Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Satwa Liar Bukan Hewan Peliharaan

Ada banyak alasan mengapa kepemilikan pribadi atas satwa liar tidaklah pantas.
Oleh Kresentia Madina
7 Juni 2022
seekor macan di balik kandang

Foto oleh Janosch Diggelmann on Unsplash

Pada 2011, sekawanan satwa liar lepas dari kandang dan berkeliaran di jalanan Zanesville, Ohio. Terry Thompson, sang pemilik, ditemukan meninggal dunia dengan tanda-tanda bunuh diri menggunakan pistol. Saat ditemukan polisi, jasadnya sedang dikunyah oleh salah satu harimau putih di halaman belakang rumahnya.

Pihak kepolisian akhirnya menembak hampir lima puluh ekor singa, beruang, serigala, dan satwa lain yang lepas, yang semula kepunyaan Thompson. Bahwa itu merupakan kasus besar yang terjadi karena situasi semakin kacau, peristiwa di Zanesville menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan memelihara satwa liar di rumah.

Thompson tentu bukan satu-satunya pemilik satwa eksotis di luar sana. Baru-baru ini, seorang selebritas Indonesia viral karena mengadopsi harimau sebagai hewan peliharaan. Pertanyaan pun mencuat: Bolehkah kita memelihara satwa liar sebagai hewan peliharaan? Lebih jauh lagi, haruskah kita mendorong kepemilikan pribadi atas satwa liar?

Sifat Alami Satwa Liar

Satwa liar secara umum merupakan hewan-hewan yang tidak dipelihara. Habitat asli mereka berada di alam bebas, tanpa kontak rutin dengan kegiatan manusia. Tetapi, ketika populasi manusia meningkat pesat, keanekaragaman hayati justru sebaliknya. Menyadari berkurangnya keanekaragaman hayati, konservasi hadir untuk menyelamatkan satwa yang terancam punah agar tidak musnah dari muka bumi.

Tidak seperti hewan peliharaan, satwa liar memiliki kebutuhan yang kompleks, yang bahkan para ilmuwan pun masih berupaya untuk memahaminya. Menurut Born Free UK, kebutuhan dasar satwa liar mencakup “lingkungan yang memadai, pola makan yang memadai, kebebasan untuk melakukan perilaku normal, kebutuhan sosial yang acap kali rumit, dan kebebasan dari rasa sakit, terluka, dan penyakit.” 

Memastikan kebutuhan satwa liar dapat dipenuhi adalah hal yang sangat sulit bagi para konservasionis, apalagi bagi para pemilik pribadi. Akan lebih mudah andaikan binatang-binatang tersebut bisa bicara tentang hal ini, tetapi sayangnya, mereka tidak bisa.

Tren, ketersediaan, dan perdagangan hewan peliharaan eksotis

seekor lemur
Pada 2021, ada lebih dari 150 sebagai hewan peliharaan di Inggris
Foto oleh Diana Parkhouse di Unsplash

Orang dibolehkan memiliki hewan peliharaan eksotis atas izin khusus. Contohnya, menurut The Dangerous Wild Animals Act 1976  (Undang-undang Satwa Liar Berbahaya 1976), warga negara Inggris harus memperoleh izin untuk hewan apa pun yang terdaftar dalam suatu periode menurut hukum tersebut, termasuk primata, beruang, reptil berbisa, dan kucing besar. Dalam survei 2021 oleh Born Free UK menyatakan bahwa hampir 4.000 satwa liar dipelihara sebagai hewan peliharaan, termasuk 61 kucing besar, lebih dari 150 lemur, dan 57 ular derik punggung berlian (Crotalus adamanteus).

Di Indonesia, orang diizinkan membawa pulang generasi ketiga hewan yang didapatkan dari penangkaran untuk tujuan konservasi. Apakah ini secara otomatis berarti kepemilikan pribadi atas nama konservasi satwa adalah hal yang pantas? Jawabannya tidaklah mudah. Banyak pembela hewan mempertimbangkan untuk mengizinkan kepemilikan pribadi hewan eksotis untuk melanggengkan keberadaan perdagangan hewan tersebut.

Adanya lonjakan permintaan hewan peliharaan eksotis, terutama karena media sosial menggambarkan betapa gampangnya memiliki mereka. Anda melihat video selebritas lokal yang bermain dengan harimau peliharaan mereka di rumah; lalu tiba-tiba saja, memiliki anjing golden retriever tidak lagi cukup. Ketika punya hewan peliharaan eksotis dinormaliasasi dan permintaan atasnya tinggi, ini beresiko bagi satwa liar yang masih tersisa untuk ditangkap bagi penangkaran, kemudian diperjualbelikan.

Resiko penyerangan dan penyakit 

monyet vervet
Seekor monyet vervet | Foto oleh Ivan Sabayuki di Unsplash

Anda dapat merenggut satwa-satwa tersebut dari alam liar, tetapi Anda tidak dapat menghilangkan kebuasan mereka. Meski telah biasa berinteraksi dengan manusia, satwa liar tetaplah memiliki gerak-gerik yang merupakan ancaman signifikan bagi manusia. Di Amerika Serikat, database Born Free USA mencatat lebih dari 1.800 insiden akibat hewan peliharaan eksotis.

Yang teranyar terjadi pada 9 September 2021, ketika seekor monyet vervet berusia lima tahun bernama Maliki diserahkan kepada suaka margasatwa setelah menggigit tangan pemiliknya dalam suatu situasi yang genting. Maliki telah dipelihara secara pribadi sebagai hewan peliharaan sejak masih bayi.

Selain itu, ada pula risiko penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh patogen (virus, bakteri, atau parasit) yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Penyakit-penyakit ini termasuk SARS, virus Ebola, dan cacar monyet. Diperkirakan bahwa penyakit zoonosis turut menyumbang 75% penyakit saat ini, dengan hewan non-domestik sebagai sumber asalnya.

Satwa liar seharusnya tetap hidup di alam liar

Ada banyak alasan mengapa kepemilikan pribadi atas hewan liar bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan keanekaragaman hayati saat ini. Pada akhirnya, seluruh upaya konservasi haruslah mengusahakan hewan-hewan tetap berada di habitat alami mereka. Satwa liar seharusnya hidup di alam liar, sebagaimana halnya manusia hidup dengan papan, sandang, dan ikatan dengan sesama manusia.

Namun, membahas konservasi hewan berarti menyadari bahwa belum ada satu jawaban pun bagi permasalahan ini. Perubahan iklim dan kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan hewan merupakan alasan mengapa konservasi hewan tetaplah hal yang menantang sekaligus ranah yang masih perlu dieksplorasi. Kita hanya dapat berharap akan hal terbaik yang dapat kita peroleh dengan pengetahuan yang kita miliki. 

Editor: Abul Muamar

Penerjemah: Gayatri W.M

Versi asli artikel ini diterbitkan dalam bahasa Inggris di platform media digital Green Network Asia – Internasional.

Kresentia Madina
Reporter at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.

  • Kresentia Madina
    https://greennetwork.id/author/kresentiamadina/
    Seruan untuk Aksi Iklim yang Lebih Kuat di KTT Iklim 2025
  • Kresentia Madina
    https://greennetwork.id/author/kresentiamadina/
    Bagaimana Laut Kaspia Menyusut Akibat Tekanan Perubahan Iklim
  • Kresentia Madina
    https://greennetwork.id/author/kresentiamadina/
    Menghentikan Penurunan Populasi Lebah Dunia
  • Kresentia Madina
    https://greennetwork.id/author/kresentiamadina/
    Menilik Risiko Iklim di Australia

Continue Reading

Sebelumnya: Grab, Pertumbuhan, dan Emisi Gas Rumah Kaca
Berikutnya: Laporan Deloitte 2022 Tunjukkan Bagaimana Eksekutif Menyikapi Perubahan Iklim

Lihat Konten GNA Lainnya

foto palu sidang berwarna coklat dan sebuah borgol yang tergelak di atas permukaan kayu Mekanisme Anti-SLAPP Lewat Putusan Sela: Harapan Baru bagi Pembela Lingkungan?
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mekanisme Anti-SLAPP Lewat Putusan Sela: Harapan Baru bagi Pembela Lingkungan?

Oleh Seftyana Khairunisa
21 Oktober 2025
Hutan rumput laut dengan sinar matahari yang menembus air Potensi Budidaya Rumput Laut untuk Aksi Iklim dan Ketahanan Masyarakat
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Potensi Budidaya Rumput Laut untuk Aksi Iklim dan Ketahanan Masyarakat

Oleh Attiatul Noor
21 Oktober 2025
tangan memutari bibit tanaman Mengarusutamakan Spiritualitas Ekologis dalam Praktik Keagamaan
  • GNA Knowledge Hub
  • Opini

Mengarusutamakan Spiritualitas Ekologis dalam Praktik Keagamaan

Oleh Polykarp Ulin Agan
20 Oktober 2025
Seseorang memberikan paper bag kepada orang lain Bagaimana Hong Kong dapat Membangun Kepercayaan Konsumen terhadap Keberlanjutan
  • GNA Knowledge Hub
  • Opini

Bagaimana Hong Kong dapat Membangun Kepercayaan Konsumen terhadap Keberlanjutan

Oleh Kun Tian
20 Oktober 2025
bangunan roboh Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia

Oleh Jalal
17 Oktober 2025
Empat tangan anak-anak yang saling berpegangan Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif

Oleh Andi Batara
17 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia