Mengulik Dampak Lingkungan Konflik Bersenjata
Dalam konflik bersenjata, kehidupan manusia selalu menjadi korban utama. Namun, konflik bersenjata juga berdampak terhadap berbagai aspek lain, seperti ekonomi, budaya, hingga lingkungan. Dalam 60 hari pertama serangan Israel di Gaza, Palestina, emisi yang dihasilkan diperkirakan melampaui emisi tahunan dari 20 negara dan wilayah. Perhitungan ini belum termasuk jejak karbon dari infrastruktur yang dibangun.
Dampak Lingkungan Konflik Bersenjata
Dampak lingkungan akibat konflik bersenjata sangat besar dan berjangka panjang. Berikut beberapa dampak konflik bersenjata terhadap Bumi:
- Eksploitasi Sumber Daya Alam
Konflik bersenjata mencakup persenjataan, amunisi, infrastruktur, kendaraan militer, dan lain-lain. Pada masa persiapan, kebutuhan bahan baku yang berasal dari alam meningkat. Hal ini dapat memperluas deforestasi dan aktivitas penambangan yang berlebihan. Eksploitasi sumber daya alam biasanya melampaui batas negara karena sumber daya alam merupakan bagian yang menguntungkan dalam perdagangan internasional.
Selain itu, militer memerlukan wilayah darat dan laut yang luas untuk dijadikan pangkalan dan tempat latihan. Pembangunan infrastruktur ini seringkali mengganggu ekosistem, dan penggunaannya memperparah kerusakan akibat pelepasan bahan kimia dan polutan dari senjata dan kendaraan militer.
- Emisi Gas Rumah Kaca
Menurut Conflict and Environment Observatory (CEOBS), militer bertanggung jawab atas 5,5% dari seluruh emisi gas rumah kaca secara global. Angka ini bahkan mungkin terlalu rendah karena kurangnya transparansi dari pihak militer.
Salah satu sumber emisi langsung terbesar dari konflik bersenjata adalah bahan bakar fosil atau solar untuk mengoperasikan pesawat terbang, kapal angkatan laut, dan tank. Ada juga emisi dari senjata yang digunakan, seperti misil dan bom. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa jejak karbon aktivitas militer tidak hanya berasal dari emisi langsungnya, tetapi juga dari seluruh rantai pasok militer.
- Penurunan Keanekaragaman Hayati
Hewan, tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya juga menjadi korban konflik bersenjata. Perusakan habitat menyebabkan kematian banyak hewan dan tumbuhan. Antara tahun 1946 hingga 2010, misalnya, jumlah satwa liar menurun di kawasan lindung Afrika yang terkena dampak konflik bersenjata. Di lautan, hewan laut menderita akibat latihan angkatan laut, dimana penyakit dekompresi dan trauma akustik menjadi patologi yang umum.
Dalam konflik bersenjata, kekerasan bukan satu-satunya ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Kelaparan dan pengungsian juga merupakan masalah yang dapat memicu konflik antara manusia dan satwa liar. Di Sudan Selatan, kelompok bersenjata non-negara, pasukan pemerintah, dan bahkan warga sipil membunuh hewan-hewan liar untuk bertahan hidup saat mereka bergulat dengan kelaparan.
- Kerusakan Ekosistem dalam Jangka Panjang
Limbah kimia dan polutan dari konflik bersenjata akan tertinggal di alam jauh setelah konflik tersebut berakhir. Selain merusak alam, hal tersebut juga berdampak pada orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada alam selama beberapa generasi mendatang.
Misalnya, tiga dekade setelah perang Iran-Irak, terjadi peningkatan konsentrasi unsur-unsur beracun seperti kromium, timbal, dan antimon semi-logam di tanah bekas medan perang, demikian menurut sebuah penelitian. Contoh lainnya adalah setelah Perang Dunia II, diperkirakan 40.000 ton amunisi kimia dibuang ke Laut Baltik. Para peneliti menemukan jejak zat yang mengandung arsenik dan produk gas mustard dalam sedimen dan ikan di dekat tiga lokasi pembuangan senjata
Akuntabilitas, Penegakan, dan Pembangunan Perdamaian
Militer dan kekuatan pertahanan tidak terikat oleh perjanjian iklim internasional untuk melaporkan atau mengurangi emisi karbon mereka. Hal ini terjadi karena emisi militer tidak disertakan dalam Protokol Kyoto 1997 tentang pengurangan gas rumah kaca, dan juga dikecualikan dari Perjanjian Paris tahun 2015. Faktanya, emisi militer dan konflik secara resmi dibahas untuk pertama kalinya dalam COP27 setelah invasi Rusia ke wilayah Ukraina.
Untuk itu, penguatan komitmen internasional dan tindakan konkret untuk menjaga lingkungan di tengah konflik merupakan sebuah urgensi. Hal ini termasuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari badan-badan militeristik dan kekuatan pertahanan.
Menghentikan pemanasan global dan mengurangi emisi juga memerlukan pertimbangan dampak lingkungan dari konflik bersenjata. Tentunya, lingkungan bukanlah satu-satunya fokus dalam konflik bersenjata. Manusia, perdamaian, kemakmuran, dan keberlanjutan Bumi juga tidak kalah pentingnya. Karena itu, pendekatan holistik yang dapat mengatasi semuanya dalam upaya pembangunan perdamaian sangatlah penting.
Perdamaian adalah prasyarat pembangunan. Oleh karena itu, mengatasi akar penyebab konflik bersenjata sangat penting untuk mengakhiri penderitaan yang diakibatkannya dan menciptakan ruang bagi pembangunan berkelanjutan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.