Deklarasi E-sak Ka Ou Serukan Pengakuan terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat dan Aksi Iklim
Foto: Dani Aláez di Unsplash.
Degradasi lingkungan dalam beberapa dekade terakhir telah membuat dunia kembali mengakui peran krusial Masyarakat Adat sebagai pengelola dan pelestari alam. Terkait hal ini, Komunitas Adat di Asia meluncurkan Deklarasi E-sak Ka Ou, yang membahas hak-hak Masyarakat Adat dan aksi iklim.
Deklarasi E-sak Ka Ou
Secara harfiah, “E-sak Ka Ou” berarti insang pari Manta. Ini adalah istilah yang digunakan oleh suku Urak Lawoi yang mengacu pada tempat nenek moyang mereka pertama kali membangun kehidupan di Pulau Lanta di Krabi, Thailand. Provinsi Krabi juga menjadi tempat Deklarasi E-sak Ka Ou disusun pada Konferensi Regional Asia tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, Keanekaragaman Hayati, dan Perubahan Iklim pada November 2023.
Deklarasi ini melibatkan 47 delegasi yang mewakili masyarakat adat dan organisasi pembangunan dari 11 negara. Daftarnya mencakup Pakta Masyarakat Adat Asia (AIPP), Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Adat (CIPRED), Federasi Perempuan Adat Nasional (NIWF), dan lain-lain.
Singkatnya, Deklarasi E-sak Ka Ou adalah “pernyataan posisi kolektif kita sebagai Masyarakat Adat dalam mencari solusi kolaboratif atas isu dan permasalahan mendesak yang kita dan seluruh umat manusia hadapi.”
Masyarakat Adat dan Aksi Iklim
Dokumen Deklarasi E-sak Ka Ou dibuka dengan pembukaan dari Joni Odochau, “Hidup dan tanah adalah sama.”
Pada dasarnya, Deklarasi E-sak Ka Ou menyerukan pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat sehingga mereka dapat memenuhi peran mereka dalam menjaga manusia, Bumi, dan warisan budaya mereka.
Deklarasi ini menekankan perlunya pendekatan menyeluruh masyarakat dalam aksi iklim. Hal ini mencakup partisipasi Masyarakat Adat yang efektif dan bermakna dalam pengambilan keputusan terkait perubahan iklim dan keanekaragaman hayati.
Hal ini memerlukan pembentukan ruang khusus bagi Masyarakat Adat – termasuk perempuan, pemuda, dan difabel – di tingkat pembuatan kebijakan, seperti dalam pengembangan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional (NBSAP). Ruang ini juga akan diperluas hingga implementasi, pemantauan, dan pelaporan.
Lebih lanjut, Deklarasi ini menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas. Hal ini juga menuntut dukungan untuk pengasuhan dan transfer pengetahuan masyarakat adat antargenerasi pada masyarakat mereka sendiri serta keseimbangan ekologi dan lingkungan.
Transformasi Kerangka Kerja
Meskipun Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal telah diadopsi, Deklarasi ini mencatat bahwa undang-undang dan kerangka kerja nasional mengenai kawasan lindung masih memegang “warisan kolonial dari pendekatan benteng terhadap konservasi.” Praktik-praktik ini sebagian besar gagal mengakui kepemilikan masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya. Akibatnya, mereka cenderung melanggar hak-hak Masyarakat Adat, mengkriminalisasi para pembela HAM, menggusur komunitas Adat, dan mengabaikan praktik konservasi Adat.
Oleh karena itu, kerangka kerja yang ada mengenai aksi iklim dan keanekaragaman hayati harus diubah untuk mengatasi dampak buruk yang ditimbulkan terhadap masyarakat adat di seluruh dunia dan memastikan partisipasi aktif mereka. Deklarasi ini juga menyerukan pembentukan mekanisme pendanaan yang akan mendukung upaya-upaya ini, termasuk dana khusus untuk kerugian dan kerusakan parah ekonomi dan non-ekonomi yang dialami Masyarakat Adat akibat perubahan iklim.
Dokumen selengkapnya dapat dibaca di sini.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Di tengah tantangan global yang semakin kompleks saat ini, membekali diri, tim, dan komunitas dengan wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bukan lagi pilihan — melainkan kebutuhan strategis untuk tetap terdepan dan relevan.
Join SekarangNaz is the Manager of International Digital Publications at Green Network Asia. She is an experienced and passionate writer, editor, proofreader, translator, and creative designer with over a decade of portfolio. Her history of living in multiple areas across Southeast Asia and studying Urban and Regional Planning exposed her to diverse peoples and cultures, enriching her perspectives and sharpening her intersectionality mindset in her storytelling and advocacy on sustainability-related issues and sustainable development.

Sehat Tidak Harus Mahal: Pangan Lokal untuk Pola Makan Sehat yang Lebih Terjangkau
Hilangnya Gletser di Seluruh Dunia dengan Laju yang Kian Mengkhawatirkan
Ekspansi Pertambangan di Kawasan Hutan dan Menakar Efektivitas Pemberlakuan Denda
Memahami Dampak Kenaikan Suhu terhadap Perkembangan Anak Usia Dini
Sinar Mas Land dan Waste4Change Hadirkan Rumah Pemulihan Material (RPM), Dorong Pengelolaan Sampah Bertanggung Jawab di Tangerang
Upah Layak sebagai Hak: Pentingnya Mengubah Paradigma dalam Sistem Pengupahan