Drh. Sugeng Dwi Hastono: Dedikasi Merawat Satwa Liar Sumatra
Binatang adalah salah satu bagian penting dari keanekaragaman hayati kita. Dalam upaya mencapai masa depan yang lebih baik, keanekaragaman ini tentu tak boleh diabaikan. Kesejahteraan hewan juga merupakan bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan PBB, tercantum dalam Goal 15 untuk melindungi, mengembalikan, dan mengusung keberlanjutan dalam ekosistem terestrial, manajemen hutan, melawan kekeringan, menghentikan dan memperbaiki perburukan tanah, serta mencegah hilangnya keanekaragaman hayati. Walau kita semua memiliki peranan masing-masing, para dokter hewan tak bisa dimungkiri merupakan kunci penting dalam mencapai tujuan ini.
Pada Sabtu (28/8), Green Network mewawancarai drh. Sugeng Dwi Hastono melalui Zoom. Kerap disapa sebagai drh. Sugeng saja, ia adalah seorang dokter hewan yang bekerja di wilayah Natar, Lampung. Gelar kedokteran hewannya diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada pada 2002. Sejak saat itu, drh. Sugeng aktif beroperasi di lapangan.
Drh. Sugeng membuka klinik pribadinya pada 2009, dengan niatan menangani semua jenis spesies binatang, termasuk hewan peliharaan, satwa liar, hewan eksotis, dan banyak lagi. Ia pernah dan masih aktif mengikuti berbagai pelatihan untuk memperluas pengetahuannya dalam dunia medis hewan. Drh. Sugeng menamai kliniknya Amanah Veterinary Service pada 2011.
Selain membuka praktik di klinik pribadinya, drh. Sugeng juga merupakan bagian dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lampung. Ia sering diundang untuk membagikan ilmu dan pandangannya sebagai dokter hewan dalam pelatihan, seminar, lokakarya, serta acara diskusi. Semester ini, drh. Sugeng juga menjadi dosen tidak tetap di Universitas Gadjah Mada.
Hari ini, kami ingin menyoroti kontribusi dan pandangan drh. Sugeng terhadap manajemen konflik manusia-satwa liar serta konservasi hewan liar, berdasar pengalamannya selama 10 tahun menangani satwa liar di Sumatra.
View this post on Instagram
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations) mendefinisikan konflik manusia-satwaliar sebagai interaksi antara manusia dan satwa liar yang berakibat buruk pada manusia dari segi sosial, ekonomi, budaya, serta pada konservasi satwa liar dan lingkungan. Drh. Sugeng menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 48 dan 53 Tahun 2008, seorang dokter hewan akan memimpin seluruh operasi terkait konflik manusia-satwa liar.
Boleh jelaskan secara garis besar, apa sebetulnya yang dimaksud dengan konflik manusia dengan satwa liar?
Konflik manusia-satwa liar melibatkan manusia, satwa liar, dan lingkungan atau habitat tempat mereka tinggal. Konflik ini dapat berdampak pada kehidupan satwa liar, manusia, atau menyebabkan kerusakan properti. Mudahnya, konflik ini berupa adanya satwa liar yang masuk ke wilayah pemukiman warga. Wilayah itu bisa berupa lahan yang memang difungsikan untuk manusia, atau berupa sebagian area hutan yang memiliki kegunaan serupa.
Sebagai contoh, seekor gajah yang tertangkap dalam jebakan bukan termasuk konflik manusia-satwa liar, melainkan korban perburuan ilegal. Sebuah konflik manusia dan satwa liar lebih berupa seekor gajah tua—karena gajah dapat hidup dalam waktu yang lama—kembali ke wilayah yang dulunya merupakan tempat bermain baginya atau pernah menyediakan banyak sumber makanan, namun kini telah berubah menjadi wilayah pemukiman, rumah penduduk, atau lahan pertanian.
Secara umum, tujuan utama manajemen konflik manusia-satwa liar bertujuan menyelamatkan manusia tanpa mengorbankan satwa liar. Secara personal, sebagaimana tugas saya sebagai dokter hewan, prioritas saya adalah keselamatan satwa liar tersebut.
Bagaimana Anda tahu kapan dan ke mana harus pergi?
Saya biasanya menerima panggilan dari Taman Nasional, pusat konservasi, NGO, dan bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia jika ada kasus yang sangat penting. Tentu saja ada birokrasi terkait. Untuk memasuki Taman Nasional, kita memerlukan sebuah izin khusus yang disebut SIMAKSI.
Kadang kala, saya dipanggil untuk kasus medis gawat darurat, pemeriksaan umum, translokasi, atau pembinaan penduduk; Di waktu yang lain, saya ditugaskan memimpin tim operasional untuk manajemen konflik.
View this post on Instagram
Bisakah Anda ceritakan pengalaman paling berkesan dalam penanganan satwa liar?
Pada 2015, ada seekor harimau Sumatra yang terlihat berada di sekitaran sungai Wonosobo, Tanggamus. Para penduduk mengira itu harimau siluman. Saya menerima telepon pada pukul 10 pagi, tapi sayangnya saya sudah memiliki jadwal kegiatan lain selama seharian penuh. Saya baru bisa berangkat jam 5 sore dan tiba di lokasi jam 8 malam. Setelah makan malam, merencanakan penanganan, dan mulai bergerak, harimau itu berhasil diselamatkan pukul 1 dini hari.
Harimau itu tadinya masuk ke rumah penduduk. Dia masuk ke dapur dengan merusak jendela. Konflik ini terjadi di wilayah dengan populasi tinggi, dan ada kekacauan tambahan yang terjadi karena orang-orang di wilayah tersebut dan daerah sekitarnya berdatangan akibat penasaran dan ingin melihat langsung. Tindakan penyelamatan ini ramai sekali dan melibatkan petugas militer serta petugas kepolisian.
Dari pengalaman Anda yang begitu banyak, permasalahan apa yang menurut Anda dapat dipecahkan untuk memperbaiki kesejahteraan hewan?
Keterhubungan dan koordinasi antara pemerintah dari daerah hingga pusat. Saya tidak bilang bahwa komunikasi mereka buruk. Masalahnya lebih kepada segi teknis. Secara teknologi komunikasi, sulit sekali mendapatkan informasi yang akurat dan cepat dari lokasi terpencil karena tidak ada sinyal ponsel, apalagi internet. Transportasi menuju area-area itu juga sangat susah karena kondisi jalan-jalannya jelek dan memiliki rute yang rumit, serta sedikit sekali opsi kendaraan yang tersedia.
Hal-hal tersebut sangat krusial untuk situasi-situasi darurat yang harus berkejaran dengan waktu, dan sama pentingnya dalam kondisi biasa sekalipun. Ketika saya pergi ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk memberikan penyuluhan bagi warga sekitar, saya mengalami hal-hal yang mempersulit keadaan tersebut. Peningkatan infrastruktur TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dan transportasi akan sangat membantu.
Apakah ada lagi?
Saya kira, kurangnya tenaga dokter hewan yang mengambil spesialisasi pada penanganan satwa liar juga menimbulkan kesulitan tersendiri. Saya pernah menjumpai beberapa pusat konservasi yang memiliki banyak sekali hewan, namun hanya ada satu orang dokter hewan yang bertugas.
Bagaimana kita menyelesaikan masalah itu?
Salah satu solusinya adalah dengan memberikan pelatihan umum dan pelatihan dasar mengenai satwa liar pada dokter-dokter hewan yang ada di lokasi-lokasi terpilih, di mana permasalahan satwa liar biasa terjadi. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada, sehingga mereka dapat membantu di lapangan sampai ahli satwa liar datang. Sebagai contoh, saya memberikan pelatihan pada para dokter hewan di Bengkulu/Palembang tentang bagaimana menangani satwa liar pada Januari 2020 lalu sebelum pandemi COVID-19.
View this post on Instagram
Berjejaring juga sangat penting dilakukan untuk bertukar ilmu. Saya adalah bagian dari Asliqewan, sebuah asosiasi dokter hewan Indonesia untuk satwa liar, satwa air, dan hewan eksotis. Saya pikir semua tenaga medis hewan semestinya dapat membantu ketika dibutuhkan. Baru-baru ini, saya menerima telepon yang meminta pendampingan teknis untuk perawatan jasad harimau di bagian utara Sumatra, termasuk mengajari bagaimana cara otopsi yang benar.
Apa pendapat Anda tentang konservasi satwa liar? Mengapa hal ini penting dan apa dasarnya?
Bagi saya, penekanan konservasi satwa liar adalah bahwa satwa liar seharusnya berada di hutan dan manusia seharusnya berada di perkotaan atau pedesaan, dan tidak ada yang boleh melanggar batasan itu. Konteks “melanggar batas” ini bisa berupa membangun rumah atau pemukiman di lahan hutan, berburu satwa liar untuk mengambil bagian tubuhnya, dan menjadikan hewan liar sebagai peliharaan.
Ada risiko zoonosis jika kita memelihara satwa liar. Zoonosis adalah sebuah penyakit yang ditularkan dari hewan liar ke manusia. Misalnya saja, ketika orang-orang membeli monyet atau primata lainnya untuk dijadikan hewan peliharaan, banyak penyakit yang bisa ditularkan ke manusia.
Bahkan jika ada keyakinan yang mengatakan bahwa hutan ada untuk memenuhi kebutuhan manusia, kita harus ingat bahwa hal tersebut tidak hanya untuk keperluan sumber daya dan hiburan, tetapi juga untuk edukasi dan konservasi. Kita harus mengutamakan konservasi satwa liar dan habitatnya agar manusia dapat mengetahui dan melihat keberadaan mereka, serta belajar dari hewan-hewan itu (Redaksi: untuk menjaga keseimbangan alam). Saya tidak pernah melihat harimau Jawa yang punah di tahun 1980, apalagi harimau Bali yang punah pada 1925, dan itu sangat disayangkan.
Hal ini malah lebih wajib dilakukan di Sumatra, karena pulau ini memiliki satwa-satwa liar endemik seperti harimau Sumatra, gajah Sumatra, badak Sumatra, dan lain-lain, sehingga kita wajib melakukan yang terbaik. Bagaimana jika cucu-cucu kita tidak tahu tentang harimau Sumatra? Bagaimana jika harimau Sumatra tidak lagi ada di Sumatra, sehingga kita harus meminta institusi negara lain untuk melihat harimau Sumatra?
Apa rekomendasi Anda untuk pemerintah, sebagai perbaikan upaya konservasi satwa liar dan manajemen konflik manusia-satwa liar?
Seperti yang saya katakan sebelumnya, meningkatkan pembangunan infrastruktur TIK dan transportasi di daerah-daerah terpencil adalah yang utama. Rekomendasi lainnya adalah membuat peraturan yang lebih baik dan penjagaan lahan yang lebih ketat melalui hukum, terutama di area hutan dan taman nasional.
Bagaimana dengan penduduk biasa? Apa yang bisa kita lakukan?
Laporkan! Itu cara paling mudah tapi efektif. Jika Anda melihat unggahan di media sosial tentang penjualan atau pencarian hewan liar untuk dipelihara, tolong segera laporkan pada pihak berwenang. Hal ini mudah dilakukan sekarang ini karena kepolisian daerah dan organisasi penyelamat biasanya memiliki akun media sosial seperti di Instagram atau jalur aduan langsung, sehingga kita bisa melaporkannya dari mana saja. Langkah ini kecil namun penting karena kadang pihak berwenang tidak bisa mengawasi semuanya secara langsung.
Sebagai tambahan, sadar akan kelestarian lingkungan dan mengurangi penggunaan plastik dan kayu juga merupakan hal yang baik. Mengurangi pemakaian plastik sangatlah penting, karena plastik dapat terbawa ke habitat satwa liar dan mengancam nyawa mereka dengan bentuknya yang mengecoh bagi mata hewan dan masa urainya yang sangat lama. Ketika memakai kayu, tolong perhatikan dari mana asal kayu itu diperoleh dan pastikan bahwa itu bukan kayu dari wilayah yang dilindungi.
View this post on Instagram
Apakah ada rekomendasi umum untuk mengatasi dan meminimalkan konflik manusia-satwa liar dalam rangka meningkatkan konservasi satwa liar?
Mencegah penggundulan hutan adalah hal pertama yang terlintas, karena jelas hutan adalah tempat tinggal mereka.
Mengedukasi penduduk juga penting. Pertama, edukasi warga sekitar tentang bagaimana menangani konflik—dengan cara berbagi pengetahuan tentang, misalnya, apa yang harus dilakukan jika mereka melihat harimau di jalanan dan hindari menembak atau meracuni mereka. Kedua, edukasi anak-anak. Mereka adalah masa depan kita. Pelajaran tentang pentingnya menjaga kesejahteraan hewan harus dimulai sedini mungkin. Lebih susah mengajari para orang dewasa yang sudah terlibat dalam perburuan atau penyelundupan hewan ilegal, dibandingkan mengajari anak-anak yang masih punya harapan. Ketiga, edukasi orang-orang perkotaan juga. Sering kali, merekalah yang meminta “hewan peliharaan” dari hutan. Ketika para pemburu menebar perangkap, hewan yang terancam punah bisa jadi justru yang terjebak.
Hal lainnya adalah menekankan penghentian perburuan hewan. Ini termasuk kasus penyelundupan ilegal dan pemberantasan hewan yang dianggap pengganggu. Misalnya saja, penduduk desa membunuh babi hutan karena hewan itu dianggap mengganggu pertanian. Hal itu bisa sangat berbahaya. Babi hutan adalah salah satu bagian ekosistem yang penting karena mereka adalah makanan untuk hewan karnivora yang lebih besar. Ketika hewan-hewan itu tidak mendapatkan sumber makanan yang cukup, mereka akan keluar dari hutan untuk mencari makanan, yang berujung pada konflik manusia-satwa liar.
Terima kasih banyak sudah berbagai pandangan dan pengalaman. Apakah Anda memiliki pesan penutup?
Harus ada sinergi dari seluruh sektor dalam konservasi satwa liar. Kita memerlukan sebuah kesadaran kolektif untuk menjaga Bumi. Kita tidak bisa melihat segala sesuatu dari satu sisi atau untuk jangka pendek semata. Ketika membuat keputusan, kita mesti melihat dari berbagai sudut pandang.
Contohnya, untuk membatasi penggunaan minyak bumi, orang-orang beralih ke energi panas bumi (geothermal). Apa yang terjadi ketika pembangkit listrik tenaga panas bumi tersebut berada di tengah hutan? Kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti bagaimana hutan itu menjadi habitat untuk satwa liar dan rumah bagi elemen keanekaragaman hayati, bagaimana jalan-jalan yang dibangun akan mengambil jatah lahannya.
Contoh lainnya adalah bagaimana hutan-hutan Kalimantan menjadi perkebunan sawit, dengan mengatasnamakan kemakmuran masyarakat. Masyarakat mana yang ditopang olehnya? Bagaimana dengan pasokan oksigen? Bagaimana dengan satwa liar? Apakah kita sedang melihat masa depan?
Dari perspektif Keislaman, dikatakan bahwa Tuhan menciptakan alam agar manusia dapat mengambil manfaat darinya. Itu benar. Namun, kita juga mesti ingat bahwa mengambil manfaat dari alam tidak berarti mengeksploitasi dan menghancurkannya.
Penerjemah: Inez Kriya
Tulisan asli atikel ini dalam bahasa Inggris dapat dibaca di sini.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.