Mengubah Sistem Lingkungan Kerja: Cara Menciptakan Pekerjaan yang Layak untuk Semua
Dalam sepekan terakhir saja, telah terjadi puluhan aksi unjuk rasa oleh serikat pekerja dari berbagai sektor di berbagai belahan dunia, seperti di Afrika Selatan, Kanada, Amerika Serikat, India, dan berbagai wilayah di Eropa. Sistem lingkungan kerja yang ada selama ini kacau, dan Pandemi COVID-19 menyingkap benang merah kesalahannya. PHK besar-besaran di awal pandemi ini justru berlanjut dengan “Pengunduran Diri Besar-besaran”.
Saat dunia mulai bangkit dari dampak Pandemi COVID-19, kita mesti membuat perubahan dalam sistem lingkungan kerja. Ide ini sejalan dengan Tujuan 8 TPB/SDGs, “Pekerjaan yang Layak untuk Semua”. Kita membutuhkan sistem yang lebih baik dari sebelumnya, yang masih berjalan hingga sekarang.
Sean O’Brien, yang akan segera menjadi kepala International Brotherhood of Teamsters, menyatakan pentingnya negosiasi di situasi sekarang dalam sebuah wawancara dengan Allison Prang dari The Wall Street Journal. Dia mengatakan, “berbagai korporasi membuat rekor keuntungan di salah satu masa paling berbahaya yang mungkin kita saksikan. Sekarang saatnya untuk mengatakan, lihat, upah perlu mencerminkan apa yang dilakukan korporasi. Saya pikir kita perlu ‘menyerang’ di momentum yang tepat seperti sekarang. Saya sangat antusias dengan arah serikat pekerja. Saya senang dengan fakta bahwa orang-orang di luar sana sedang berjuang.”
Pembahasan mengenai kondisi lingkungan kerja juga sedang marak di media sosial. Orang-orang di Twitter membahas sinyal atau tanda peringatan alias “red flags” untuk berbagai daftar pekerjaan, berbagi hak dasar hukum bagi pekerja, dan bahkan saling mendorong untuk bertanya kepada organisasi atau pemberi kerja mengenai Respon Pandemi COVID-19 mereka dalam proses wawancara. Berita tentang aksi unjuk rasa massal di Korea Selatan yang dihadiri setengah juta pekerja menjadi viral di media sosial. Aksi itu menampilkan beberapa pekerja memakai kostum karakter Squid Game, serial Netflix yang sedang hangat baru-baru ini, yang mengeksplorasi efek dari sistem lingkungan kerja yang tidak adil, ketimpangan, dan utang.
Dari mana kita mesti memulai?
Perubahan paradigma adalah titik berangkat kita. Kesejahteraan pekerja adalah hak sekaligus investasi. Dunia, terutama sektor bisnis, mesti memandang pekerja atau karyawan sebagai mitra, bukan alat. Untuk mencari cara mengubah sistem lingkungan kerja, mendengarkan dan belajar dari apa yang dikatakan, dibutuhkan, dan dituntut oleh pekerja, sangatlah penting.
- Menaikkan upah minimum dan bayaran secara umum
Perjuangan untuk menaikkan upah minimum telah berlangsung selama beberapa dekade. Di tengah kenaikan biaya hidup yang cepat, upah minimum masih saja berlaku stagnan (atau naik tak seberapa) di banyak negara di seluruh dunia. Bahkan di tengah pandemi COVID-19, banyak perusahaan terus berusaha memaksimalkan keuntungan jangka pendek. Di saat yang sama, tidak sedikit pekerja harus melakoni dua hingga tiga pekerjaan sekaligus untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarga mereka. Kondisi tersebut menyebabkan mereka kelelahan hingga kemudian memilih berhenti; kondisi yang sama sekali tidak sehat untuk semua pihak yang terlibat, termasuk bagi perusahaan karena potensi biaya dari pergantian karyawan yang sangat besar. Membayar pekerja apa yang menjadi hak mereka adalah batas bawah untuk menciptakan kondisi kerja yang layak.
- Melampaui upah yang layak: Fokus pada kualitas hidup
Melampaui urusan upah–dan uang lembur–ada urusan kualitas hidup yang mesti dipikirkan. Faktor eksternal dalam kehidupan pekerja itu penting. Berbagai urusan perihal perawatan anak dan/atau lansia, ongkos perjalanan, kesehatan, dan kondisi hidup mesti menjadi pertimbangan penting tentang bagaimana perusahaan memperlakukan para pekerja, selain membayar mereka dengan layak. Berbagai penelitian menemukan bahwa sikap mendukung kehidupan keluarga pekerja yang dilakukan oleh manajemen perusahaan telah membantu menciptakan keseimbangan kehidupan dengan kerja (work-life balance) dan kesehatan, membawa para pekerja mencapai kepuasan kerja yang lebih tinggi, kinerja yang lebih baik, dan berkurang niat untuk mengundurkan diri. Masalah lainnya yang tidak kalah penting adalah soal banyaknya organisasi yang hanya menawarkan pekerjaan tidak tetap dan tidak penuh waktu demi menghindari tanggung jawab untuk memberikan manfaat tersebut kepada pekerja. Pekerja kontrak, karyawan paruh waktu, pekerja magang, dan bentuk pekerja lainnya juga berhak mendapatkan manfaat melampaui sekedar gaji yang layak.
- Mengganti kebijakan non-diskriminasi menjadi anti-diskriminasi
Di dunia yang penuh dengan praktik diskriminasi, bersikap tidak diskriminatif saja tidak cukup; kita mesti menjadi anti-diskriminasi. Banyak organisasi mengklaim menciptakan tempat kerja yang aman bagi semua orang tanpa memandang ras, jenis kelamin, disabilitas, seksualitas, usia, kondisi sosial ekonomi, dan faktor lainnya. Namun, hanya sedikit yang menerapkannya dengan tegas. Bahkan lebih sedikit lagi yang secara aktif bekerja menuju kesetaraan dan keadilan. Selain menegakkan kebijakan non-diskriminasi, organisasi juga mesti mengatasi adanya berbagai bias implisit dan mengubah budaya lingkungan kerja yang menghambat kemajuan perempuan, orang kulit berwarna, dan kelompok minoritas lainnya.
- Menawarkan fleksibilitas dan otonomi dalam praktik kerja
Sejak adanya pandemi COVID-19, kita diperkenalkan dengan berbagai macam kosakata baru seperti rapat Zoom dan sistem kerja hybrid. Bekerja jarak jauh tidak mengurangi produktivitas. Para pekerja menemukan berbagai praktik sistem kerja, dan sekarang mereka tahu model yang paling cocok untuk mereka. Sebagian pekerja lebih suka kerja jarak jauh, sebagian lebih suka sistem hybrid, dan sebagian lainnya ingin kembali ke kantor. Menawarkan fleksibilitas yang sesuai dengan kebutuhan pekerja untuk mencapai kinerja terbaik mereka adalah hal yang logis. Melampaui urusan fleksibilitas, sebuah artikel dari Harvard Business Review bahkan mendukung pentingnya otonomi. Intinya, pekerja membutuhkan ruang dan arahan terkait keduanya agar dapat bekerja dengan baik dan bertumbuh.
- Memberdayakan pekerja dengan literasi hukum
Di banyak negara, adalah hak bagi pekerja perempuan untuk mengambil satu atau dua hari libur karena nyeri haid. Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang diketahui secara luas. Literasi hukum, atau kesadaran hukum, akan memberdayakan pekerja untuk memahami hak dan kewajiban mereka, menuntut pemenuhannya, dan menghindari penyelewengan. Memahami mulai dari hal-hal dasar seperti menandatangani kontrak hingga memahami jargon hukum, akan membantu pekerja pada semua tingkatan.
- Memfasilitasi komunikasi yang aman dan terbuka
Unjuk rasa adalah cara yang dilakukan pekerja untuk menyampaikan tuntutan, agar didengar, dan memiliki kesempatan untuk menegosiasikan tuntutan mereka dengan perusahaan. Seringkali, aksi unjuk rasa berangkat dari keluhan dan kemarahan yang disebabkan oleh kesalahan dalam sistem kerja, dan diabaikan atau ditolak oleh manajemen untuk membicarakannya. Membuka saluran komunikasi yang aman bagi pekerja akan meningkatkan lingkungan dan budaya kerja secara signifikan. Ini adalah cara bagaimana perusahaan dapat menunjukkan kepada pekerja bahwa mereka dipandang sebagai mitra dan sesama pemangku kepentingan yang penting suaranya. Perusahaan mesti selalu bersedia dan terbuka untuk mendengarkan seraya meminimalkan potensi bias, belajar dari pekerja, dan melibatkan mereka untuk mengatasi masalah.
Editor: Marlis Afridah
Penerjemah: Abul Muamar
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.