Sunat Perempuan Adalah Pelanggaran HAM, Bagaimana Mengakhirinya?
![gunting di atas kerta merah putih terarah ke hati](https://greennetwork.id/wp-content/uploads/sites/2/2025/02/SCISSOR_CLAY_LOVE_SHAPE_ON_TOP_OF_PAPER-1024x504.webp)
Foto: Freepik.
Kemajuan dalam dunia medis telah membawa banyak pengetahuan baru yang penting. Sunat perempuan adalah satu di antara sekian banyak pengetahuan itu. Namun, tradisi hingga kepercayaan yang berkembang di banyak komunitas membuat praktik ini masih berlangsung sampai hari ini. Lantas, bagaimana mengakhiri praktik berbahaya ini?
Sunat Perempuan dan Dampaknya
Sunat perempuan adalah istilah familiar yang beredar di masyarakat, khususnya di Indonesia. Dalam dunia kesehatan, praktik ini disebut sebagai mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation/FGM), atau yang juga dikenal dengan istilah “Pelukaan dan/atau Pemotongan Genital Perempuan (P2GP)”.
Sunat perempuan atau P2GP merujuk pada praktik yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar karena alasan nonmedis. Praktik ini sebagian besar menyasar anak perempuan antara usia bayi hingga remaja, meski ada juga perempuan dewasa yang menjalaninya. WHO memperkirakan terdapat lebih dari 230 juta anak perempuan dan perempuan di Asia, Afrika, dan Timur Tengah yang menjalani praktik ini.
Alih-alih memberikan manfaat, sunat perempuan justru dapat mengakibatkan berbagai dampak buruk terhadap kesehatan perempuan, di antaranya pendarahan hebat, rasa sakit saat buang air kecil, gangguan menstruasi, timbulnya kista, infeksi, hingga komplikasi saat melahirkan dan peningkatan risiko kematian bayi baru lahir. Pengobatan komplikasi kesehatan akibat praktik P2GP dapat mencapai USD 1,4 miliar per tahun, dan jumlah tersebut akan terus meningkat jika praktik ini masih berlanjut.
Ironisnya, di berbagai tempat, P2GP turut melibatkan tenaga kesehatan dan penyedia layanan kesehatan karena keyakinan bahwa praktik tersebut lebih aman jika melalui prosedur medis.
Perkembangannya di Indonesia
Di Indonesia, masih banyak orang atau komunitas yang menerapkan sunat perempuan, termasuk di kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, dan Surabaya. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2024 menunjukkan bahwa 46,3% perempuan di Indonesia menjalani sunat perempuan. Sebanyak 41,4 % di antaranya menjalani sunat perempuan sesuai kriteria WHO. Data UNICEF bahkan menyatakan bahwa Indonesia termasuk tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik ini.
Tradisi dan kepercayaan menjadi alasan kuat di balik maraknya praktik ini di Indonesia. Dalam SPHPN 2021, ada tiga alasan utama mengapa perempuan mau menjalani sunat perempuan, yakni mengikuti perintah agama (68,1%), mengikuti kebiasaan/tradisi yang berlaku di masyarakat tempat tinggalnya (40,3%), dan menganggapnya dapat lebih menyuburkan (40,3%).
“Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktik sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” kata Titi Eko Rahayu, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Pelanggaran HAM dan Larangan di Indonesia
WHO menyatakan bahwa sunat perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap anak perempuan dan perempuan. Hak-hak yang dimaksud adalah hak atas kesehatan dan integritas; hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat; dan hak untuk hidup. Lebih dari itu, praktik ini merupakan bentuk ekstrem dari ketimpangan gender dan diskriminasi terhadap perempuan.
Di Indonesia, P2GP telah dilarang melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang merupakan tindak lanjut dari UU Kesehatan. Pemerintah juga telah menetapkan Roadmap dan Rencana Aksi Pencegahan Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP) 2020-2030 sejak tahun 2019.
Namun tetap, praktik ini masih langgeng di berbagai daerah sampai hari ini. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat (60%) tidak mengetahui adanya kebijakan terkait larangan praktik P2GP.
Sinergi dan Kerja Sama Seluruh Pihak
Mengakhiri praktik sunat perempuan merupakan salah satu langkah penting untuk meningkatkan kesehatan perempuan, khususnya kesehatan reproduksi. Penghapusan sunat perempuan juga merupakan bagian dari upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Goal 5. PBB menargetkan tidak ada satu perempuan pun yang menjalani sunat perempuan pada tahun 2030. Namun, jalan menuju ke sana tampak masih sangat terjal. Sampai hari ini masih ada jutaan anak perempuan dan perempuan yang telah dan akan menjalani praktik ini.
Oleh karena itu, seluruh pihak, termasuk tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, anggota keluarga, dan semua anggota masyarakat harus bersinergi dan meningkatkan gerakan untuk mengakhiri praktik ini sesuai peran dan kapasitas masing-masing. Meningkatkan dan memperluas pemahaman dan kesadaran mengenai bahaya praktik ini merupakan langkah awal yang sangat penting. Langkah penting lainnya adalah mendorong tokoh dan pemuka agama untuk menjalankan peran strategis mereka. Dan tak kalah penting, meningkatkan pengawasan terhadap klinik atau fasilitas layanan kesehatan lainnya.
“Untuk mendorong penghapusan P2GP, perlu upaya terkoordinasi dan sistematis. Dan upaya tersebut harus melibatkan seluruh anggota masyarakat dan berfokus pada hak asasi manusia, kesetaraan gender, pendidikan seksual, dan perhatian terhadap kebutuhan perempuan dan anak perempuan yang menderita akibatnya,” kata Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan.
![](https://greennetwork.asia/wp-content/uploads/2024/06/Membership-Envelope-Individual-2.webp)
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.