Indah Darmastuti, Mewujudkan Sastra yang Lebih Inklusif untuk Difabel Netra
“Seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Begitu tulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya ‘Bumi Manusia’. Potongan kalimat itu telah sering dikutip, dengan subjek “seorang terpelajar” diganti dengan “kita” agar menjadi relevan untuk semua orang. Bagi Indah Darmastuti, kalimat itu menuntunnya dalam menjalani apa yang ia perjuangkan dalam tahun-tahun terakhir hidupnya: menjembatani kebutuhan akan bacaan sastra yang lebih inklusif bagi kelompok difabel netra.
Penulis asal Surakarta ini telah mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menghadirkan sastra yang dapat dinikmati oleh semua kalangan melalui Difalitera. Malam itu, sepulang bekerja dan menghadiri suatu acara, Indah menyempatkan diri untuk membagikan pengalamannya. “Maaf, ya. Sudah lama nunggu?” katanya, begitu memasuki kedai kopi di bilangan Makamhaji, Kartasura, tempat kami janjian untuk bertemu. Setelah memesan makanan, ia bercerita panjang layaknya membacakan sebuah novel, ditingkahi musik kafe yang diputar agak keras.
Menyediakan Sastra Suara untuk Difabel Netra
Perjalanan Indah dalam mendirikan Difalitera bermula pada Juni 2016. Ketika itu, dalam sebuah acara bincang sastra di Surakarta, seorang mahasiswa difabel netra yang menjadi salah satu narasumber menceritakan kesulitannya dalam mengakses sumber bacaan.
“Dia katakan bahwa buku sastra dalam huruf Braille memang ada, tapi tidak banyak. Selain itu, aplikasi pembaca layar e-book juga memang sudah ada, tapi intonasinya kaku,” kenang Indah. “Waktu itu aku belum ngeh (sadar). Bahkan sampai selesai acara itu pun aku tetap tidak ngeh sama sekali. Sampai beberapa hari atau berapa minggu kemudian, aku putar rekaman video acara itu, di situlah aku baru ngeh. Lalu aku membatin, ternyata sastra kurang memperhatikan kebutuhan teman-teman difabel netra. Kebutuhan mereka terabaikan. Padahal kata Pram [Pramoedya], kita harus adil sejak dalam pikiran.”
Sejak menyadari hal itu, hari-hari Indah diliputi gelisah. Namun, ia bingung memikirkan cara untuk menjembatani kebutuhan difabel netra tersebut. Selama berbulan-bulan kemudian, bahkan tahun berganti tahun, ia belum juga menemukan solusi yang menurutnya tepat.
Sampai suatu hari, ia dihubungi oleh empat mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang meminta izin kepadanya untuk mengaudiokan salah satu buku kumpulan cerpennya. Ketika dikirimi hasil rekaman suara pembacaan karyanya oleh empat mahasiswa itu, Indah merasa pembacaan mereka menarik untuk dikembangkan. Momen itulah yang kemudian mengilhami Indah membuat sastra suara Difalitera.
“Karena membaca adalah pengalaman personal, maka cara baca, tempo, intonasi sangat menantang untuk didekati sehingga cerita menjadi lebih bernyawa dan berasa,” kata Indah.
Setelah bergelut memikirkan konsep dan mencari rekan yang bisa membantunya, akhirnya karya perdana sastra suara Difalitera dibuat pada 1 Juli 2018. Menyusul kemudian, pada 10 November tahun yang sama, website Difalitera diluncurkan. Selain cerpen, Difalitera juga menyediakan karya sastra suara berupa cerita anak, puisi, geguritan (puisi dalam bahasa Jawa), cerita cekak (cerpen dalam bahasa Jawa), cerpen berbahasa Inggris, serta cerita-cerita berbahasa daerah yang akan ia ceritakan nanti.
“Sebenarnya sastra suara atau audiobook seperti Difalitera ini bukan yang pertama. Di luar sana sudah banyak sekali. Tapi Difalitera mencoba untuk menjadi accessible untuk semua orang, dapat diakses dari mana pun dan kapan pun tanpa perlu bayar,” kata Indah. “Dan yang membedakan [Difalitera] dengan audiobook lain adalah keberpihakan. Sejak awal, Difalitera ditujukan terutama untuk difabel. Karena itu proses pengerjaannya hingga website-nya harus accessible. Walaupun dedikasinya untuk difabel netra, tapi aku mencoba untuk merangkul difabel yang lain untuk memproduksi sastra suara ini.”
Jatuh Bangun Mendirikan Difalitera
Perjalanan Indah dalam menjaga Difalitera tetap berdenyut tidaklah mulus. Setahun sejak Difalitera diresmikan, Indah sempat putus asa karena kesulitan menjaga konsistensi timnya. “Waktu itu aku frustrasi. Aku sering tidak tidur sampai larut malam, memikirkan bagaimana melanjutkan ini [Difalitera],” kenangnya. “Sampai akhirnya, aku bilang ke Tuhan, ’Tuhan, aku tidak sanggup’. Aku menyerah.”
Namun, tak lama setelah ia menyatakan menyerah, Semesta mengembalikan Indah ke jalan yang telah ia perjuangkan. “Tiba-tiba ada DM masuk di IG. Dari Daeng Maliq, orang Makassar. Dia menjadi difabel netra akibat ablasio retina. Dalam pesannya, dia menyampaikan kalau website Difalitera sangat membantunya. Aku kaget. Aku sudah menyerah, kok aku malah dikembalikan lagi. Aku bilang ke Tuhan, ‘Kalau memang begitu, tolong bantu aku’. Setelah itu jalanku menjadi sedikit lebih mudah. Mulai banyak yang membantu Difalitera. Dan setelah itu, atas anjuran dan desakan beberapa teman, Difalitera aku buat jadi berbadan hukum,” tutur perempuan kelahiran 12 Maret 1973 ini.
Seiring aktivitas Difalitera yang semakin lancar, jumlah kru yang terlibat pun bertambah dan konsisten. Meski terpencar di berbagai tempat dan sebagian besar di antara mereka belum pernah bertemu, proses pengalihan teks karya sastra menjadi sastra suara berjalan cukup lancar.
“Banyak teman yang mau aku ajak untuk menjadi narator. Ada penyiar radio, penulis, dan lain-lain. Aku sangat senang. Mereka ada di Purwodadi, Makassar, Bulukumba, Bima, Biak, Kalimantan, Padang, Aceh, dan beberapa tempat lain. Ada juga yang di Inggris. Ritme kerja kami juga jadi ngalir, mulai dari proses rekaman sampai editing dan mixing musik. Beberapa narator juga ada yang difabel daksa. Jadi dari difabel untuk difabel,” ujarnya.
Sastra Suara Inklusif Berbahasa Daerah
Sejak 2020, Indah mulai mengerjakan sastra suara berbahasa daerah dan membuat kanal khusus bernama Sastra Suara Bahasa Nusantara di website Difalitera. Tujuannya untuk mengenalkan berbagai bahasa daerah di Indonesia kepada para difabel netra sekaligus mendukung upaya pelestarian bahasa daerah yang terancam punah.
Selama hampir tiga tahun berjalan, sudah ada sekitar 32 karya sastra suara berbahasa daerah yang berbeda dari berbagai wilayah Indonesia.
“Difalitera, kan, menyediakan geguritan dan cerkak. Lalu aku mikir, sastra berbahasa daerah di Indonesia itu bukan hanya bahasa Jawa. Dari situ aku mulai menampung semua bahasa yang ada di Indonesia, untuk menjangkau semua teman netra yang ada di Nusantara, untuk mendekatkan mereka dengan bahasa ibu mereka,” kata Indah.
Indah dan timnya terus mencari karya sastra berbahasa daerah lainnya untuk digarap menjadi sastra suara. Apalagi ia tahu bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai lebih dari 700 bahasa.
Tak jarang, untuk memberikan apresiasi terhadap para kontributor, Indah menyisihkan gajinya sebagai karyawan perusahaan batik. “Kadang aku kasih juga untuk uang pengganti beli kuota [internet] mereka,” ujarnya.
Menjadi Teman Difabel Netra
Selain mendirikan website Difalitera yang dapat diakses oleh siapa saja tanpa biaya, Indah juga membentuk komunitas kecil bernama Teras Baca Difalitera yang beranggotakan para difabel netra dan aktif bergiat di Surakarta dan sekitarnya. Melalui komunitas ini, penulis novel ‘Oscar Belajar Pergi’ ini secara rutin membacakan karya sastra yang lebih panjang kepada para difabel netra.
“Difalitera, kan, belum bisa menyediakan novel. Padahal novel itu penting. Jadi aku membacakan novel untuk teman-teman netra secara offline. Di awal-awal itu aku membacakan ‘Canting’ karya Arswendo Atmowiloto. Kebetulan ada nuansa Solo-nya, jadi relate dengan kehidupan mereka,” katanya.
Untuk dapat diterima di tengah komunitas difabel netra, Indah harus membuktikan ketulusan niatnya dalam membacakan mereka cerita. Ia berusaha menjadi teman mereka dengan mengunjungi mereka setiap akhir pekan, dan membawakan makanan untuk mereka santap selagi mendengarkan cerita yang ia bacakan.
“Mereka berasrama di YKAB (Yayasan Kesejahteraan Anak-Anak Buta), ada yang dari Trenggalek, Tulungagung, Boyolali, bahkan dari Sumatera juga ada. Jadi setiap aku datang, mereka sudah menyambutku, ‘Mbak Indah datang! Mbak Indah datang!’ Rasanya senang sekali. Mereka sudah seperti keluargaku sendiri,” kata Indah.
Selain membacakan novel, sesekali Indah juga mengajak para anggota Teras Baca untuk mengunjungi tempat-tempat umum. Beberapa tempat yang pernah mereka datangi antara lain Candi Sukuh, Candi Plaosan, Taman Balekambang, Museum Lokananta, Loji Wetan, Taman Budaya Jawa Tengah, Omah Petroek, dan Rumah Atsiri.
“Seiring waktu aku juga ingin mereka belajar menulis, bukan hanya menjadi pendengar cerita saja. Jadi aku ajak mereka berkunjung ke ruang-ruang publik itu dengan maksud agar pengetahuan mereka bertambah sehingga ketika mereka menulis, mereka punya gambaran. Aku ingin mereka punya wawasan, yang tidak cukup hanya dengan mendengarkan novel saja,” kata Indah.
“Ada beberapa anak yang akhirnya mau menulis. Ada yang nulis puisi, fiksi mini, kisah ketika mereka mengikuti kegiatan Difalitera, semacam catatan perjalanan gitu. Tulisan mereka bagus-bagus dan rencananya akan diterbitkan oleh Maysanie Foundation,” ia melanjutkan.
Selain dunia baca-tulis, Indah juga mengajak para difabel netra untuk belajar hal-hal lain, salah satunya membuat tembikar. “Aku juga ajak mereka belajar bikin gerabah. Tujuannya untuk mengenalkan bentuk kepada mereka. Lucu-lucu gerabah buatan mereka. Imajinasi mereka keren-keren. Aku ajak juga mereka ke Rumah Atsiri, untuk melatih indera penciuman mereka. Mereka sangat senang sekali. Dan itu membuatku terharu,” tutur Indah. Nada suaranya mulai bergetar.
Banyak berinteraksi dengan para difabel netra membuat Indah semakin mengerti kondisi mereka dan itu membuatnya semakin menyayangi mereka. “Beberapa dari mereka memang ada yang diajak jalan-jalan oleh orang tuanya, tapi cuma duduk menunggu, sementara keluarganya berfoto-foto. Makanya ketika aku ajak mereka meraba ruang-ruang publik tadi, mereka sangat senang,” ujarnya. Nada suaranya semakin bergetar dan sedikit sengau. “Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan mereka?”
Mewujudkan Sastra yang Lebih Inklusif
Sastra dapat menjadi saluran yang efektif untuk menyampaikan pesan tentang keberagaman dan inklusivitas. Namun, untuk dapat mencapai tujuan itu, para pelaku di dunia sastra, mulai dari penulis hingga penerbit dan toko buku, juga mesti menjadi inklusif.
“Aku melihat bahwa perkembangan teknologi dan sastra itu sama pesatnya. Hanya saja, kadang-kadang kita melupakan bahwa ada kelompok yang tetap tidak dapat mengaksesnya semudah orang pada umumnya. Meskipun sekarang sudah ada teknologi yang bisa membantu, tetapi faktanya di sana-sini karya-karya sastra masih belum accessible. Ini yang mesti kita atasi bersama,” kata Indah.
Karenanya, mewujudkan sastra yang lebih inklusif membutuhkan partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak, yang tidak hanya sebatas pada pelaku inti di dunia sastra. Difalitera sendiri diakui Indah juga membutuhkan dukungan itu.
“Tim Difalitera ini semuanya relawan yang tidak digaji, akhirnya terkadang waktu penggarapannya tidak menentu. Termasuk aku sendiri kadang-kadang kesingsal (kelimpungan) karena kesibukanku. Sesungguhnya kami membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Mulai dari psikolog yang mau menjadi telinga bagi teman-teman difabel netra, musisi, pengrajin, guru, dan sebagainya. Jadi yang kami butuhkan bukan hanya uang, tetapi dukungan dari banyak pihak. Ini kalau memang kita ingin benar-benar mewujudkan literasi dan sastra yang inklusif, ya. Ini tantangan berat dan aku, yo, ndak mampu kalau sendirian,” Indah mengakhiri.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.