2024 Jadi Tahun Terpanas Akibat Emisi Karbon yang Terus Meningkat
Pada Januari 2024, para ilmuwan menyatakan tahun 2023 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. Seharusnya, kabar tersebut menjadi peringatan untuk mengerem emisi karbon. Namun, yang terjadi tidak demikian: emisi karbon terus meningkat dan menyebabkan suhu kembali memecahkan rekor pada tahun 2024.
Emisi Karbon yang Terus Meningkat
Perubahan iklim telah menjadi salah satu masalah paling mendesak di dunia selama ini. Namun, emisi gas rumah kaca masih terus meningkat sekalipun negara-negara telah menyepakati perjanjian global untuk membatasi kenaikan suhu.
Laporan perkembangan iklim Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengungkapkan bahwa konsentrasi tiga gas rumah kaca utama (karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida) mencapai rekor tertinggi pada tahun 2023. Emisi metana mengalami peningkatan terbesar sebesar 165% dibandingkan tingkat pra-industri, diikuti oleh karbon dioksida (51%) dan dinitrogen oksida (24%). Data real-time menunjukkan bahwa tren ini akan berlanjut pada tahun 2024.
Menurut data yang dicatat oleh Copernicus Climate Change Service, suhu rata-rata global antara November 2023 hingga Oktober 2024 diperkirakan mencapai 1,62°C di atas rata-rata suhu pra-industri pada tahun 1850-1900. Suhu pada 10 bulan pertama 2024 saja lebih panas 0,16°C dibandingkan tahun 2023. Hal ini menunjukkan indikasi yang cukup jelas bahwa tahun 2024 akan melampaui tahun 2023 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat.
Efek Riak
Ketika cuaca menjadi terlalu panas, bukan berarti kita tinggal menghidupkan AC hingga mentok ke angka paling dingin. Sebab, hal ini juga akan memicu reaksi berantai di seluruh dunia, terutama di lingkungan alam.
Pemanasan laut yang cepat telah memberikan kontribusi signifikan terhadap naiknya permukaan laut dan mencairnya gletser, sehingga meningkatkan kewaspadaan bagi masyarakat pesisir. Laporan WMO mencatat bahwa rata-rata permukaan laut global naik dua kali lebih cepat dibandingkan dekade sebelumnya, yaitu sebesar 4,77 mm per tahun dari tahun 2014 hingga 2023. Sementara itu, gletser kehilangan 1,2 meter es pada tahun 2023, setara dengan lima kali lipat volume air di Laut Mati.
Bencana lain yang disebabkan oleh iklim adalah kekeringan, gelombang panas, dan kebakaran hutan, yang semuanya terjadi lebih sering dan lebih parah. Akibatnya, kejadian-kejadian ekstrem ini dapat memperburuk kerawanan pangan, menyebabkan pengungsian dan migrasi besar-besaran, dan menghambat kemajuan dalam pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan.
Peringatan bagi Para Penguasa
Keadaan iklim saat ini jelas berlawanan arah dengan apa yang diharapkan dapat dicapai hampir 10 tahun setelah Perjanjian Paris. Namun, hal ini tidak berarti bahwa seluruh upaya untuk mengurangi emisi karbon dan membatasi pemanasan global sia-sia dan hilang semua harapan.
“Karena pemanasan bulanan dan tahunan untuk sementara melampaui 1,5°C, penting untuk ditekankan bahwa hal ini tidak berarti bahwa kita gagal memenuhi tujuan Perjanjian Paris untuk menjaga kenaikan suhu permukaan rata-rata global jangka panjang jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan mengupayakan upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C,” kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo.
Pada akhirnya, kondisi ini harus menjadi peringatan bagi mereka yang duduk di tampuk kekuasaan agar tidak melupakan pentingnya mengatasi perubahan iklim. Mengambil langkah tegas untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan mengoptimalkan energi terbarukan, serta meningkatkan sistem peringatan dini dan upaya mitigasi bencana, harus diprioritaskan oleh para pemangku kepentingan di semua tingkatan dan sektor untuk mencapai perubahan nyata.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.