Alih Fungsi Hutan Ancam Habitat dan Populasi Gajah Sumatera

Gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo, Kabupaten Pelalawan, Riau. | Foto: Hadly Vavaldi di Wikimedia Commons.
Lingkungan alam, khususnya hutan, adalah rumah bagi berbagai satwa liar yang berperan penting bagi keseimbangan ekosistem. Namun, berbagai aktivitas manusia seringkali mengganggu dan merusak habitat satwa liar, sehingga meningkatkan risiko penurunan populasi hingga kepunahan. Di Pulau Sumatera, deforestasi dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan industri telah mengancam habitat dan populasi gajah sumatera dalam beberapa dekade terakhir, termasuk di kawasan Bentang Alam Seblat, Bengkulu.
Habitat yang Kian Menyusut
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan subspesies gajah asia yang hidup di hutan dataran rendah Pulau Sumatera dan tersebar di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Gajah sumatera memiliki ciri khas yang membedakannya dengan spesies gajah lain, seperti kuping yang lebih kecil dan berbentuk segitiga, kulit yang lebih terang, dan memiliki tonjolan di bagian atas kepala.
Pada tahun 1985, jumlah kantong habitat gajah sumatera di seluruh Pulau Sumatera masih sebanyak 44 kantong. Jumlah tersebut turun menjadi 36 kantong pada tahun 2017, dan turun lagi menjadi tinggal 22 kantong pada tahun 2021. Menurut dokumen Rencana Tindakan Mendesak (RTM) 2020-2023, habitat gajah sumatera di Indonesia secara keseluruhan telah mengalami penyusutan hingga 80%, terutama di luar kawasan konservasi. Data Auriga Nusantara mencatat lebih dari separuh kantong habitat gajah di luar kawasan konservasi berada dalam area konsesi, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), tambang, dan sawit.
Pada tahun 2020, terdapat penyusutan habitat gajah seluas 1.359.456 hektare dibandingkan luas tahun 2007 seiring maraknya alih fungsi hutan untuk kepentingan industri. Di kawasan Bentang Alam Seblat, Bengkulu, luas tutupan sawit di dalam kawasan hutan telah meningkat dari 2.657 hektare pada tahun 2000 menjadi 9.884 hektare pada tahun 2020.
Dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017, luas kantong habitat gajah Seblat yang dilaporkan mencapai 144.499 hektare. Namun saat ini, tidak semua wilayah itu dapat diakses oleh gajah karena sebagian telah dibebani oleh hak guna usaha (HGU).
Penurunan Populasi Gajah Sumatera
Menyusutnya habitat gajah sumatera turut dibarengi dengan menurunnya populasi satwa yang masuk kategori terancam punah (Critically endangered) tersebut. Populasi gajah sumatera diperkirakan masih sekitar 4.800 individu pada tahun 1980-an, lalu turun menjadi 2.400-2.800 individu pada tahun 2007. Penyusutan terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya, dengan perkiraan jumlah individu yang tersisa hanya sekitar 924-1.359 pada tahun 2021.
Khusus di kawasan Bentang Alam Seblat, populasi gajah sumatera pada tahun 1990 masih berkisar antara 150-200 individu, namun menyusut menjadi tinggal sekitar 70-150 individu. Pada tahun 2024, populasinya bahkan diperkirakan tak sampai 50 individu. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan perkebunan kayu telah menjadi faktor pendorong utama penurunan populasi gajah di wilayah ini seiring menyusutnya luas habitat mereka. Laporan yang diterbitkan oleh Kanopi Hijau Indonesia dan Auriga Nusantara menyebutkan bahwa 14.722 hektare dari 80.987 hektare kantong habitat gajah tidak lagi dapat difungsikan karena telah menjadi areal perkebunan, pertanian, dan lahan terbuka. Selain itu, 130,19 hektare kawasan hutan produksi terbatas dan 131 hektare kawasan konservasi telah ditanami sawit.
Sejak tahun 2018, tercatat setidaknya lima gajah sumatera mati di Bentang Alam Seblat. Yang terakhir ditemukan mati pada Januari 2024, dengan lubang berukuran 15 milimeter di bawah rahang yang tembus hingga tulang dahi, dan sepasang caling pada bangkai gajah tersebut hilang.
Memperkuat Perlindungan
Gajah telah menjadi spesies kunci yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian hutan. Satwa ini berperan penting dalam penyebaran biji tanaman dan membantu memenuhi kebutuhan air bagi seluruh makhluk hidup di sekitarnya dengan menggali tanah untuk mencari air dengan gadingnya.
Oleh karena itu, demi lingkungan yang lebih sehat dan seimbang, menghentikan penyusutan habitat dan populasi gajah merupakan suatu hal yang krusial dan mendesak. Dalam hal ini, perlindungan gajah di alam dan penguatan kapasitas aparat penegakan hukum dalam memerangi tindakan kejahatan terhadap satwa liar menjadi sangat penting. Langkah penting lainnya adalah penanggulangan dan adaptasi konflik manusia dan gajah secara efektif serta mendorong praktik hidup berdampingan (koeksistensi) antara manusia dengan gajah. Terakhir, menghilangkan potensi ancaman langsung pada lokasi-lokasi prioritas, serta memindahkan gajah ke habitat yang aman dan layak dapat menjadi langkah penting ketika kerusakan habitat sulit diatasi. Pemerintah dan dunia usaha merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dan memegang peran kunci dalam upaya perlindungan melalui regulasi yang ketat dan komitmen yang kuat.

Konten Publik GNA berupaya menginspirasi perubahan sosial skala besar dengan menyediakan pendidikan dan advokasi keberlanjutan yang dapat diakses oleh semua orang tanpa biaya. Jika Anda melihat Konten Publik kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan GNA Indonesia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional sekaligus mendukung keberlanjutan finansial GNA untuk terus memproduksi konten-konten yang tersedia untuk umum ini.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.