Konferensi Kelautan: Hukum Internasional, Pembiayaan, dan Kerangka Kerja Berbasis Sains untuk Negara Berkembang Pulau Kecil
Kita tahu bahwa 71% permukaan bumi adalah lautan. Bagi sebagian negara, sumber daya laut dianggap sebagai potensi yang belum dimanfaatkan selain sumber daya daratannya. Namun, bagi sebagian negara lainnya, laut adalah satu-satunya tumpuan kehidupan mereka.
Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2022 digelar di Lisbon, Portugal, pada 27 Juni – 1 Juli. Salah satu dialog membahas ekonomi kelautan berkelanjutan untuk Negara-negara Berkembang Kepulauan Kecil (Small Islands Developing States/SIDS).
Ekonomi kelautan berkelanjutan untuk SIDS
SIDS merupakan negara berkembang yang wilayahnya berupa pulau-pulau kecil. Saat ini, 58 negara masuk dalam kategori SIDS, yang terletak di Karibia, Pasifik, dan Atlantik, Samudra Hindia, dan Laut Cina Selatan (AIS).
Rata-rata, wilayah laut SIDS 28 kali lebih besar dari daratannya. Negara-negara tersebut lebih mengandalkan sumber daya laut untuk mendukung ekonomi mereka. Namun, karena lokasinya yang terpencil dan alternatif sumber daya yang minim, ketergantungan mereka pada laut membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Dengan kondisi planet kita saat ini, mengatasi masalah tersebut menjadi sangat penting. Konferensi bertajuk “Mempromosikan dan memperkuat ekonomi berbasis kelautan yang berkelanjutan, khususnya untuk Negara Berkembang Pulau Kecil dan Negara Tertinggal” menampilkan perwakilan dari 45 negara.
SIDS serukan upaya kolektif
Dari 45 perwakilan, 17 di antaranya mewakili SIDS. Mereka berbagi cerita, wawasan, dan tuntutan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi lautan kita. Perwakilan dari Seychelles dan São Tomé dan Príncipe memandang konferensi ini sebagai kesempatan yang sangat baik untuk berdialog dan membentuk kemitraan bilateral dan multilateral.
Sebagian besar perwakilan SIDS menekankan ketergantungan negara mereka pada laut. Abraão Vicente, Menteri Kelautan Cabo Verde, menyatakan bahwa negaranya diliputi 99% laut. Kondisi geografis tersebut menjadi sumber pertumbuhan ekonomi sekaligus kerentanan multidimensi.
“Kerentanan diperburuk oleh krisis yang dihadapi dunia; krisis iklim, pandemi COVID-19, krisis energi, inflasi yang disebabkan oleh perang di Ukraina. SIDS adalah beberapa negara yang paling terkena dampak krisis ini, termasuk Cabo Verde, terutama di bidang ekonomi,” ujarnya.
Saat SIDS memiliki inisiatif sendiri, kurangnya bantuan keuangan dan kelembagaan menjadi kendala utama mereka. Oleh karena itu, mayoritas SIDS percaya bahwa kemitraan dan upaya kolektif dalam menciptakan hukum internasional, bantuan keuangan, dan kerangka kerja berbasis ilmu pengetahuan adalah kunci untuk mengembangkan ekonomi dan praktik kelautan yang berkelanjutan.
Lautan adalah masa depan
Dunia saat ini berada pada titik kritis, dan dampaknya akan menjadi bencana jika kita tidak bertindak cepat. Mengingat bahwa lautan menghubungkan kita semua, krisis ini akan berdampak signifikan bagi kita. Menggaungkan tema Hari Laut Sedunia dan perwakilan SIDS, negara-negara dunia harus mulai bergandengan tangan untuk membangun aturan, teknologi, dan bantuan kolektif untuk laut yang lebih berkelanjutan.
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Asisten Manajer Program di Green Network Asia. Dia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia dengan dua tahun pengalaman profesional dalam editorial, penelitian, dan penciptaan konten kreatif.