Desa Tahawa, Desa Ramah Satwa dimana Manusia Hidup Harmonis dengan Satwa Liar
Pada mulanya, kehidupan manusia begitu lekat dengan alam dan keanekaragaman hayati. Syahdan, perkembangan zaman yang ditandai oleh pembangunan yang masif telah menjauhkan relasi tersebut, dan interaksi antara manusia dan satwa liar pun kerap menjelma menjadi konflik. Di tengah tingginya potensi konflik manusia dan satwa liar di berbagai tempat, Desa Tahawa di Kalimantan Tengah justru memberikan pemandangan yang sebaliknya. Desa yang terletak di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau ini menjadi desa ramah satwa dimana penduduknya hidup berdampingan secara harmonis dengan satwa liar.
Konflik Manusia-Satwa Liar
Ada ribuan spesies liar yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, dan ratusan di antaranya merupakan satwa endemik yang hanya ada di wilayah-wilayah tertentu. Sayangnya, berbagai aktivitas manusia seperti penebangan dan alih fungsi hutan untuk berbagai kepentingan telah mengakibatkan berkurang atau hilangnya habitat alami satwa liar yang mengancam kehidupan mereka, serta mendorong konflik manusia-satwa liar di banyak tempat. Selain itu, penyusutan sumber daya makanan, pemanfaatan keanekaragaman hayati yang tidak berkelanjutan, hingga perburuan yang tidak terkendali telah meningkatkan potensi konflik manusia-satwa liar yang seringkali memakan korban.
Konflik manusia-satwa liar berkaitan dengan tingginya tingkat interaksi yang menimbulkan benturan antara kebutuhan habitat alami satwa dan kehidupan manusia. Penetrasi manusia ke dalam lingkungan yang menjadi habitat satwa liar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan menyebabkan kerusakan pada sumber daya alam, sehingga mengakibatkan satwa liar kehilangan tempat tinggal, sumber makanan, dan jalur migrasi mereka.
Desa Ramah Satwa
Desa Tahawa merupakan sebuah desa yang wilayahnya memiliki hutan seluas 998 hektare, dengan ratusan spesies satwa liar dan ribuan tumbuhan endemik khas Kalimantan. Berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi permukiman warga, hutan Desa Tahawa dikelola oleh Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) setempat dengan skema Perhutanan Sosial. Hutan desa tersebut telah memperoleh pengakuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai habitat satwa liar pada 31 Desember 2019.
Adanya konflik manusia dan satwa liar yang terjadi di berbagai tempat lain telah menjadi perhatian warga Desa Tahawa dalam beberapa tahun terakhir. Tak ingin hal serupa terjadi di wilayah mereka, warga di Desa Tahawa memilih hidup berdampingan dengan berbagai satwa liar yang ada di hutan mereka. Setiap harinya, mereka terbiasa berinteraksi dengan berbagai satwa liar, termasuk yang tergolong langka dan terancam punah seperti orang utan, owa-owa, kelasi, burung seriwang, burung luntur puri, burung tiung batu, pelanduk, kijang, beruang madu, kucing hutan, tarsius, dan trenggiling. Tidak jarang pula, rumah mereka dilewati atau disinggahi oleh satwa-satwa liar tersebut dan mereka membiarkannya begitu saja tanpa niat untuk menyakiti, menangkap, dan menjualnya.
Apa yang diterapkan oleh para warga Desa Tahawa telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu atas inisiatif mereka sendiri. Kesadaran dan kepedulian akan pentingnya menjaga hutan dan keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya telah berlangsung secara turun temurun di kalangan warga desa tersebut. Sebagai bagian dari masyarakat Suku Dayak, mereka percaya bahwa hutan tidak sekadar kumpulan pohon yang bisa dimanfaatkan sembarangan, melainkan rumah sakral bagi kehidupan mereka.
Seiring waktu, di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga hutan dan satwa liar, kearifan warga desa tersebut mencuri perhatian Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah yang lantas mengusulkan desa tersebut menjadi “desa ramah satwa”. Puncaknya, desa tersebut pun secara resmi ditetapkan sebagai desa ramah satwa pertama di Indonesia oleh KLHK pada peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun 2023.
Selain dikenal “ramah satwa”, desa tersebut juga mulai menyuguhkan ekowisata Sahai Tambi Balu, sebuah kawasan yang mempertemukan hutan rangas dan hutan gambut dan memiliki air terjun yang eksotik. Kawasan ini juga menjadi objek penelitian bagi para peneliti baik dari dalam maupun luar negeri, dan secara perlahan membuka peluang ekonomi bagi warga setempat.
Hidup Berdampingan
Pada dasarnya, hutan Desa Tahawa bukanlah hutan konservasi. Namun, warga desa tersebut mampu menunjukkan bahwa manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan satwa liar. Pada akhirnya, manusia dan satwa liar perlu hidup berdampingan karena saling bergantung pada ekosistem yang sama untuk kelangsungan hidup. Kebutuhan ini semakin mendesak di tengah pertambahan populasi manusia yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan ruang hidup.
Satwa liar memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan mempertahankan keanekaragaman hayati dan habitat alami, manusia akan mendapat berbagai manfaat seperti udara bersih, air yang sehat, dan tanah yang subur. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk mengelola dan melindungi habitat satwa liar dengan bijaksana. Dalam hal ini, memperluas pengakuan terhadap hak-hak alam (Right of Nature) merupakan fondasinya.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.