Memastikan Perlindungan Sosial Berjalan Beriringan dengan Pemenuhan HAM

Foto: Freepik.
Dalam hidup yang diliputi oleh berbagai krisis dan penuh ketidakpastian, perlindungan sosial merupakan hal krusial untuk mendukung kehidupan yang layak bagi semua. Namun, yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa perlindungan sosial berjalan beriringan dengan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) untuk warga yang membutuhkan.
Perlindungan Sosial dan HAM
Sebagai instrumen untuk mencegah dan menangani risiko guncangan dan kerentanan, perlindungan sosial telah menjadi bagian integral dari sistem kesejahteraan sosial, yang bertujuan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, terutama kelompok rentan seperti penduduk miskin, lansia, dan orang dengan disabilitas. Perlindungan sosial membantu memastikan setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dasar secara layak.
Di Indonesia, perlindungan sosial merupakan salah satu dari empat pilar utama penyelenggaraan kesejahteraan sosial, di samping rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan jaminan sosial. Perlindungan sosial secara umum mencakup:
- Bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
- Jaminan sosial yang bersifat kontributif melalui iuran seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
- Pemberdayaan sosial seperti pelatihan kerja atau program peningkatan UMKM untuk meningkatkan kemandirian.
Perlindungan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari HAM. Negara menjamin setiap individu memiliki akses yang setara dan adil terhadap berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak, selaras dengan Deklarasi Universal HAM. Program perlindungan sosial yang adil dan merata merupakan tanggung jawab negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar setiap warga negara.
Vasektomi untuk Penerima Bansos
Namun sayangnya, berbagai kebijakan dan aturan terkait perlindungan sosial dapat berisiko melanggar HAM. Wacana yang mencuat tentang kewajiban mengikuti program Keluarga Berencana (KB) dengan metode vasektomi sebagai syarat untuk mendapatkan berbagai bentuk bantuan sosial, adalah salah satu contohnya. Wacana ini pertama kali dicetuskan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada 28 April 2025.
Menjadikan keikutsertaan program KB sebagai syarat untuk dapat menerima bansos berpotensi melanggar HAM, terutama jika terdapat unsur pemaksaan (misalnya berbentuk kewajiban), dilakukan tanpa pilihan sukarela, serta tanpa edukasi yang benar. Aturan semacam itu dapat berarti melanggar hak atas otonomi tubuh, bertentangan dengan prinsip HAM terkait reproduksi, serta dapat menimbulkan diskriminasi sosial terhadap masyarakat miskin dan rentan miskin.
“Vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi, sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain,” kata Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM.
Praktik pemaksaan keikutsertaan program KB pernah mendapat sorotan dunia ketika beberapa negara menerapkan vasektomi dan sterilisasi paksa terhadap warganya. Sebagai contoh India, yang memberlakukan vasektomi terhadap jutaan penduduk laki-laki antara tahun 1976-1977, disertai ancaman kekerasan dan penghilangan mata pencaharian. Di China, pemerintah negara tersebut menerapkan sterilisasi terhadap para perempuan Uighur untuk menekan populasi etnis tersebut. Sterilisasi paksa juga pernah dilakukan di Peru pada tahun 1990-an yang menargetkan perempuan-perempuan lokal; serta di Uzbekisyan, yang dilakukan terhadap perempuan desa antara tahun 2004 hingga awal 2010 untuk menekan angka kelahiran.
Pelanggaran HAM dalam Penyaluran Perlindungan Sosial
Vasektomi atau metode lain program KB sebagai syarat untuk mendapatkan bansos bukan satu-satunya bentuk kebijakan atau aturan yang berpotensi melanggar HAM dalam penyaluran perlindungan sosial. Ada beberapa bentuk kebijakan atau aturan lain yang juga memiliki risiko yang sama, misalnya:
- Diskriminasi terhadap kelompok tertentu dalam penyaluran perlindungan sosial berarti melanggar prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan yang bertentangan dengan HAM.
- Membiarkan adanya warga negara yang hidup tanpa KTP sehingga mereka tereksklusi dari berbagai bentuk perlindungan sosial yang seharusnya menjadi hak mereka.
- Membatasi pemberian bansos berdasarkan sikap dan pilihan politik tertentu, misalnya bansos hanya diberikan kepada warga yang berasal dari daerah pemilihan tertentu dan tidak mengkritik pemerintah, juga bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam HAM.
Berjalan Beriringan
Perlindungan sosial merupakan instrumen kunci dalam pemenuhan hak asasi manusia, terutama bagi kelompok rentan. Menyediakan jaring pengaman sosial sekaligus mempromosikan keadilan sosial dengan memastikan akses yang adil dan inklusif terhadap kebutuhan dasar bagi semua adalah langkah utama yang diperlukan. Dengan kata lain, perlindungan sosial dan penegakan HAM harus berjalan beriringan untuk mencegah eksklusi, diskriminasi, hingga pelanggaran terhadap martabat manusia. Setiap kebijakan terkait perlindungan sosial harus dirancang, dilaksanakan, dan diawasi dengan menempatkan HAM sebagai kerangka dan pijakan utama—menghormati pilihan individu, memperhatikan keragaman kelompok rentan, serta menjamin keadilan akses.
Pada akhirnya, lebih dari sekadar alat pemberantasan kemiskinan, perlindungan sosial mesti menjadi penggerak keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap orang.

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.