Gelembung Hijau Olimpiade Tokyo 2020 (1): Desain Berkelanjutan
Olimpiade Tokyo 2020 baru saja berakhir, dan perhelatan ini disebut-sebut sebagai olimpiade paling berkelanjutan sepanjang sejarah. Acara olahraga terbesar di dunia ini tetap dilaksanakan meskipun jajak pendapat yang dibuka pada Mei lalu menunjukkan bahwa 83% warga Jepang menolak penyelenggaraannya di musim panas ini. Olimpiade Tokyo 2020 tetap berjalan di dalam gelembung yang tak hanya sangat hijau, tapi juga sangat aman.
Jepang telah menetapkan konsep keberlanjutan dalam Olimpiade Tokyo 2020 sebagai, “Be better, together – For the planet and the people“. Menjadi lebih baik, bersama-sama – Untuk bumi dan manusia. Mereka “akan mengambil inisiatif untuk mempersembahkan acara yang sesuai prinsip keberlanjutan dan menampilkan solusi bagi tantangan keberlanjutan global untuk orang-orang yang ada di Jepang dan di seluruh dunia.”
Mengusung lima tema utama keberlanjutan dan ditambah dengan Tokyo 2020 Sustainable Sourcing Code untuk memastikan penerapan keberlanjutan dalam seluruh rantai suplai kegiatan, Tokyo 2020 menunjukkan sebuah permulaan untuk Olimpiade yang lebih berkelanjutan.
View this post on Instagram
Pada bagian “bebas-sampah”, elemen kunci pada Olimpiade dibuat dari barang-barang daur ulang. Ranjang perorangan di dalam wilayah Olympics Village terbuat dari bahan kardus. Semuanya akan didaur ulang setelah acara, termasuk kasur yang digunakan.
Seragam untuk para pembawa obor dirancang khusus oleh Daisuke Obana dan terbuat dari bahan botol plastik Coca-Cola yang didaur ulang. Medali para pemenang terbuat dari logam mulia yang diolah kembali dari sampah elektronik. Podium atlet terbuat dari daur ulang sampah plastik yang dihasilkan oleh Procter & Gamble, perusahaan yang menduduki peringkat ke-7 penghasil limbah plastik, menurut Green Matters.
Obor Olimpiade, dirancang oleh Tokujin Yoshioka, terbuat dari limbah konstruksi rumah temporer yang digunakan pasca bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Fukushima di tahun 2011. Relai obor dan kuali yang menampung api Olimpiade dan Paralimpik menggunakan bahan bakar hidrogen dari pembangkit listrik tenaga surya Fukushima, yang juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di Olympic Village.
Alih-alih membangun gedung serba-baru sebagai sarana pertandingan, Olimpiade Tokyo 2020 justru mendirikan hanya delapan gedung yang dibangun dari nol menggunakan sumber bahan baku kayu berkelanjutan, sepuluh struktur bangunan temporer, dan 25 gedung yang sudah ada. Struktur-struktur bangunan ini nantinya akan difungsikan sebagai kota bertenaga hidrogen pertama di Jepang yang dilengkapi dengan sekolah, apartemen, pertokoan, dan fasilitas publik lainnya.
Olimpiade Tokyo 2020 juga menggunakan sebanyak mungkin energi terbarukan. Transportasi dalam wilayah Olympic Village, misalnya, didukung oleh serangkaian kendaraan yang sebagian besar bertenaga listrik atau kendaraan hibrida bebas emisi keluaran Toyota. Komite Olimpiade juga berencana membangun “Hutan Olimpiade”, yang terdiri dari 355.000 pepohonan spesies asli di Mali dan Senegal untuk melindungi wilayah tersebut dari kekeringan.
Masako Konishi, salah satu anggota komite keberlanjutan Olimpiade Tokyo 2020 sekaligus pimpinan proyek iklim dan energi di World Wildlife Fund Jepang, menyampaikan pada NPR bahwa penyelenggara Olimpiade telah mengumpulkan 150% kredit karbon yang diperlukan untuk meniadakan emisi gas rumah kaca dari Olimpiade, menjadikan perhelatan akbar ini karbon negatif.
Editor: Marlis Afridah
Penerjemah: Inez Kriya
Baca lanjutan artikel ini dengan judul Gelembung Hijau Olimpiade Tokyo 2020 (2): Kritik Keberlanjutan dan COVID-19.
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.