Kalara Borneo: Menjaga Hutan Kalimantan dengan Produksi Olahan Non-Kayu Bernilai Tinggi
Sebagai pulau terbesar ketiga di dunia, Kalimantan memiliki sumber daya alam yang begitu kaya. Pulau yang juga dikenal dengan nama Borneo ini memiliki hutan hujan tropis yang memberikan hasil alam non-kayu yang melimpah, unik, dan bernilai tinggi. Dengan kekayaan itu, semestinya tidak perlu ada penebangan hutan untuk membuka lahan perkebunan baru.
Sayangnya, yang terjadi tidak demikian. Hutan Kalimantan terkikis dan terus terancam oleh deforestasi dan alih fungsi lahan yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan berkontribusi terhadap penurunan keanekaragaman hayati. Kalara Borneo, sebuah merek yang memproduksi hasil alam hutan non-kayu Kalimantan, bertekad mengatasi permasalahan tersebut dengan berkolaborasi bersama masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat dan petani untuk mengembangkan potensi alam dari hutan hujan tropis Kalimantan sekaligus menjaga kelestariannya.
Kalara Borneo mendorong terciptanya hilirisasi komoditas hutan non-kayu Kalimantan yang bernilai tinggi yang selama ini terbuang sia-sia di dalam hutan atau kebun yang terlantar. Dengan visi mengangkat produk lokal Kalimantan ke mata dunia, UMKM yang berbasis di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) ini berkomitmen untuk menciptakan akses pasar yang lebih dekat bagi masyarakat lokal dan meningkatkan perekonomian petani dan masyarakat lokal melalui kemitraan bisnis yang adil dan berbasis lingkungan.
Atas nama Green Network, saya mewawancarai Yohana Tamara, Founder & CEO Kalara Borneo melalui WhatsApp pada 20 dan 24 Januari 2023. Kami membahas bagaimana Kalara Borneo menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan.
Apa masalah utama yang Anda lihat di Kalimantan yang bersinggungan dengan bisnis yang Anda jalankan?
Yang saya lihat, khususnya di Kalbar, mayoritas perkebunan yang dikembangkan masyarakat adalah sawit dan karet. Dari sisi ekonomi, harga sawit dan karet tidak stabil dan cenderung menurun pada tahun 2018. Saat itu, saya melihat bahwa biaya produksi dari komoditas-komoditas itu lebih tinggi dibanding harga jualnya, yang mana itu berdampak terhadap perekonomian masyarakat setempat.
Di sisi lain, perkebunan karet dan sawit ini dikembangkan secara monokultur, di lahan pertanian itu hanya ada satu komoditas. Dampaknya, ketika para petani ingin menambah penghasilan, mereka harus membuka lahan baru dengan cara menebang pohon. Ini menjadi salah satu faktor lajunya deforestasi. Kalbar menjadi salah satu provinsi yang tingkat deforestasinya tinggi dan pertanian menjadi salah satu sektor yang berkontribusi terhadap laju deforestasi itu jika metode monokultur terus diterapkan. Inilah yang saya amati.
Bisa ceritakan bagaimana awalnya Kalara terbentuk?
Saya mendapatkan ide untuk mengembangkan Kalara pada tahun 2021 setelah saya resign dari salah satu koperasi di Kabupaten Sintang. Selama hampir 4 tahun saya bekerja di koperasi itu, saya berkesempatan untuk melihat aktivitas para petani/masyarakat adat di desa-desa pedalaman Kalimantan yang belum terjangkau sinyal, listrik, dan infrastrukturnya tidak memadai–jalannya rusak atau tidak ada jalan sama sekali.
Dari situ, saya menangkap persoalan rantai pasok dari hulu ke hilir produk komoditas bahan baku mentah dari para petani itu, yang pasarnya banyak tapi saat itu hanya ada di Jawa dan Bali, jarak angkutnya terlalu jauh dan biayanya menjadi sangat tinggi.
Akhirnya saya berpikir, untuk memberikan profit yang lebih tinggi kepada petani, yang perlu dilakukan adalah memperpendek jarak logistik komoditas mentah itu ke pasar. Ketika pasar yang lebih dekat tidak ada, saya berpikir kenapa pasarnya tidak diciptakan saja di Kalbar. Harapannya, dengan logistik yang lebih pendek, pasarnya lebih dekat, profit bagi petani di Kalbar lebih tinggi.
Kalara memproduksi produk unggulan dari hasil hutan non-kayu Kalimantan, apa saja?
Saat ini, produk yang telah kami produksi antara lain sirup dan manisan buah asam maram, itu berasal dari buah hutan asli Kalbar (buah asam maram). Lalu kami punya gula aren organik yang juga berasal dari hutan non-kayu di Kalimantan. Dan produk terbaru yang akan segera kami launching yaitu cokelat dari biji kakao yang berasal dari kebun yang selama ini terbengkalai akibat dari tidak adanya akses pasar.
Jadi, fokus kami adalah mengembangkan hasil-hasil hutan non-kayu yang selama ini jarang dilirik, yang buahnya dibiarkan busuk begitu saja ketika musim panen tiba di hutan karena keterbatasan pengetahuan dan skil yang dimiliki masyarakat. Kami mengembangkan hasil-hasil alam itu melalui R&D kami supaya menjadi produk bernilai tinggi.
Kalara ingin menjadi jembatan untuk memasarkan produk alam dari petani. Bagaimana Kalara mewujudkan misi tersebut?
Mungkin tanpa kita sadari, petani dan masyarakat adat di pedalaman itu tidak mampu kalau harus mengurus segala hal sendiri: produksi, pengemasan, pemasaran, dan sebagainya. Apalagi kalau masyarakat adat itu masih melekat dengan kearifan lokal mereka, yang mana mereka memiliki urusan lain yang juga harus mereka kerjakan. Misalnya di Kalbar, berladang dan menanam padi merupakan bentuk kearifan lokal mereka sebagai bagian dari tradisi yang masih dikerjakan hingga hari ini.
Jadi kalau masyarakat di pedalaman itu kita tuntut untuk mengerjakan semua urusan itu dari hulu ke hilir, mereka tidak mampu. Sementara pasar memiliki deadline, ada minimal order dan sebagainya yang harus dipenuhi. Kalau dituntut dengan hal-hal semacam itu, pada kasus yang saya lihat selama ini, mereka tidak mampu untuk mengerjakan semua hal karena keterbatasan waktu dan tenaga.
Lalu saya berdialog dengan mereka, mereka tidak punya waktu kalau harus memenuhi semua hal yang disyaratkan oleh calon pembeli. Saya tanya, ‘Bagaimana kalau jadi pemasok, jadi pengumpul, berat tidak?’ Mereka bilang tidak. Di situlah Kalara menempatkan diri sebagai jembatan. Hasil-hasil alam dari mereka diolah oleh Kalara menjadi produk bernilai tinggi. Kami membeli bahan-bahan baku langsung dari petani. Kami juga memasarkannya di Jakarta dan Bali saat ini. Kami menggandeng beberapa kafe besar.
Para klien saya, dengan sistem B2B, tidak perlu lagi mengolah bahan baku itu mulai dari mentah. Mereka tinggal mengolah bahan yang sudah jadi atau setengah jadi dari Kalbar. Misalnya sirum maram, tinggal diracik menjadi minuman, gula aren diracik jadi makanan dan minuman, dan begitu juga cokelat.
Bagaimana Kalara menciptakan bisnis yang adil dan berbasis lingkungan?
Kami menggandeng petani dan masyarakat dan memperpendek mata rantai dari hulu ke hilir. Selama ini yang terjadi, saat proses distribusi bahan baku ke pasar, ada banyak sekali “orang tengah” atau tengkulak. Ada orang tengah 1, orang tengah 2, orang tengah 3 dan seterusnya. Sehingga yang terjadi, kita lihat harga di pasar tinggi, tetapi pendapatan petani atau masyarakat tetap rendah. Yang dapat keuntungan adalah orang tengahnya.
Selain memotong mata rantai itu menjadi lebih pendek, kami juga membeli komoditas dari petani dan masyarakat dengan harga yang lebih adil, minimal 2 kali lipat dari harga pasaran.
Soal berbasis lingkungan, Kalara membeli hasil alam dari petani atau masyarakat yang mengembangkan metode tumpang sari atau metode agroforestri. Jadi saya harus memastikan bahwa petaninya juga menjaga lingkungan dengan mengunjungi mereka langsung.
Petani dan masyarakat yang saya gandeng saya pastikan tidak semata-mata mengejar keuntungan tetapi juga menjaga lingkungan. Kuncinya adalah jika masyarakat ingin menikmati hasil kebun atau hutan non-kayu yang bernilai ekonomi tinggi, lingkungannya harus dijaga. Contohnya buah asam maram yang tumbuh di lahan rawa gambut yang menghasilkan oksigen paling tinggi di antara semua lahan. Kalau masyarakat sebagai pengumpul mau menjadikan buah maram sebagai mata pencaharian utama, berarti lingkungannya harus dijaga. Jadi buah ini menjadi salah satu indikator untuk memastikan lahan rawa gambut tetap subur.
Di sinilah aspek bisnis dan lingkungan bertemu. Tanpa lingkungan yang sehat, hutan tidak akan menghasilkan produk yang subur dan berkualitas. Tanpa produk hutan yang subur, masyarakat tidak akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan profit.
Bagaimana Kalara mengatasi/mengurangi kemiskinan seperti yang disebut dalam komitmen keberlanjutan bisnis ini?
Membeli produk dengan harga minimal dua kali lipat dari harga pasaran. Itu salah satu cara kami. Kami juga menciptakan lapangan pekerjaan untuk ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah produksi kami. Kami tidak ingin muluk-muluk, tidak sampai harus 100-an orang kami pekerjakan. Tapi paling tidak, sebagai sebuah usaha kecil, masyarakat di sekitar bisa kami beri pekerjaan yang layak sehingga bisa mendapatkan dampak dari keberadaan kami.
Kalara juga berkomitmen untuk menangani perubahan iklim. Bisa ceritakan apa saja inisiatif Kalara untuk hal ini?
Kami selalu mengimbau kepada masyarakat, misalnya pada kasus produk buah asam maram, bahwa lahan gambut harus dijaga supaya produksi buah maramnya subur dan bisa meningkat dan bisa diolah jadi produk bernilai tinggi.
Kami juga meminimalisir penggunaan dari plastik. Kalaupun ada produk kami yang masih menggunakan plastik, plastik itu kami akan reuse terus menerus sampai tidak bisa dipakai lagi. Selain itu, sisa limbah organik dari proses produksi, kami jadikan pupuk untuk tanaman di sekitar rumah produksi Kalara. Itu contoh kecil yang sudah kami kerjakan.
Ke depannya, kami berharap bisa menghitung jumlah karbon dari lahan petani yang selama ini bekerja sama dengan kami. Kami mengarah ke situ agar ada tolok ukur yang kami capai dari penanganan perubahan iklim.
Dengan siapa saja selama ini Kalara bekerja sama?
Di hulu, Kalara bekerja sama langsung dengan masyarakat atau petani dan koperasi. Di hilir, kami bekerja sama dengan beberapa mitra. Kami menjadi penyuplai utama sirup maram yang akan dibuat menjadi minuman. Kami juga menggandeng Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), yang mana mereka punya satu sub-unit organisasi bernama gerai Kabupaten Lestari.
Kami berkolaborasi untuk mempromosikan kabupaten-kabupaten di Kalbar dengan berbagai macam studi kasus. Kami menyampaikan bahwa daerah juga bisa berkembang dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Selain itu kami juga punya satu partner di Filipina, sebuah artisan cokelat. Kalara saat ini mulai menjajaki untuk menggandeng lembaga internasional untuk pengembangan hilirisasi produk cokelat.
Apa yang menjadi tantangan Kalara selama ini terkait pengelolaan hasil hutan non-kayu di Kalimantan?
Untuk menyadarkan masyarakat bahwa produk hutan non-kayu juga bernilai tinggi, itu sulit. Di awal saya mengembangkan bisnis ini, buah asam maram itu tidak ada harganya karena dilihat tidak ada akses pasarnya sehingga masyarakat ragu untuk menjadikan buah asam maram sebagai produk hutan yang dapat dijual. Sama halnya juga dengan cokelat. Pada saat saya datang, kebanyakan masyarakat tidak percaya. Mereka bilang, ‘Masa sih ada harganya?’, “Masa sih ada pasarnya?’.
Perlu pasar yang lebih besar untuk menyerap hasil hutan non-kayu sehingga masyarakat teryakinkan bahwa mereka juga bisa mendapatkan penghasilan, sehingga lahan tidak perlu dialihfungsikan.
Selain itu, soal logistik masih menjadi tantangan sampai saat ini. Walaupun pasar yang lebih dekat sudah ada dan profit untuk petani menjadi lebih tinggi, tetapi kondisi infrastruktur di pedalaman Kalimantan masih kurang. Kenapa tidak jika pendapatan masyarakat/petani dapat lebih dimaksimalkan lagi, dengan infrastruktur diperbaiki, jalan dibuat lebih baik, otomatis biaya logistik bisa ditekan dan profit petani bisa lebih dioptimalkan.
Kebijakan seperti apa yang Anda harapkan terkait pengelolaan hasil hutan non-kayu?
Perlu ada kebijakan yang mengatur bahwa wilayah-wilayah tertentu tidak boleh dialihfungsikan lahannya. Harus dipetakan mana daerah yang harus dijaga keaslian lahannya sesuai dengan hasil hutan dan ekosistem alaminya dan mana daerah yang boleh dialihkan menjadi perkebunan misalnya. Tanpa adanya kebijakan seperti itu, masyarakat yang belum memahami bahwa hasil hutan non-kayu juga dapat dikembangkan dan ada pasarnya, mereka akan terus mengalihkan hutan mereka jadi perkebunan.
Selain itu, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan infrastruktur yang dapat mempercepat laju ekonomi.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.