hanya 12% di antaranya yang didaur ulang, sehingga kerugian yang ditimbulkan sangat besar, mulai dari uang konsumen, sumber daya, hingga emisi gas rumah kaca.
Meningkatnya Tren Perbaikan Barang Rusak
Pada Oktober 2009, jurnalis Martine Postma menggagas Repair Café, sebuah konsep perbaikan komunitas (community repair) di Amsterdam, Belanda. Konsepnya sederhana: berkumpul bersama komunitas lokal dan bersama-sama memperbaiki barang-barang yang rusak. Sejak saat itu, kelompok dan kegiatan serupa bermunculan di berbagai belahan dunia.
“Perbaikan bukanlah suatu hal yang baru. Namun baru dalam 15 tahun ini semakin banyak orang yang bergabung dalam kegiatan perbaikan, baik di Repair Cafés maupun kelompok perbaikan lainnya, untuk mengatasi keusangan barang yang cepat dan terencana. Repair Café mengatasi produksi barang dan perangkat baru yang tidak perlu,” kata Andrea Baier dari Anstiftung Foundation.
“Dalam kegiatan ini, perbaikan adalah penolakan secara sadar terhadap budaya di mana produk didevaluasi oleh produk generasi baru segera setelah produk tersebut digunakan.”
Sebuah laporan dari Open Repair Alliance mendokumentasikan lebih dari 200.000 upaya perbaikan yang dilakukan oleh 1.158 kelompok community repair di 31 negara di seluruh dunia. Dari Agustus 2023 hingga Juli 2024 saja, terdapat hampir 70.000 upaya perbaikan barang elektronik dan elektrik. Orang-orang datang membawa penyedot debu, lampu, tablet, alat musik, pembuat kopi, dan banyak barang lainnya untuk diperbaiki bersama.
Namun, perbaikan komunitas ini tidak selalu sukses. Menurut data, inisiatif perbaikan komunitas dapat memperbaiki 53% barang yang dibawa. Tantangan paling besar berkisar antara tidak tersedianya suku cadang (25%) atau terlalu mahal (18%) hingga desain barang yang tidak dapat diperbaiki (16%).
Dukungan yang Lebih Baik
Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah sampah dunia masih dalam tahap awal. Sebagai contoh, Singapura mulai membangun sistem pengelolaan limbah elektronik berdasarkan pendekatan Extended Producer Responsibility (EPR) pada tahun 2020. Di Eropa, Hak untuk Memperbaiki baru dimulai pada tahun 2024.
Data dari kegiatan perbaikan komunitas menunjukkan bahwa barang yang tercakup dalam undang-undang Hak untuk Memperbaiki tidak sampai 4% jumlahnya. Banyak dari barang-barang tersebut berusia lebih dari 10 tahun. Wawasan ini menggarisbawahi perlunya pembuat kebijakan untuk lebih ambisius dan mencakup produk-produk yang sudah ada, bukan hanya produk-produk di masa depan.
Lebih lanjut, laporan Open Repair Alliance mencatat bahwa secara global, penekanannya terletak pada daur ulang. Penggunaan kembali dan perbaikan secara luas diakui lebih efisien dibandingkan daur ulang, namun tidak ada persyaratan yang mengikat untuk memprioritaskan penggunaan kembali. Pada akhirnya, pengurangan harus menjadi prioritas dalam transisi menuju ekonomi sirkular, diikuti dengan penggunaan kembali, lalu daur ulang. Meningkatnya tren perbaikan komunitas merupakan tanda bahwa masyarakat siap melakukan perubahan. Oleh karena itu, pemerintah dan dunia usaha harus bersedia dan mampu mendorong perubahan dan membuka jalan untuk semua.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.