Sekolah Adat Arus Kualan: Upaya Pelestarian Budaya dan Pengetahuan Adat

Para fasilitator dan anak-anak didik Sekolah Adat Arus Kualan. | Foto: Dokumentasi Sekolah Adat Arus Kualan.
Pengetahuan adat merupakan aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan. Selain memperkuat identitas suatu masyarakat, pengetahuan adat juga dapat memberikan panduan dalam menjaga lingkungan dan keseimbangan ekologi, memperkuat ikatan sosial, dan dapat membantu mempromosikan ekonomi yang selaras dengan alam. Namun, perkembangan zaman dan globalisasi telah menjadi ancaman serius terhadap eksistensi dan keberlangsungan pengetahuan adat di berbagai tempat, termasuk di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, salah satu wilayah dimana Suku Dayak Simpakng berada. Hal inilah yang mendasari lahirnya Sekolah Adat Arus Kualan pada tahun 2014 silam.
Sekolah Adat Arus Kualan merupakan lembaga pendidikan non-formal yang memberikan ruang bagi generasi muda Dayak untuk belajar tentang pengetahuan adat dan kearifan lokal Suku Dayak. Sekolah ini bertujuan untuk menghubungkan anak-anak dengan para tetua adat Dayak yang masih menjaga pengetahuan dan praktik-praktik tradisional, berupaya memastikan generasi muda memahami, menghargai, dan melestarikan warisan budaya mereka.
Bagaimana Sekolah Adat Arus Kualan mewujudkan tujuan mereka dan bagaimana perjalanan mereka selama satu dekade ini? Berikut wawancara Green Network Asia dengan Florentini Deliana Winki, salah satu pendiri Sekolah Adat Arus Kualan, pada 12 Mei 2024.
Apa sebenarnya arti “Arus Kualan”?
Nama “Kualan” kami ambil dari Sungai Kualan, sungai yang ada di kampung kami di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Sedangkan arus itu maksudnya tidak lain adalah arus sungai. Kami menggunakan nama “Arus Kualan” karena sungai ini merupakan sumber air bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa yang ada di Kecamatan Simpang Hulu dan beberapa wilayah di sekitarnya.
Kami berharap sekolah adat yang kami bangun bisa menjadi seperti Sungai Kualan, yang memberikan banyak manfaat untuk orang-orang di kampung kami, orang-orang pedalaman yang ada di Kalimantan, khususnya terkait literasi, budaya, serta pendidikan.
Apa yang mendorong pendirian Sekolah Adat ini?
Ini semua bermula dari keresahan kami. Kami melihat banyak anak-anak muda di kampung kami yang telah meninggalkan budayanya, meninggalkan kearifan lokal, dan mereka menganggap bahwa budaya mereka kuno, ketinggalan zaman. Padahal, budaya yang mereka miliki itu unik. Misalnya, ketika mereka kuliah ke kota, mereka malu menggunakan bahasa ibu, padahal itu adalah bahasa dasar mereka yang mereka gunakan sejak mereka lahir.
Selain itu, di kampung kami, sebenarnya banyak anak yang bisa menari, menyanyi, bermain alat musik tradisional, dan lainnya, tetapi mereka tidak ada wadah yang bisa memfasilitasi bakat mereka.
Oleh karena itu, Sekolah Adat Arus Kualan memandang penting untuk membuat suatu wadah bagi generasi muda adat untuk kembali menggali pengetahuan adat, budaya, dan lingkungan yang diturunkan oleh para leluhur kami. Kami ingin menumbuhkan rasa cinta generasi muda terhadap kebudayaan dan kearifan lokal yang kami miliki yang sudah diturunkan sejak zaman nenek moyang kami. Kami ingin menyatukan anak-anak Dayak, terutama untuk memungkinkan mereka belajar pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, menanamkan kecintaan akan identitas budaya yang kuat pada generasi muda Dayak dan menekankan pentingnya tumbuh sebagai orang Dayak di era modern.
Bagaimana awal pendiriannya? Siapa saja yang menginisiasi sekolah adat ini?
Sekolah Adat ini didirikan pada tahun 2014 oleh saya sendiri bersama kakak kandung saya, Kak Dessy (Plorentina Dessy Elma Thyana). Juga ada Pak Julianus, bapak saya sendiri, dan Kak Dewi (Florentina Sri Dewi Wulandari), kakak saya yang anak kedua, sebagai pengawas. Waktu itu saya sendiri masih kelas 6 SD, dan saya sudah ikut mengajar.
Awalnya, cuma ada 6 murid yang belajar. Seiring waktu, perlahan-lahan jumlahnya terus bertambah. Sampai tahun 2022, sudah ada 138 murid yang belajar di Sekolah Adat Arus Kualan. Datanya belum kami update lagi untuk tahun 2024 ini.
Dimana saja Sekolah Adat Arus Kualan beroperasi?
Sekolah Adat Arus Kualan sekarang telah memiliki empat cabang. Semuanya di Kabupaten Ketapang, namun di desa yang berbeda-beda. Pertama, Sekolah Adat Arus Kualan Tahak. Kemudian ada Sekolah Adat Arus Kualan Sungi Bansi, Sekolah Adat Arus Kualan Kelipor, dan Sekolah Adat Arus Kualan Banjur.
Jarak antara tiap-tiap sekolah itu lumayan jauh. Misalnya, kalau mau ke Sungi Bansi, kami harus melewati bukit, dan tanahnya tanah kuning. Perjalanan ke sana cukup menantang.
Apa saja kegiatan Sekolah Adat Arus Kualan dalam upaya untuk melestarikan pengetahuan adat Suku Dayak?
Kegiatan di Sekolah Adat Arus Kualan antara lain anak-anak belajar lagu daerah dan tarian tradisional; ada juga kelas cerita rakyat (sansangan) untuk memperkaya pengetahuan mereka tentang warisan budaya lokal; kelas permainan tradisional untuk mempromosikan kegiatan yang mengakar pada budaya; kelas menganyam untuk melestarikan keterampilan tradisional; dan kelas meramu obat-obatan tradisional dari hutan untuk memperkenalkan anak-anak pada penggunaan tanaman obat.
Selain itu, ada juga kegiatan penanaman pohon setiap tiga bulan sekali untuk mendukung pelestarian lingkungan dan untuk membangun koneksi anak-anak dengan alam. Mayoritas pembelajaran berlangsung di luar ruangan, termasuk di sungai, di hutan, di rumah tetua-tetua adat, di mana anak-anak dapat terus mempraktikkan kearifan lokal Dayak. Ini mencakup keterampilan seperti mencari makanan dari hutan dan memasaknya menggunakan metode tradisional dengan bambu.
Pembelajaran di dalam ruang kelas juga ada. Kami mengadakan kelas literasi, meliputi membaca, menulis, bahasa Inggris, matematika, dan keterampilan komputer, untuk melengkapi pengetahuan tradisional dan modern anak-anak.
Sekolah Adat Arus Kualan juga mendorong generasi muda Dayak untuk merekam cerita dan menyampaikan pesan melalui film, fotografi, dan tulisan. Beberapa murid membuat film dokumenter pendek dan menulis cerita tentang budaya, nilai-nilai, pesan, dan isu-isu dalam masyarakat. Ini termasuk wawancara dengan para tetua adat tentang ritual kuno tertentu yang masih dipraktikkan, merekam musik dan tarian tradisional, mengeksplorasi hubungan antara orang Dayak dan hutan, dan mendokumentasikan tanaman dan pohon di hutan terdekat.
Baik anak laki-laki maupun anak perempuan berkolaborasi untuk mendokumentasikan informasi ini. Peran mereka dalam mendokumentasikan dan merekam sangat penting karena merekalah yang memahami kondisi dan cerita dalam komunitas mereka secara langsung.
Siapa saja yang ikut belajar di Sekolah Adat Arus Kualan? Siapa saja yang terlibat dalam proses pembelajaran?
Anak-anak berusia dari 4 sampai 17 tahun. Mereka semua setara. Tidak ada perbedaan kelas. Tidak ada kelas 1 atau kelas 2 dan seterusnya seperti di sekolah umum. Kami punya prinsip bahwa semua orang adalah guru, dan alam raya adalah ruang kelas kami. Jadi, setiap orang di Sekolah Adat Arus Kualan bisa menjadi guru dan menjadi murid sekaligus, termasuk para guru atau fasilitator. Jadi tidak ada dominasi, semua individu adalah sama.
Untuk gurunya, kami mengajak tetua-tetua adat yang memiliki kapasitas dan pengetahuan lokal tentang adat sebagai guru atau fasilitator. Mereka mentransfer pengetahuan adat mereka, yang telah diturunkan secara turun temurun oleh orang tua mereka kepada anak-anak. Selain orang tua, kami juga menggandeng pemuda-pemuda adat Dayak. Jadi, secara keseluruhan ada 18 guru atau fasilitator yang membantu kami.
Apa saja tantangan yang dihadapi sejauh ini?
Ada beberapa tantangan yang kami hadapi. Yang pertama, fasilitas yang tersedia di Sekolah Adat Arus Kualan belum sepenuhnya mendukung proses pembelajaran, terutama karena belum adanya bangunan di dua lokasi, yaitu Sekolah Adat Arus Kualan Tahak dan Sekolah Adat Arus Kualan Banjur. Hal ini membuat arsip dan materi pembelajaran sulit disimpan.
Kedua, kerusakan sumber pengetahuan tradisional (dalam hal ini hutan) berdampak pada kegiatan pembelajaran di Sekolah Adat Arus Kualan. Bagi kami, hutan merupakan perpustakaan utama yang menyediakan banyak informasi dan pengetahuan tradisional bagi kehidupan masyarakat adat Dayak.
Ketiga, banyak para tetua yang telah pergi, yang mengharuskan pengetahuan dan ilmu tradisional segera diturunkan kepada generasi selanjutnya.
Apa saja pencapaian Sekolah Adat Arus Kualan sejauh ini? Adakah pengalaman paling berkesan sejak pertama kali mendirikan sekolah adat ini?
Melalui dokumentasi dan pembelajaran yang dilakukan oleh anak-anak Arus Kualan, saya dapat mengatakan bahwa telah terjadi regenerasi dan transfer pengetahuan dari para tetua adat kepada generasi muda, yang berarti itu dapat mencegah kepunahan pengetahuan tradisional.
Selain itu, saya rasa kami juga mulai meningkatkan rasa percaya diri anak-anak di Sekolah Adat Arus Kualan atas kebudayaan yang kami miliki. Sebelum ada Sekolah Adat, anak-anak tidak berani tampil di depan umum dan berbicara tentang budaya mereka.
Kemudian, adanya kesempatan bagi anak-anak muda adat untuk mengembangkan kapasitas diri, seperti dalam pembuatan film dokumenter, penulisan artikel tentang kearifan lokal, serta menjadi narasumber di luar komunitas yang membawa pengetahuan tradisional, juga merupakan sebuah pencapaian yang bermakna bagi kami.
Sedangkan momen paling berkesan sejauh ini adalah ketika anak-anak kami diundang oleh Mendikbudristek dan bertemu langsung dengan Bapak Nadiem Makarim pada Hari Pendidikan Nasional 2023 dan Hari Pendidikan Nasional 2024. Anak-anak kami diberi kesempatan untuk mempresentasikan kegiatan yang ada di Sekolah Adat Arus Kualan.
Berdasarkan pengalaman mendirikan Sekolah Adat ini, pelajaran/wawasan apa yang bisa Anda bagikan, khususnya terkait pelestarian budaya dan pengetahuan adat?
Sebagai pemuda adat, saya ingin mengatakan bahwa pemuda adat harus berada di garda terdepan untuk membuat gerakan, dalam upaya untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan. Karena kalau bukan pemuda adat, siapa lagi? Dan kalau tidak sekarang, kapan lagi? Jadi, untuk teman-teman di luar sana yang mungkin punya niat untuk mendirikan sekolah adat, atau sekolah lapang, atau sekolah budaya dan lain sebagainya, mulai saja dulu.
Kita semua pasti akan selalu memulai sesuatu dari nol. Semua butuh proses. Jangan takut untuk memulai. Kembangkan pengetahuan-pengetahuan lokal yang sudah mulai punah. Angkat kembali kearifan lokal yang mungkin banyak orang menganggapnya kuno. Kebudayaan yang kita punya adalah sebuah keunikan dan kebanggaan. Kita harus mematahkan stigma-stigma seperti itu.
Apa harapan dan pesan Anda kepada pemerintah dan masyarakat?
Untuk pemerintah, khususnya, kami berharap agar Sekolah Adat Arus Kualan, dan juga sekolah-sekolah budaya di mana pun di Indonesia, dapat dilihat dan dirangkul, diberikan fasilitas dan dukungan, baik secara fisik/materi maupun moral. Ini penting mengingat sekolah-sekolah adat seperti Arus Kualan ini berjalan secara swadaya dan digerakkan oleh komunitas akar rumput yang memiliki keterbatasan.
Apa yang telah dilakukan oleh Kemendikbud kepada kami, dengan mengundang kami saat Hari Pendidikan Nasional, menurut saya sudah menjadi langkah yang baik. Namun, kami berharap dukungan dari pemerintah dapat berlanjut dan ditingkatkan. Misalnya, kami bisa dilibatkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat adat, atau pelatihan untuk fasilitator pendidikan adat, atau pemerintah bisa meningkatkan beasiswa untuk anak-anak adat untuk melanjutkan pendidikan.
Kami juga berharap agar masyarakat secara umum dapat terlibat secara aktif dalam upaya-upaya pelestarian budaya, dimana pun itu. Ayo kita semua bersama-sama menjaga budaya kita.
Aktivitas belajar anak-anak Sekolah Adat Arus Kualan dapat diikuti melalui akun Instagram Arus Kualan.

Konten Publik GNA berupaya menginspirasi perubahan sosial skala besar dengan menyediakan pendidikan dan advokasi keberlanjutan yang dapat diakses oleh semua orang tanpa biaya. Jika Anda melihat Konten Publik kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan GNA Indonesia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional sekaligus mendukung keberlanjutan finansial GNA untuk terus memproduksi konten-konten yang tersedia untuk umum ini.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.