Mengenal Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan
Perubahan iklim adalah masalah kita semua. Namun, dampaknya pada setiap orang berbeda-beda. Begitu juga dengan pihak yang berkontribusi—beberapa negara lebih bertanggung jawab atas perubahan iklim dibanding negara-negara yang lain. Di tengah upaya untuk membatasi pemanasan global tidak lebih dari 1,5°C, kesiapan negara-negara di dunia pun berbeda-beda. Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) bertujuan untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Mengenal JETP
Pada dasarnya, JETP merupakan sebuah mekanisme pembiayaan. Dalam suatu kemitraan, negara-negara yang lebih kaya mendanai negara berkembang yang bergantung pada batu bara untuk mendukung langkah negara itu sendiri dalam menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap dan transisi menuju energi bersih seraya mengatasi dampak sosialnya.
Aspek sosial penting di sini. Perlindungan yang kuat dan tindakan proaktif sangat penting dalam rencana JETP karena sebagian besar populasi akan terpengaruh. Reskilling (pelatihan keterampilan baru), upskilling (peningkatan keterampilan), dan penciptaan lapangan kerja baru adalah beberapa cara untuk memastikan transisi energi berkeadilan bagi pekerja dan masyarakat.
Pendanaan JETP dapat disampaikan melalui hibah, pinjaman, atau investasi. Mulai Maret 2023, kumpulan donor mencakup International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group. IPG terdiri dari Jepang, AS, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, Uni Eropa, dan Inggris. Sedangkan GFANZ Working Group terdiri dari bank pembangunan multilateral dan nasional serta lembaga keuangan seperti HSBC dan Citibank.
Afrika Selatan, Indonesia, dan Vietnam
Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan pertama adalah dengan Afrika Selatan yang diumumkan pada COP 26 di Glasgow pada November 2021. Para penyandang dana, lima dari anggota IPG saat ini, menjanjikan 8,5 miliar USD pada putaran pembiayaan pertama. Setahun kemudian, pada COP 27 di Sharm El Sheikh, Afrika Selatan menerbitkan Rencana Implementasi JETP (JETP Implementation Plan/JETP IP). JETP ini diharapkan dapat mencegah hingga 1-1,5 gigaton emisi dari atmosfer selama 20 tahun ke depan.
Kemitraan kedua diumumkan pada KTT G20 Bali pada November 2022. Indonesia akan menerima pendanaan awal sebesar 20 miliar USD dalam pembiayaan publik dan swasta selama tiga hingga lima tahun ke depan. Para donor akan membantu melalui hibah, pinjaman lunak, pinjaman dengan suku bunga pasar, jaminan, investasi swasta, dan bantuan teknis. Pada Februari 2023, Indonesia meluncurkan Sekretariat Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan.
Berikutnya adalah Vietnam. JETP Vietnam diumumkan pada Desember 2022 setelah melalui proses negosiasi yang panjang. Kemitraan ini akan membantu Vietnam dalam bidang keuangan, teknologi, dan pembangunan kapasitas. Kemitraan ini juga akan mendukung perbaikan kebijakan dan peraturan negara tersebut untuk meningkatkan investasi swasta dalam energi terbarukan. Dana awal untuk tiga sampai lima tahun ke depan adalah 15,5 miliar USD. Vietnam diharapkan dapat menerbitkan Rencana Mobilisasi Sumber Daya JETP (JETP – RMP) pada November 2023.
Yang akan menyusul
Kolaborasi multinasional, multisektor, dan multi-pemangku kepentingan adalah kunci transisi energi global yang berkeadilan untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Menurut Dana Pertahanan Lingkungan (EDF), Filipina, Senegal, dan India telah mengadakan pertemuan dengan negara-negara donor JETP. Mandy Rambharos dari EDF mengatakan, “Ini adalah pendekatan yang kami yakini dapat diskalakan, direplikasi, dan diukur.”
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.