Gerakan Neurodiversitas: Mendorong Penerimaan & Inklusi terhadap Autisme
Foto: Freepik.
Autisme adalah spektrum kondisi neurologis seumur hidup yang memengaruhi kognisi, komunikasi, dan interaksi seseorang. Setiap tahun, kita memperingati Hari Kesadaran Autisme Sedunia pada tanggal 2 April. Sejauh ini, sudah ada pergeseran pendekatan dan kesadaran terhadap autisme. Lebih dari kesadaran, gerakan neurodiversitas (keragaman saraf) juga mengarah pada penerimaan dan inklusi autisme.
Gerakan Neurodiversitas
Neurodiversitas merupakan konsepsi bahwa setiap orang mengalami, memproses, dan berinteraksi dengan dunia dengan cara yang berbeda-beda. Istilah ini pertama kali digunakan oleh sosiolog Judy Singer dan dipopulerkan lebih lanjut oleh jurnalis Harvey Blume pada tahun 90-an. Ide ini kemudian melahirkan gerakan neurodiversitas.
Gerakan neurodiversitas adalah gerakan keadilan sosial yang bertujuan untuk mewujudkan penerimaan dan inklusivitas yang merangkul perbedaan neurologis. Gerakan ini dibangun di atas model sosial disabilitas, di mana disabilitas muncul dari hambatan sistemik dan sosial dalam masyarakat dan bukan dari kecacatan atau perbedaan yang melekat pada seseorang. Hal ini berseberangan dengan paradigma patologis, pandangan biomedis bahwa perbedaan ini – termasuk autisme – adalah sesuatu yang harus dikurangi dan diperbaiki.
Beberapa pembela autisme dalam gerakan neurodiversitas mengusulkan jalan tengah, mengobati sifat, perilaku, atau kondisi yang berbahaya dan merangkul yang tidak berbahaya, dalam hal ini yang adaptif. Singkatnya, gerakan neurodiversitas menyerukan penerimaan alih-alih penyembuhan.
Kesadaran atau Penerimaan?
Hari Kesadaran Autisme Sedunia pertama kali diperingati pada tahun 2008 menyusul resolusi dari PBB. Beberapa aktivis mengusulkan perubahan dari ‘kesadaran’ menjadi ‘penerimaan’ karena dunia semakin merangkul keberagaman saraf. Pada tahun 2023, tema Hari Kesadaran Autisme Sedunia berfokus pada kontribusi orang-orang autis di rumah, di tempat kerja, dalam seni, dan dalam pembuatan kebijakan.
Meskipun tidak ada perubahan nama resmi, pernyataan PBB untuk Hari Kesadaran Autisme Sedunia 2023 menekankan sentimen tersebut. PBB menyatakan, “Kita menjauh dari narasi menyembuhkan atau mengubah orang-orang autis dan sebaliknya fokus untuk menerima, mendukung, dan termasuk orang autis, dan mengadvokasi hak-hak mereka.”
Penerimaan & Inklusi terhadap Autisme
Sebagian besar individu autis masih menghadapi diskriminasi. Berbagai halangan yang membuat mereka sulit menjalani hidup panjang dan bermakna masih sering terjadi. Sebagai kelompok rentan, orang autis masih kerap ditinggalkan dan tidak tertangani dalam sebagian besar rencana dan komitmen aksi iklim. Selain itu, penerimaan dan inklusi terhadap autis di lingkungan pendidikan dan tempat kerja juga masih jauh dari angan-angan.
Menciptakan masa depan yang lebih baik bagi manusia dan planet dengan pembangunan berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari semua pihak dengan semangat tidak meninggalkan siapa pun. Oleh karena itu, keterlibatan aktif individu autis sangat penting sebagai kontributor dan kelompok yang dilindungi. Peneliti, profesional kesehatan, pendidik, bisnis, pembuat kebijakan, masyarakat, dan orang-orang terdekat dapat dan harus mengambil peran dalam mengusung keberagaman, kesetaraan, dan inklusi.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Di tengah tantangan global yang semakin kompleks saat ini, membekali diri, tim, dan komunitas dengan wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bukan lagi pilihan — melainkan kebutuhan strategis untuk tetap terdepan dan relevan.
Join SekarangNaz is the Manager of International Digital Publications at Green Network Asia. She is an experienced and passionate writer, editor, proofreader, translator, and creative designer with over a decade of portfolio. Her history of living in multiple areas across Southeast Asia and studying Urban and Regional Planning exposed her to diverse peoples and cultures, enriching her perspectives and sharpening her intersectionality mindset in her storytelling and advocacy on sustainability-related issues and sustainable development.

Menilik Simpul Antara ‘Gajah Terakhir’ dan Banjir di Sumatera
Meningkatnya Angka Pengangguran Sarjana dan Sinyal Putus Asa di Pasar Kerja Indonesia
Wawancara dengan May Tan-Mullins, CEO dan Rektor University of Reading Malaysia
Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Tengah Meningkatnya Risiko Bencana
UU KUHAP 2025 dan Jalan Mundur Perlindungan Lingkungan
Wawancara dengan Eu Chin Fen, CEO Frasers Hospitality