Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dengan Perspektif Korban
Keamanan dan kedamaian adalah hak dasar setiap orang. Namun, selama berabad-abad lamanya, perempuan dan anak perempuan masih rentan mengalami kekerasan. Di lingkungan keluarga terdekat, tempat kerja, hingga ruang virtual, kekerasan terhadap perempuan terus terjadi. Yang menyedihkan, para korban seringkali tidak memiliki daya dan ruang untuk bangkit.
Nestapa Para Korban
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Sekitar satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami pelecehan fisik dan seksual, seringkali oleh pasangan sendiri. UNICEF menyatakan bahwa sedikitnya 14.200 anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual antara tahun 2005 hingga 2020.
Mengalami pelecehan atau kekerasan seksual dapat membuat seorang perempuan kehilangan seluruh hidupnya. Korban kekerasan seksual umumnya menderita berbagai dampak fisik dan mental seperti kehamilan yang tidak diinginkan, tertular HIV, gangguan stres pasca-trauma/post-traumatic stress disorder (PTSD), dan pikiran untuk bunuh diri. Nyaris mustahil membiarkan mereka sendirian.
Sayangnya, tidak jarang para korban menghindari bantuan. Budaya menyalahkan korban dan stigma sosial seringkali membuat para korban sulit untuk bangkit karena takut dipermalukan atau dikucilkan dari masyarakat. Dalam beberapa kasus, para korban dipaksa untuk menikah dengan pelakunya sebagai bentuk “penyelesaian”. Banyak pula korban yang bahkan tidak memiliki akses bantuan sama sekali, menempatkan mereka pada jurang kemiskinan, terisolasi, dan rentan mengalami kekerasan lainnya.
Pendekatan dengan Perspektif Korban
Perlu pendekatan yang berorientasi pada korban untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka untuk menjalani hidup setelah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Pendekatan ini bertujuan untuk memberdayakan para korban dengan memprioritaskan hak, kebutuhan, dan keinginan mereka. Dengan kata lain, pendekatan ini memastikan akses layanan yang tepat, mudah dijangkau, dan berkualitas baik bagi mereka, termasuk akses kesehatan, dukungan psikologis dan sosial, keamanan, dan layanan hukum.
Yang paling utama dari pendekatan ini adalah mengembalikan hak pilih, martabat, dan kehormatan para korban. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pelaku pendampingan, termasuk bantuan hukum dan konselor, untuk memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai untuk memprioritaskan pengalaman dan masukan dari korban. Dalam pembuatan undang-undang, perspektif korban juga sangat penting untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
“Sangatlah penting untuk berbicara dengan para korban dan bertanya secara terbuka kepada mereka apa yang akan membuat hidup mereka lebih mudah. Kita tanyakan kepada mereka hukum seperti apa yang akan membuat mereka merasa lebih aman, dan meminta pertanggungjawaban pelaku, untuk mengetahui apakah hubungan antara pelaku dan korban dapat berlanjut, terutama dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga,” kata Lori Flohaug, Direktur Hukum dan Kebijakan Global Rights for Women.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang luas dan kompleks. Namun, satu hal yang pasti: setiap perempuan dan anak perempuan berhak hidup aman dan damai tanpa rasa takut. Perhatian dan bimbingan bagi para korban di setiap lapisan masyarakat adalah hal yang sangat penting. Dan yang paling penting, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi tujuan utama. Tindakan pencegahan dan mitigasi dengan perspektif korban kiranya dapat membawa kita selangkah lebih maju dalam mewujudkan kehidupan yang aman bagi semua orang.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.