Krisis Pendidikan di Lebanon Tidak Kunjung Membaik
Pendidikan merupakan hak asasi manusia yang mendasar – sesuai yang tertera dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) – dan mungkin merupakan salah satu investasi yang paling berkelanjutan. Pendidikan adalah salah satu sarana paling kuat untuk meloloskan diri dari kemiskinan.
Seringkali diberikan untuk kalangan berprivilese, pendidikan masih sulit dijangkau oleh orang-orang yang paling membutuhkannya. Di Lebanon, para murid dan guru sedang berjuang di tengah krisis pendidikan.
Aksi Mogok
Mogok kerja yang dilakukan guru-guru di Lebanon dimulai pada 10 Januari 2022. Sekolah-sekolah negeri di Lebanon terpaksa ditutup saat para guru menggelar aksi protes untuk menuntut penyesuaian gaji yang lebih tinggi. Karena krisis ekonomi negara sedang berlangsung, harga-harga kebutuhan dan jasa melambung tinggi. Bahkan, terkadang hanya tersedia dalam dolar AS.
Sepanjang 2022, para guru melakukan aksi mogok secara sporadis. Namun, solusi yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Perguruan Tinggi Lebanon selalu berakhir dengan kegagalan atau menjadi tidak ada artinya di hadapan harga-harga yang kian meningkat.
Pada 9 Januari 2023, aksi mogok para guru kembali terjadi. Berdasarkan laporan Arab News, ratusan guru tidak menghadiri kelas, dan sebagian turun ke jalan untuk melakukan protes.
Ali Al-Dehni, seorang guru sekolah menengah atas, berkata, “Kami menderita selama tiga tahun karena janji-janji palsu dan insentif yang jarang turun.” Ia menambahkan, “Mengajar merupakan perjuangan yang berat, dan kami merogoh kantong pribadi untuk membeli bahan bakar supaya kami bisa berkendara ke sekolah-sekolah dan melaksanakan tugas kami.”
Yang Terdampak
Sekarang, sekolah-sekolah negeri di Lebanon tutup. Kelas-kelas pagi untuk murid-murid Lebanon harus ditutup karena gelombang protes dan mogok, dan Kementerian Pendidikan dan Perguruan Tinggi juga memutuskan untuk menghentikan kelas-kelas siang untuk murid-murid pengungsi asal Suriah.
Direktur Umum Pendidikan Imad Achkar mengatakan bahwa keputusan tersebut “diambil sesuai dengan prinsip kesetaraan.” Achkar mengatakan, “Kami menerima semua orang, dan hati kami terbuka untuk semua orang, namun sulit diterima ketika anak-anak dari luar Lebanon mendapatkan pendidikan sementara anak-anak kami sendiri tidak.”
Dengan keputusan ini, jumlah keseluruhan anak-anak yang sekarang tidak bersekolah di Lebanon mencapai lebih dari satu juta, menurut Save the Children. Seorang murid berumur sebelas tahun asal Lebanon utara merasa sangat sedih atas penutupan sekolah ini. Ia berkata, “Sekolah dulunya adalah tempat pelarianku, sekarang aku tidak punya tempat untuk pergi lagi. Aku takut akan masa depan.”
Seorang murid yang lebih tua, Mustafa Hussein (18), memahami situasi yang sedang terjadi. Ia bahkan menghadiri aksi protes untuk mendukung guru-gurunya. “Kami sedang melihat masa depan kami menghilang, namun kami tidak bisa menyalahkan para guru. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengajar kami setiap hari.”
Yang Mendesak
“Para guru di Lebanon kesulitan untuk menyambung hidup,” kata Firas, seorang guru kimia. “Pemerintah harus segera bertindak untuk menangani krisis pendidikan dan mendukung para pendidik yang bekerja tanpa lelah untuk mengajar anak-anak kami.”
Jennifer Moorehead, Direktur Save the Children di Lebanon, mendesak pemerintah untuk segera bertindak, mengingat pendidikan merupakan faktor krusial untuk pemulihan dan masa depan negara. “Mengembalikan anak-anak ke sekolah dengan selamat dan memastikan solusi berkelanjutan untuk kesejahteraan guru harus menjadi prioritas,” katanya.
Penerjemah: Kresentia Madina
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.