Singapura Resmi Tetapkan 16 Spesies Serangga sebagai Sumber Makanan
Dalam film Snowpiercer, ada adegan dimana sang protagonis dan kelompoknya tahu kalau protein bar yang sedang mereka makan terbuat dari kecoa. Adegan tersebut bermaksud untuk menimbulkan rasa jijik dan marah, tapi tahukah Anda bahwa setidaknya ada 2.205 spesies serangga di seluruh dunia yang dikonsumsi manusia sebagai makanan? Di tengah meningkatnya permintaan pangan sementara sumber daya alam terus menyusut, penelitian gencar memperkenalkan serangga sebagai sumber protein berkelanjutan. Di Singapura, 16 spesies serangga kini resmi ditetapkan sebagai makanan untuk dikonsumsi manusia.
Serangga sebagai Sumber Pangan Berkelanjutan
Di berbagai belahan dunia, ada banyak orang yang memakan serangga, termasuk di Indonesia. Beberapa serangga yang paling umum dikonsumsi adalah belalang, jangkrik, kumbang, ulat, lebah, dan semut. Konsumsi serangga, yang disebut entomofagi, sangat dipengaruhi oleh praktik budaya dan agama serta kondisi geofisika.
Orang-orang yang tinggal di wilayah tropis umumnya mengonsumsi lebih banyak serangga karena jumlah dan aneka spesies serangga yang lebih besar dan ada sepanjang tahun dibandingkan wilayah dengan iklim dingin dan sedang. Orang-orang di daerah tropis juga lebih banyak hidup di alam dibandingkan dengan orang-orang di daerah yang lebih dingin.
Sebagian besar budaya Barat menganggap memakan serangga sebagai hal primitif, biadab, dan menjijikkan. Sikap ini mengakibatkan keengganan untuk mempelajari dan mendanai penelitian untuk melihat potensi serangga sebagai sumber pangan berkualitas tinggi dan berkelanjutan di tengah pemanasan global, menurunnya keanekaragaman hayati, menipisnya ketersediaan lahan, dan semakin tingginya kerawanan pangan.
“Protein serangga sangat mirip dengan protein hewani karena mengandung semua asam amino, tinggi antioksidan, tinggi mikronutrien, dan merupakan sumber nutrisi yang lebih baik daripada banyak protein nabati,” kata Nick Rousseau, founder UK Edible Insect Association. “Tetapi, serangga juga dapat memakan limbah, memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih kecil, tidak menggunakan banyak air atau tanah, dan mereka tidak mengeluarkan gas metana seperti hewan ternak.”
Diperkirakan, gas rumah kaca dari produksi protein serangga 1.800 kali lebih sedikit dibandingkan produksi daging sapi dan 700 kali lebih sedikit dibandingkan produksi daging babi.
16 Spesies Serangga yang Dapat Dimakan di Singapura
Badan Pangan Singapura (SFA) telah memulai pembahasan terbuka mengenai konsumsi serangga pada tahun 2022. Pada Juli 2024, negara tetangga itu resmi menyepakati 16 spesies serangga untuk konsumsi manusia. Dalam pedoman yang ditetapkan, Singapura merinci tahapan kehidupan spesifik yang diizinkan untuk tiap-tiap spesies. Belalang, jangkrik, lebah, ulat sutera, dan ulat bambu adalah beberapa spesies serangga yang disepakati.
Pemerintah Singapura juga akan mengizinkan impor serangga hidup serta produk yang mengandung serangga sebagai bahan makanan, seperti pasta, kerupuk, dan snack bar. Dalam hal ini, SFA telah menyediakan peraturan dan persyaratan yang ketat untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan makanan.
Beberapa pelaku industri di sektor makanan dan minuman telah bersiap untuk merambah pasar baru ini dengan mantap. Sebagai contoh, restoran House of Seafood siap menyajikan 30 hidangan serangga dari daftar menu mereka. Altimate Nutrition, sebuah perusahaan produk makanan serangga, menawarkan protein bar berbahan dasar jangkrik.
Kebijakan dan Pendidikan
Sebelum penetapan resmi ini, Altimate Nutrition telah mengadakan workshop dan sosialisasi di hampir seratus sekolah dan melakukan survei setelahnya. Hasilnya, sekitar 80% siswa bersedia mencoba memakan serangga. Memang, segala sesuatu yang baru mungkin menakutkan, termasuk menjadikan serangga sebagai menu sehari-hari.
Selain penetapan resmi, pengarusutamaan serangga sebagai sumber protein alternatif yang aman dan berkelanjutan memerlukan pendidikan ekstensif dan upaya pemasaran dari pemerintah dan sektor swasta. Sejauh ini, masih harus dilihat apakah serangga dapat berkontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca, sistem pangan yang berkelanjutan, dan ketahanan pangan untuk semua.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.