Kenalan dengan Greenwashing dan Cara Menghindarinya
Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Perubahan selalu menghadirkan tantangan, termasuk ketika arahnya menuju perbaikan. Di tengah perubahan iklim yang semakin memburuk dan maraknya tren untuk menyelamatkan Bumi, semakin sering kita melihat berbagai produk, layanan, dan gaya hidup yang diberi label “berkelanjutan” atau istilah-istilah sejenisnya. Sayangnya, greenwashing muncul di tengah tren ini.
Apa itu Greenwashing?
Riset pasar terkini menemukan bahwa orang bersedia membayar lebih tinggi untuk produk dan layanan yang lebih berkelanjutan. Dengan kesadaran publik akan perubahan iklim yang mencapai titik tertinggi, bisnis dan pemerintah pun merespons. Mereka mulai bersaing, mengklaim produk, layanan, dan program mereka “hijau” dan “ramah lingkungan”. Namun, 40% dari klaim ini tidak berdasar. Inilah yang disebut greenwashing.
Greenwashing adalah strategi pemasaran atau komunikasi untuk membuat sesuatu tampak lebih berkelanjutan dibanding kenyataannya. Sisi “hijau” dari greenwashing umumnya menyangkut soal lingkungan. Padahal, keberlanjutan bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga mencakup banyak aspek lain, seperti sosial dan ekonomi. Dengan demikian, klaim palsu tentang tanggung jawab sosial – yang terkadang juga disebut bluewashing – juga termasuk di dalamnya.
Pada dasarnya, greenwashing adalah kebohongan yang membahayakan planet Bumi dan penghuninya. Praktik ini berdampak negatif terhadap upaya kita dalam mewujudkan keberlanjutan. Sekali orang/konsumen merasa tertipu, mereka akan menjadi lebih skeptis dan tidak percaya pada kampanye dan solusi keberlanjutan, termasuk yang sungguhan. Lebih parahnya lagi, greenwashing dapat digunakan sebagai topeng bagi para pelaku bisnis untuk melanggengkan praktik business-as-usual mereka yang merusak.
Seperti apa bentuk greenwashing?
Ada beberapa ciri yang mesti kita perhatikan dalam mengenali greenwashing. Berikut beberapa contoh yang paling umum:
-
Kesan Pertama. Penggunaan citra alam, kemasan hijau, atau jargon-jargon keberlanjutan seperti “alami”, “ramah lingkungan”, dan “hijau”. Dalam praktik greenwashing, klaim-klaim ini tidak memiliki dasar atau bukti pendukung. Mereka bahkan mungkin menggunakan logo generik berbentuk daun dan tanah yang menunjukkan keberlanjutan tanpa makna yang sesungguhnya.
-
Tipu Daya. Menggencarkan promosi produk, praktik, atau inisiatif berkelanjutan untuk mengaburkan fakta aktivitas berbahaya/jahat yang membentuk sebagian besar praktik mereka. Misalnya, perusahaan yang menggunakan kemasan daur ulang namun membuang limbah beracunnya ke sungai; menerapkan praktik ramah lingkungan namun membayar pekerja dengan upah rendah; dan mempromosikan sebuah produk berkelanjutan sementara produk lainnya tetap berbahaya tanpa niat untuk berubah.
-
Impostor. Penggunaan ‘bukti’ dan sertifikasi yang lemah, bias, atau tidak berbasis sains untuk mendukung klaim keberlanjutan mereka. Label dan sertifikat yang terlihat resmi tidak selalu sah. Terkadang, perusahaan dan organisasi bahkan menipu atau membayar untuk mendapatkan kredensial.
- Beli Lagi dan Lagi. Promosi pilihan berkelanjutan yang mendorong konsumsi. Perlu diingat bahwa hal mendasar untuk mendukung produksi dan konsumsi berkelanjutan adalah dengan mengurangi (reduce). Berhati-hatilah terhadap saran gaya hidup, program, atau produk yang mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak, bahkan jika produk yang mereka tawarkan lebih ramah lingkungan.
- Handwashing – Menempatkan tanggung jawab terutama pada individu konsumen dan warga. Kita semua merasakan dampak perubahan iklim, namun porsi tanggung jawab kita tidaklah sama. Misalnya, orang-orang yang menggunakan kantong plastik di pasar tradisional dan perusahaan multinasional yang menghasilkan limbah berbahaya di seluruh dunia memiliki skala dampak yang berbeda terhadap lingkungan. Bagaimanapun, gaya hidup berkelanjutan hanya dapat menjadi arus utama jika didukung dengan baik oleh sistem.
Langkah yang Diperlukan
Diperlukan landasan sistemik untuk mengatasi praktik greenwashing. Sejauh ini, ada beberapa sertifikasi keberlanjutan untuk berbagai sektor. Namun, itu saja tidak cukup. Diperlukan kerangka sistemik untuk mengatasi greenwashing. Pemerintah punya tanggung jawab untuk membuat undang-undang dan hukum yang kuat untuk mengatasi greenwashing di tingkat industri.
Bagi bisnis, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi kebutuhan minimum. Pelaporan keberlanjutan, pengungkapan BHR+E, dan kerangka kerja sejenisnya memungkinkan semua pemangku kepentingan—termasuk konsumen—untuk mengambil keputusan yang terinformasi. Menerbitkan laporan ini belum diwajibkan di mana-mana, tetapi pemerintah dapat memutuskan untuk mewajibkannya bagi perusahaan. Kenyataannya, semakin banyak pemerintah negara-negara di dunia yang melakukannya.
Terakhir, langkah paling sederhana untuk mengatasi greenwashing adalah meningkatkan kesadaran. Kebanyakan orang ingin menjadi lebih berkelanjutan tetapi tidak tahu bagaimana melakukannya dengan benar. Edukasi publik, kampanye, dan bahkan sesuatu yang semudah membicarakannya dengan rekan-rekan di komunitas Anda dapat membantu. Greenwashing mungkin merupakan sisi gelap di tengah tren keberlanjutan. Namun, hal itu tidak boleh menghentikan kita untuk mencari solusi dan mencoba berbuat lebih baik bagi keberlangsungan manusia dan planet Bumi.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member SekarangNaz adalah Manajer Publikasi Digital Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.

Obat Manjur bagi Kegelisahan Para CEO
Membangun Pendekatan Strategis untuk Dukung Kesehatan Perkotaan
Memahami dan Mendorong Transformasi Keberlanjutan Perusahaan: Belajar dari Makalah Nurani, dkk (2025)
Memahami dan Mengatasi Deprivasi Anak Multidimensi
Perkembangan dan Tantangan Produksi Hidrogen Hijau di Indonesia
IS2P Gelar Pelatihan untuk Jurnalis, “Membaca Laporan Keberlanjutan: Dari Data Jadi Berita”