Tugas Tanpa Henti Zhang Junping: Dari Bekas Tambang Menjadi Tanah Permai
Zhang Junping adalah “Si Bodoh” yang berusaha mengubah Pegunungan Yuquan dari tambang yang terbengkalai menjadi sebuah surga permai. Kisahnya memulihkan lingkungan selama sepuluh tahun terakhir membuatnya dijuluki sebagai “Yugong Modern”, sosok serupa Sisifus dalam legenda Tionghoa yang menghabiskan sepanjang hidupnya berusaha menyingkirkan dua gunung yang menghalangi jalannya.
Datang dari sebuah desa bernama Shijiazhuang, Provinsi Hebei di Tiongkok Utara, Zhang bekerja sebagai penjaga hutan selama kurang lebih enam tahun sebelum akhirnya bergabung dengan tentara militer untuk area Taiyuan pada usia 19. Setahun setelah Zhang meninggalkan basis militer dan memilih tinggal di kota yang kemudian menjadi rumah keduanya, Zhang mulai mendirikan perusahaan pemanas. Bermodal sumber batu bara yang melimpah di area itu, ia menjadi sosok yang sukses di bidangnya.
“Perusahaan saya, seperti kebanyakan lainnya, telah mengotori kota dalam waktu yang sangat lama. Sudah waktunya bagi kami untuk menebus kesalahan dan membuat kota ini menjadi asri dan bersih kembali,” ujar Zhang. “Itulah yang kupikirkan saat itu.”
Hampir 20 tahun lalu, Provinsi Shanxi, penghasil batu bara terbesar di Tiongkok, merupakan wilayah terpolusi dengan lingkungan yang buruk. Tanahnya telah rusak akibat penambangan dan udaranya penuh dengan abu, jelaga, serta debu. Berupaya mewujudkan transformasi industri, pemerintah lokal mendesak industri yang berkaitan dengan batu bara untuk membangun perekonomian yang lebih hijau.
Pada 2009, pemerintah kota Taiyuan memutuskan untuk membuat program pemulihan ekosistem melalui modal sosial. Mereka mengumumkan rencana pembangunan 21 hutan taman suburban, dan mengajak para pelaku bisnis untuk “mengadopsi” area tersebut. Sebagai gantinya, perusahaan-perusahaan yang terlibat akan mendapatkan hak guna lahan hingga 20% untuk pengembangan bisnis begitu mereka menyelesaikan minimal 80% tugas penghijauan.
Tanpa pikir panjang, Zhang Junping “mengadopsi” pegunungan Yuquan.
Pada saat itu, penambangan batu bara dan gamping yang terus-menerus telah meninggalkan setidaknya 200 jejak lubang menganga. Area itu kemudian dijadikan sebagai tanah pembuangan sampah industri dan rumah tangga dengan tujuh TPA utama.
Tak lama kemudian, Zhang menyadari bahwa menanam pohon saja hanya akan mencapai sekitar 20% dari keseluruhan tugas. Banyak sekali yang harus dilakukan sebelum meletakkan bibit tanaman ke dalam lubang: meratakan permukaan bebatuan supaya para pekerja dan pohon-pohon dapat menemukan pijakan, membangun puluhan ribu titian dari papan kayu agar para pekerja tidak tergelincir, dan menggali kira-kira 60.000 lubang dengan mesin listrik.
Begitu tertanam, hampir seluruh bibit mati dalam dua tahun pertama akibat kekurangan air. Zhang kemudian memutuskan untuk membangun sistem irigasi. Setelah melewati begitu banyak uji coba, kini sistem irigasi sepanjang 420 kilometer telah terpasang di sana. Selain itu, sembilan waduk besar juga dibangun di bagian atas pegunungan untuk mendukung irigasi dan mencegah kebakaran hutan.
Menghijaukan pegunungan bukanlah tugas yang mudah. Sejauh ini, Zhang telah mengeluarkan 1,1 miliar yuan (setara $157,28 juta) dari kantong pribadinya untuk proyek ini. Kini ia memiliki hutang sebesar 100 juta yuan ($14,28 juta).
Liu Xiaolin, seorang akuntan di tim Zhang, menjelaskan bahwa di tahun 2010 untuk menanam satu pohon di sana saja memerlukan biaya sebesar 550 yuan ($78,64), yang mana sudah sepuluh kali lipat lebih tinggi dibandingkan harga di tempat lain. Sedikitnya 50 juta yuan ($7,14 juta) dibutuhkan untuk biaya perawatan dan peningkatan kualitas setiap tahunnya.
Zhang telah mengalami cedera dan terserang penyakit akibat pekerjaan beratnya di gunung. Ia juga sempat dijauhi oleh istri dan anak-anaknya akibat tak pulang ke rumah selama berbulan-bulan. Zhang mengaku beratus-ratus kali ingin menyerah, namun ia tetap bertahan.
Di tahun 2020, Zhang menyatakan bahwa mereka telah mencapai 70% dari target mereka, merawat kembali 190 tambang yang terbengkalai, dan membersihkan lima dari tujuh TPA. Pekerjaannya telah menambah luas lahan tanam yang mulanya kurang dari 30% menjadi kira-kira 70%. Zhang berencana menyelesaikan tugasnya dalam kurun lima tahun.
“Saya tidak menyesali apa yang sudah saya perbuat. Malahan, saya sangat bangga dengan apa yang telah saya capai,” kata Zhang.
Selama satu dekade terakhir, pegunungan yang tadinya tak terurus, kini telah berubah menjadi hutan taman seluas 13 km2. Area ini kemudian menjadi destinasi wisata yang populer untuk mengadakan pagelaran, acara tahunan, pertandingan lari maraton, dan menikmati pemandangan mekarnya bunga ceri dengan lebih dari 3 juta pengunjung setiap tahunnya. Pegunungan Yuquan kini ditumbuhi 5,5 juta bambu, sipres, bunga ceri, dan pohon plum.
Area ini juga menjadi tempat belajar mengajar untuk para guru dan murid dari berbagai tempat. Beberapa pemerintah lokal dari provinsi-provinsi sekitar telah menghubungi Zhang untuk mempelajari metode yang ia pakai dalam merawat dan menghijaukan area bekas tambang.
Zhang Junping sangat mengharapkan perubahan di masa depan. Ia yakin bahwa para turis dan pendanaan akan segera datang memenuhi area itu. Sambil menunggu, ia akan terus melakukan tugasnya.
Editor: Marlis Afridah
Penerjemah: Inez Kriya
Sumber: XinhuaNet and China Daily
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.