Penghentian PLTU Batubara dengan Mekanisme Transisi Energi
Setiap hari, kita menggunakan listrik untuk berbagai kebutuhan, mulai dari memasak, mencuci, hingga menyalakan televisi dan mengisi daya telepon genggam. Listrik yang kita pakai dihasilkan melalui pembangkit yang menimbulkan dampak lingkungan yang berbahaya bagi makhluk hidup dan planet.
Dari tujuh jenis pembangkit listrik yang ada di Indonesia, hingga hari ini pembangkit listrik tenaga bakar energi fosil masih mendominasi. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berada di urutan pertama dengan kapasitas 36,98 GW atau 50% dari total pembangkitan listrik.
Pembangkit listrik tenaga bakar energi fosil ini merupakan penyumbang utama gas rumah kaca (GRK) dan berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Karenanya, sudah saatnya mengganti pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil dengan energi baru terbarukan (EBT). Langkah ini diperlukan untuk mendukung misi Indonesia dalam mencapai Nol Emisi Karbon/Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Ketergantungan pada Batubara
Menurut riset Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia harus menghentikan operasi 72 PLTU batubara yang dimulai dengan mengurangi pembangkitan listrik dari PLTU batubara sebesar 11% hingga 2030 dan selanjutnya meningkatkan jumlah PLTU batubara yang dipensiunkan menjadi 90% sebelum tahun 2040.
Akan tetapi, ketergantungan Indonesia pada batubara dalam sistem energi dalam negeri, bahkan mengekspor ke luar negeri, menjadi tantangan dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia masih harus mempertimbangkan kondisi perekonomian domestik, daya saing pasar, hingga kemampuan industri.
“Kawasan ASEAN dalam beberapa hal masih bergantung pada batubara sebagai sumber energi yang menyumbang 31,4% dari kapasitas daya terpasang pada tahun 2020. Situasi ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati ketika menetapkan jalan kita menuju netralitas karbon,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.
Memensiunkan Dini PLTU Batubara
Untuk mendukung pencapaian NZE 2060, PT PLN akan menghentikan operasional PLTU hingga 6,7 Gigawatt (GW), dengan rincian 3,2 GW berhenti secara natural dan 3,5 GW dengan skema pemensiunan dini (early retirement). Untuk itu, PLN telah menyiapkan peta jalan early retirement PLTU berbahan bakar batubara. Pemensiunan PLTU batubara di seluruh Indonesia akan dilaksanakan secara bertahap hingga tahun 2056.
Pada peta jalan PLN, percepatan pemensiunan dini PLTU sebesar 3,5 GW dapat dilakukan sebelum 2040 untuk PLTU dengan teknologi subcritical. Percepatan pemensiunan PLTU tersebut dapat dilakukan ketika kapasitas EBT pengganti sudah beroperasi, aspek transisi (just transition) terpenuhi, peningkatan beban keuangan yang memberatkan pemerintah telah diantisipasi, dan bantuan pendanaan dari komunitas internasional telah tersedia.
Selain early retirement, PLN berupaya mencapai NZE pada 2060 dengan beberapa langkah berikut:
- Mengoperasikan PLTU dengan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) sebesar 19 GW.
- Menghentikan pembangunan PLTU baru.
- Menerapkan co-firing biomassa di beberapa PLTU.
- Melakukan program dedieselisasi 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) existing di seluruh Indonesia.
- Mengembangkan pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 20,9 GW pada 2030.
“Kami menjadi garda depan dalam mendukung upaya pemerintah mengurangi emisi karbon dan transisi energi. Kami percaya upaya ini butuh kolaborasi dan kerja sama semua pihak. Kami, PLN, membuka peluang kerja sama untuk bisa menyukseskan agenda ini,” kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo.
Mekanisme Transisi Energi
Untuk bisa memensiunkan PLTU batubara, PLN membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kajian IESR mengestimasi biaya yang dibutuhkan mencapai USD 4,6 miliar hingga 2030 dan USD 27,5 miliar hingga 2050. Untuk itu, Pemerintah telah meluncurkan Mekanisme Transisi Energi/Energy Transition Mechanism (ETM) sebagai salah satu strategi pembiayaan untuk memensiunkan PLTU ini. Program ini didukung oleh Asian Development Bank (ADB).
Selain Fasilitas Pengurangan Emisi untuk memensiunkan dini PLTU batubara, ETM juga mencakup skema Fasilitas Energi Bersih (Clean Energy Facility/CEF) yang bertujuan untuk mengembangkan atau menginvestasikan kembali fasilitas energi hijau. Mekanisme ini diharapkan menjadi solusi bersama bagi masyarakat, investor, perekonomian daerah, dan lingkungan.
“Platform ETM tersebut merupakan kerangka kerja untuk menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk mempercepat transisi energi nasional dengan memobilisasi sumber pendanaan komersial maupun non-komersial secara berkelanjutan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Terima kasih telah membaca!
Jika Anda melihat konten ini bermanfaat bagi Anda secara pribadi dan profesional, join Membership Individu Tahunan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan manfaat dari akses online tanpa batas ke semua kabar dan cerita, termasuk Konten Eksklusif yang menampilkan wawasan pembangunan berkelanjutan dan keberlanjutan dari multi-stakeholder di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.